Di Zaman Romawi Kuno, Balap Kereta Jadi Persembahan untuk Para Dewa

By Sysilia Tanhati, Rabu, 28 September 2022 | 10:00 WIB
Selain pertarungan gladiator, orang Romawi juga menyukai balap kereta. Tidak sekadar bertanding, di zaman Romawi kuno, balap kereta menjadi persembahan bagi para dewa.
Selain pertarungan gladiator, orang Romawi juga menyukai balap kereta. Tidak sekadar bertanding, di zaman Romawi kuno, balap kereta menjadi persembahan bagi para dewa. (Alexander von Wagner)

Nationalgeographic.co.id - Selain pertarungan gladiator, orang Romawi juga menyukai balap kereta. Para elite Romawi mendanai pembangunan tempat-tempat besar untuk tontonan yang memabukkan ini. Sebut saja Circus Maximus di Roma dan Hippodrome di Konstantinopel. Stadion baru dibangun di kota-kota lain, dan balap pun menjadi obsesi di sana. Tidak sekadar bertanding, di zaman Romawi kuno, balap kereta menjadi persembahan bagi para dewa.

Pertandingan untuk para dewa

Bangsa Romawi mengadaptasi balap kereta dari Yunani kuno. Bukan hanya sekadar pertandingan di Olimpiade dan Pythian, pertandingan ini awalnya tidak dianggap sebagai hiburan.

Balap kereta di zaman Yunani kuno adalah kegiatan suci dan bagian dari upacara keagamaan yang khusyuk. Tujuan dari acara-acara ini, termasuk balap kereta, adalah untuk menyenangkan para dewa. “Ini dilakukan dengan pengorbanan atau dalam menyajikan keterampilan tubuh sebagai persembahan itu sendiri,” tulis David Álvarez di National Geographic.

Banyak uang dan kekuasaan dipertaruhkan dalam balap kereta. Tokoh masyarakat senior mendanai pertandingan dengan harapan dapat meningkatkan posisi politik.
Banyak uang dan kekuasaan dipertaruhkan dalam balap kereta. Tokoh masyarakat senior mendanai pertandingan dengan harapan dapat meningkatkan posisi politik. (J.Blaeu)

Epik Homer The Iliad menampilkan balapan kereta sebagai bagian dari hiburan di pemakaman untuk menghormati rekan Achilles yang gugur.

Sama halnya seperti di masa Romawi kuno, balap kereta berperan penting dalam agama. Awalnya, permainan ini diadakan untuk menghormati dewa utama Romawi, Jupiter Optimus Maximus.

Para jenderal mulai mendedikasikan sebagian dari rampasan perang untuk mensponsori balapan kereta dan permainan lainnya. Bisa dibilang, pada tahap inilah semangat balap kereta mulai berkembang menjadi hiburan. Sponsor oleh jenderal meningkatkan popularitas balap dan olahraga lainnya, sehingga pada abad pertama Sebelum Masehi. Akhirnya, hiburan dan permainan dikaitkan dengan budaya massa, kekuasaan, dan populisme.

Pertandingan brutal

Pertandingan kereta Romawi mendebarkan dan singkat, tetapi kadang-kadang brutal. Perlombaan akan dimulai dengan menjatuhkan saputangan putih (mappa). Dalam perlombaan standar di Circus Maximus, masing-masing tim dapat menggunakan tiga kereta. Sehingga ketika mappa jatuh ke tanah, ada 12 kereta yang ditarik kuda yang melaju.

 Baca Juga: Sangat populer, Ini Aturan dan Teknik Olahraga Tinju di Zaman Romawi

 Baca Juga: Ludus Latrunculorum, Permainan Papan Zaman Romawi Berusia 1.700 Tahun

Para aurigae atau pengemudi meluncur di atas kereta roda dua mereka untuk membuat putaran yang menantang maut. Jalur yang biasa dilalui adalah tujuh putaran, melaju berlawanan arah jarum jam di sekitar arena.

Balapan berlangsung antara 10 dan 12 menit. Sebanyak 24 balapan bisa dilangsungkan dalam sehari demi menyenangkan para penggemar.

Pengabdian penonton kepada tim dapat mengarah pada kecurangan. Ada laporan tentang penonton yang mencoba menyabotase balapan dengan melemparkan tablet bertatahkan paku ke lintasan. (Alfredo Tominz)

Pengabdian mereka kepada tim mereka bahkan dapat mengarah pada kecurangan. Ada laporan tentang penonton yang mencoba menyabotase balapan dengan melemparkan tablet bertatahkan paku ke lintasan. Tentu saja ini bisa mencelakai para pengemudi dan kudanya.

Hiburan di arena

Menjaga orang banyak tetap terhibur di antara balapan adalah pekerjaan penting, dan kelompok profesional berbakat dipekerjakan untuk melakukan hal itu. Para pemain ini, yang disebut histrins, memerankan adegan-adegan mitologis agar penonton tidak bosan.

Sementara histrin dilakukan secara berkelompok, pantomimus ("peniru segala sesuatu") dilakukan sendiri dengan diiringi instrumen. Mereka menggunakan gerak tubuh dan topeng untuk menggambarkan serangkaian karakter.

Sebagian besar histrin dan pantomimi adalah budak atau dari kelas yang lebih rendah. Bagaimanapun, mereka dianggap sebagai profesional terampil yang dapat membuat orang banyak terlibat dan bersemangat. Beberapa memperoleh ketenaran dan kekayaan yang cukup besar.

Balap kereta jadi alat politik

"Banyak uang dan kekuasaan dipertaruhkan dalam balap kereta," tambah . Tokoh masyarakat senior mendanai pertandingan dengan harapan dapat meningkatkan posisi politik.

Meski populer, balap kereta tidak disukai semua orang. Orang Romawi menyatakan ketidaknyamanannya terhadap pertandingan ini.

Dalam sebuah surat yang ditulis pada awal abad kedua, Plinius yang Muda menulis tentang para penggemar di balapan kereta:

“Mungkin ada alasan untuk antusiasme mereka jika kecepatan kuda atau keterampilan pengemudi yang menjadi daya tarik. Namun, warna balaplah yang menjadi favorit mereka. Begitulah pengaruh dan otoritas yang diberikan dalam satu tunik murahan.”

 Baca Juga: Tiga Festival Bangsa Romawi Kuno: Ketika Budak Bisa Pakai Baju Tuannya

 Baca Juga: Akhir sebuah Era: Ketika Peradaban Romawi Benar-benar Berakhir

Terlepas dari semua ketidaksukaan, orang Romawi yang berpengaruh juga tahu bahwa balap kereta dan pertandingan lainnya menjadi kekuatan Romawi. Saat mengambil jabatan aedile pada tahun 69 Sebelum Masehi, orator Cicero harus bersumpah untuk menegakkan permainan untuk orang-orang Romawi.

Meski digemari, balap kereta dan hiburan Romawi jadi alat politik. Cicero menuliskan bahwa betapa mudahnya politisi “membeli” para pemilih yang hanya berharap untuk 2 hal: roti dan sirkus.

Seiring dengan bertumbuhnya Kekaisaran Romawi, arena balap kereta pun mulai menjamur. Hipodrom dibangun di pusat kota besar di seluruh kekaisaran. Ini termasuk Antiokhia dan Konstantinopel (Turki), Caesarea (Israel), Alexandria dan Oxyrhynchus (Mesir), Thugga (Tunisia), Toledo dan Cordoba (Spanyol), Lyon (Prancis), dan Wina (Austria).

Sebagai bagian dari program Romanisasinya, klien raja Yudea, Herodes Agung, melembagakan balap kereta sebagai bagian dari permainan formal pada tahun 28 Sebelum Masehi.

Ketenaran balap kereta tidak berlangsung selamanya. Di tengah ketegangan agama dan perang saudara di Kekaisaran Bizantium, pamor balap kereta mulai menurun pada akhir abad keenam.

Digunakan sebagai persembahan untuk dewa hingga alat politik, balap kereta di Roma terakhir diadakan di Circus Maximus pada tahun 549.