Setelah Kaisar Theophilos meninggal pada tahun 842, istrinya Theodora dan patriark baru Methodius mengembalikan kembali ikon-ikon itu lewat sebuah konsili. Di akhir konsili, sebuah prosesi besar dilakukan di seluruh kota, merayakan kemenangan atas bidat ikonoklasme.
Mengapa Kaisar Leo III melakukan ikonoklasme?
Selain interpretasi Leo III tentang bencana alam sebagai tanda murka Tuhan, ada beberapa argumen teologis dan filosofis untuk penghancuran ikon. Memang, yang paling penting datang dari Perjanjian Lama dan salah satu dari 10 Perintah Allah tentang larangan menyembah hal lain selain Tuhan.
Argumen lain datang dalam bentuk ajaran Neoplatonis dari filsuf abad ke-3 Plotinus. Bagi para Neoplatonis, dunia material tidak selalu jahat tetapi hanya sebuah "gambar" atau cerminan dari dunia yang lebih tinggi. Bagi mereka, manusia harus berjuang menuju pola dasar gambar-gambar ini. Dalam pengertian itu, satu-satunya hal yang harus disembah adalah pola dasar itu sendiri, bukan salinannya. "Dalam hal ini, ikon-ikon tidak boleh disembah," tambah Nicolic.
Sumber lain mungkin berasal dari tulisan Eusebius dari Kaisarea, seorang sejarawan dan teolog abad ke-4 yang menganggap bahwa sifat Ilahi Kristus tidak dapat dipahami.
Meskipun alasan untuk ikonoklasme Leo III tampaknya terutama religius, sejarawan berpendapat lain. Sebagian sejarawan merasa kaisar ingin menahan pertumbuhan kekuatan politik dan kekayaan biara dengan melarang ikon.
Hipotesis lain, meskipun kecil kemungkinannya, berpendapat bahwa kaisar berusaha mengintegrasikan populasi Muslim dan Yahudi, yang memandang citra Kristen sebagai berhala.
Seni setelah ikon-ikon dihancurkan
Penciptaan gambar yang tidak terpisahkan dengan seni Bizantium mengalami stagnasi selama periode ikonoklasme. Jadi, jenis seni apa yang dibuat oleh “penghancur ikon”?
Karena ikonoklasme adalah gerakan yang terikat pada politik ibu kota dan sebagian besar ditolak di bagian lain kekaisaran, beberapa ikon masih bertahan.
Baca Juga: Seperti Apa Kehidupan Masyarakat di Kekaisaran Romawi Timur?