Nationalgeographic.co.id—Wabah COVID-19 berlangsung lebih dari dua tahun. Meskipun keadaan sekarang sudah lebih membaik, beberapa penyintas harus menderita lebih jauh dibandingkan biasanya. Mereka harus diisolasi berhari-hari, menderita badai sitokin, dan bahkan kematian.
Sementara negara-negara di dunia, sampai sekarang, mengalami kekurangan vaksin. Di bidang kesehatan, banyak tenaga kesehatan yang berguguran demi menangani wabah COVID-19. Banyak pekerja yang harus tetap sehat dan kuat imun agar tidak terserang virus, demi mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
Umumnya, rata-rata waktu penyembuhan dari virus corona adalah dua minggu. Namun, setiap orang punya sistem kekebalan yang berbeda-beda. Bagi yang lemah, karena penyakit atau kondisi perawatan medis, bisa membuat proses penyembuhan bahkan bisa berbulan.
Kondisi seperti inilah yang membuat virus corona bisa memunculkan varian dan mutasi baru. Ketika COVID-19 menduplikasi dirinya, ia mempelajari sistem kekebalan tumbuh, dan kemudian bermutasi.
"Semakin banyak mutasi, semakin banyak perubahan struktur atau fungsi," kata Amin Soebandrio dari Lembaga Biologi Molekuker (LBM) Eijkman (kini bagian dari BRIN) dalam laporan National Geographic Indonesia tahun 2021.
Kesalahan itu mengubah struktur genetik atau fungsinya yang menjadi mekanisme adaptasi terhadap tekanan lingkungan sekitarnya. Sehingga, setelah bermutasi virus mengalami seleksi, seperti teori Darwin, yang mampu bertahan tetap hidup, dan yang gagal akan akan gugur. Maka, agar mencegah varian baru berkembang adalah memerlukan sistem kekebalan tubuh yang kuat.
Namun, di antara para pasien atau penyintas COVID-19 waktu penyembuhannya berbeda dengan orang ini. Orang tersebut dilaporkan terinfeksi kronis penyakit ini selama lebih 400. Pada akhirnya, orang tersebut mendapatkan hasil negatif setelah pengurutan genetik untuk jenis virus yang diidap, dan perawatan apa yang dibutuhkan.
Hal itu diungkapkan pada 3 November 2022 dalam penelitian di jurnal akademik Oxford, Clinical Infectious Diseases. Makalah berjudul "Real-time whole genome sequencing to guide patient-tailored therapy of SARS-CoV-2 infection" dikerjakan oleh para peneliti di Inggris.
Pria berusia 59 tahun tersebut tertular COVID-19 sejak Desember 2020. Berdasarkan pengurutan genom, jenis yang diidapnya adalah virus varian awal yang tersebar di Inggris pada saat itu.
Apa yang membuatnya terkena selama itu adalah sistem kekebalan yang melemah setelah transplantasi ginjal. Pria itu tidak dapat melawan virus, dan hanya dengan gejala selang-seling. Dia tidak memenuhi syarat untuk dirawat untuk kasus COVID-19 yang parah, pada awalnya.
Kemudian, dia dinyatakan positif pada Februari 2021 dan lagi pada 2022. Dua kali tes itu diserang dengan varian yang sama: B.1.177.18. Seiring waktu, mutasi bermunculan pada tingkat yang diharapkan dengan virus corona. Hal ini yang membuatnya terinfeksi lama.
Baca Juga: Walau Corona adalah Pandemi Zoonosis, Tren Pelihara Satwa Liar Marak
Baca Juga: Inilah Cara Mengatasi Brain Fog atau Kabut Otak Pasca COVID-19
Baca Juga: Pandemi Telah Mengubah Kepribadian Kita Menjadi Lebih Murung
Baca Juga: Dunia Hewan: Tak Semua Satwa Liar Pulih selama Kuncitara COVID-19
"Saat ini, semua orang terinfeksi omicron, tetapi ketika kita melihat virusnya, itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak lama—jauh sebelum omicron, jauh sebelum delta dan bahkan sebelum alpha. Jadi itu adalah salah satu varian awal yang lebih tua dari awal pandemi," kata penulis pertama studi Luke Blagdon Snell pada Washington Post.
Dia adalah spesialis penyakit menular di Guy’s and St Thomas’ NHS Foundation Trust, Inggris. Oleh karena penelitian itu, tim memberi pasien pengobatan antibodi gabungan yang terbukti efektif melawan serangan infeksi tersebut.
Selain itu, ada kasus lain yang disoroti para peneliti. Dua kasus lainnya, berdasarkan pengurutan genetik, pasien yang diduga menderita infeksi berkepanjangan sebenarnya telah terinfeksi ulang dengan jenis virus yang baru. Setelah hasil diketahui, dokter mereka pun mengubah tata cara perawatannya.
Mereka berpendapat, infeksi kronis yang lama seperti ini jarang terjadi. Infeksi ini sulit diobati karena kemunculan varian baru terus-menerus membuat antibodi penetralisasinya tidak efektif. Kasus terlama yang diketahui hingga saat ini adalah pada pasien yang dites positif selama 505 hari sebelum meninggal dan dirawat oleh tim yang sama.
"Tapi pasti ada perbedaan antara infeksi komunitas normal yang sembuh dalam waktu dua minggu," terang Snell. Misalnya, dalam kebanyakan kasus, dan sebagian kecil pasien ternyata kelainan imun, sehingga berisiko terinfeksi kronis lebih dari enam minggu.
"Beberapa orang dengan sistem kekebalan yang lemah masih berisiko sakit parah dan terinfeksi terus-menerus. Kami masih bekerja untuk memahami cara terbaik untuk melindungi dan mengobati mereka," lanjutnya.