Nationalgeographic.co.id - Sejak diumumkan menjadi pagebluk tahun 2020, hingga kini ada empat varian baru virus corona. Keempat varian itu adalah alfa (B.1.1.7), beta (B.1.351), gamma (P.1), dan delta (B.1.617.2) yang memperparah pagebluk Covid-19 di seluruh dunia.
Varian alfa terdeteksi pertama kali pada bulan September 2020 di Inggris. Varian itu memiliki tingkat penularan 40% hingga 70% dibanding biasanya. Hingga akhirnya, varian B.1.1.7 mulai tersebar ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Desember 2020, para ilmuwan mendeteksi varian baru di Afrika Selatan, yang pada awalnya sempat dikira mutasi sejenis dengan di Inggris. Nyatanya, yang ditemukan adalah varian beta atau B.1.351.
Sedangkan varian gamma (P.1) yang berasal dari Brasil. Varian ini memiliki kemampuan tinggi untuk menginfeksi kembali 25 hingga 61 pasien di negara itu. Mengutip kabar dari Detik, varian ini sudah terdeteksi di Asia Tenggara, tepatnya di Filipina, pada Maret lalu.
Terakhir, adalah varian delta yang penyeberan awalnya dari India sejak Desember 2020. Varian yang juga disebut B.1.617.2 itu bahkan sudah masuk di Indonesia, dan menjadi penyebaran dominan di beberapa kota.
Baca Juga: 'Wanita Kelelawar' Kontroversial dari Wuhan Bicara soal Asal Pandemi
Selain itu, CDC dalam rilisnya juga menemukan B.1.427 and B.1.429 yang terdeteksi Februari 2021 di California, Amerika Serikat.
Mengapa virus yang awalnya hanya satu yang kita ketahui bisa memiliki banyak varian seiring pagebluk yang tak kunjung surut?
Amin Soebandrio dari Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman menjelaskan, bahwa ragam varian ini muncul karena virus yang terus bermutasi. Akibatnya, ada banyak perubahan dalam gen yang dimiliki virus tersebut untuk melahirkan varian yang baru.
"Jadi justru yang membedakan varian satu dengan varian lain adalah pola mutasi, contohnya pada varian alfa itu [jumlah] mutasinya lebih sedikit daripada delta. Delta itu bisa sekitar 2x lipatnya dari varian alfa," jelas Amin saat dihubungi National Geographic Indonesia, Jumat (18/06/2021).
Baca Juga: Mutasi Baru COVID-19 Muncul di Beberbagai Negara, Bagaimana Bisa?
"Semakin banyak mutasi, semakin banyak perubahan struktur atau fungsi."
Mutasi terhadi ketika virus bereplikasi atau memperbanyak diri, tambahnya. Pada proses itu mereka menyalin materi genetiknya, tetapi pada suatu kondisi yang acak (random), proses penyalinan itu mengalami 'kesalahan' yang menjadi mutasi.
Sebenarnya, ketika bereplikasi itu virus corona memiliki cara untuk memperbaiki dirinya dari kesalahan.
Amin memberi analogi seperti penyuntingan makalah atau skripsi mahasiswa, dalam mendeteksi hasil penelitian itu. Penyunting harus mengetahui letak salah ketik atau kata yang salah untuk dimasukkan dalam kalimat. Tetapi dalam satu waktu, ada kata typo yang tetap lolos dalam paper dan luput dari mata penyunting.
Kesalahan itu mengubah struktur genetik atau fungsinya yang menjadi mekanisme adaptasi terhadap tekanan lingkungan sekitarnya. Sehingga, setelah bermutasi virus mengalami seleksi, seperti teori Darwin, yang mampu bertahan tetap hidup, dan yang gagal akan akan gugur.
"[Penyuntingan] Itu ada mekanismenya sebenarnya [pada virus]. Tapi ada yang tidak sempat diperbaiki, itu yang kemudian menjadi mempengaruhi seleksi untuk kuat dan lemah," paparnya.
Alasan mengapa 'kesalahan' genetik pada virus terjadi disebabkan perbedaan gen inangnya, atau manusia yang memiliki macam ras dan etnis. Dari latar belakang genetik itu menyebabkan kepekaan manusia untuk melawan, tetapi virus mencari cara untuk bisa lolos lewat gen yang berbeda-beda.
"Jadi ya misalnya varian delta di negara lain menyebabkan kematian tinggi, atau sakit yang berat, tetapi di Indonesia tidak. Begitu juga yang sudah asli Indonesia terhadap negara lain," Amin berpendapat. "Itu sangat dipengaruhi hostnya."
Setidaknya ada empat sifat yang harus diantisipasi dari varian baru Covid-19, yakni penyebarannya yang lebih cepat, sulit didiagnosa, dan kasus yang menjadi lebih berat. Selain itu juga kewaspadaan juga terkait vaksin yang rentan tidak efektif.
Lantas bagaimana varian dan mutasi virus terhadap vaksin--mengingat salah satu mekanisme vaksin menggunakan genetika virus?
Berdasarkan studi yang di Afrika Selatan yang menguji dengan varian-varian yang ada, Amin memaparkan, menyebabkan vaksin mengalami penurunan efikasi. Penurunan itu sekitar 10 hingga 20 persen.
"Itu belum menyebabkan efikasi di bawah 50 persen, yang mana disebutkan dalam pedoman WHO. Kalau di atas 50 persen, [vaksin] masih bisa digunakan," terangnya.
Tetapi para ilmuwan di seluruh dunia, khususnya Indonesia harus tetap mengamati apakah sebuah varian baru menjadi dominasi penyebaran atau tidak.
"Kalau misalnya suatu ketika—mudah-mudahan tidak terjadi—variannya mendominasi, tidak bisa vaksinnya mengcover varian tadi, kecuali ada kajian [terhadap varian]" kata Amin.
Amin menyimpulkan, risiko terhadap orang yang telah divaksinasi terkena Covid-19 masih tetap ada. Meskipun kekebalan sudah dimiliki, risiko virus bermutasi untuk menjadi lebih ganas terhadap kekebalannya akan berisiko lebih tinggi.
Baca Juga: Setahun Pagebluk Covid-19. Apa saja yang Bisa Kita Pelajari?
"Maka, kemungkinan [virus] itu mengatasi kekebalan yang sudah dimiliki bisa terjadi."
"Jadi protokol kesehatan seperti menggunakan masker dan cuci tangan harus tetap dilakukan. 5M dilakukan masyarakat, dan 3T harus dilakukan pemerintah. Untuk varian manapun, vaksinasi harus berdampingan," pungkasnya.
Amin mengungkapkan ada empat sifat yang harus diwaspadai dari varian baru Covid-19 ini. Pertama, penyebarannya lebih cepat. Kedua, sulit didiagnosis. Ketiga, kasus yang menjadi lebih berat. "Dan keempat adalah menyebabkan vaksin menjadi tidak efektif,” ungkapnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR