Sekitar tiga tahun silam, Cut Putri menelisik makam tokoh-tokoh pejuang Aceh di Ereveld Ancol. Catatannya berjudul Seulanga dan Jeumpa Penghuni Baru Makam Kehormatan Belanda terbit pada Maret 2020. "Waktu saya menulis, saya menulis dengan air mata," ujarnya kepada National Geographic Indonesia.
Dalam catatan Oorlogsgravenstichting, terdapat enam orang asal Aceh, yang merupakan korban eksekusi Jepang pada 1943. Awalnya mereka dimakamkam secara massal di Brastagi, Sumatra Utara. Kemudian, pada 1960-an pemerintah Republik meminta makam-makam Belanda yang berada di berbagai kota di Indonesia untuk dipindahkan ke tujuh taman kehormatan di Jawa. Salah satunya, Ereveld Ancol.
Papan makam bersama itu bercat putih ditandai dengan tulisan hitam “Verzamelgraf Medan-Brastagi”. Terdapat empat tentara KNIL dan enam orang pejuang Aceh yang dieksekusi pada 15 November 1943, dan satu orang Belanda yang dieksekusi pada 6 Oktober 1944. Sementara, setiap makam korban perang itu ditandai salib putih dan hanya bertuliskan “Geëxecuteerd-Medan-Brastagi”. Mereka menjadi bagian dari 25.000 korban perang selama periode 1942-1949 yang menghuni Taman Kehormatan Belanda.
Awalnya, keenam pejuang Aceh itu tampaknya masih begitu asing bagi Cut Putri. Namun, salah satu tokoh berhasil ia singkap jatidirinya setelah menghimpun informasi dari masyarakat adat Aceh. Tokoh itu bernama Teuku Muhammad Hasan asal Geulumpang Payung, Kabupaten Bireun, pesisir timur Aceh. Ketika dieksekusi Jepang, usianya 50 tahun.
“Ternyata Hasan Geulumpang Payung itu pejuang dan salah satu ningrat Aceh, Uleebalang, sebuah urutan nama dan penghargaan untuk keturunan keluarga bangsawan,” ungkap Cut Putri. "Gelar yang penuh penghormatan itu diberikan kepada Hasan Geulumpang Payung dengan sebut Ampon Chik."
Kemudian ia melanjutkan berkisah bahwa makam para pejuang Aceh dan korban eksekusi lainnya tidak memiliki penanda identitas pada setiap nisannya. Mereka “diambil mayatnya tanpa tahu ‘ujung kaki ujung kepala’ bersama makam yang dibunuh oleh Jepang di Berastagi.”
Selain Hasan, terdapat dua bangsawan lainnya dan tiga ulama Aceh yang dieksekusi pada hari yang sama. Bangsawan itu adalah Teuku Solaiman dan Teuku Ahmad Polem, sedangkan para ulama adalah Tengku Rachmat, Tengku M. Riza'al, dan Tengku Nain Osman.
"Kita tidak tahu ya," ujarnya tentang kelima pejuang Aceh. "Itu mungkin rekan dekat, saudara, atau pengawal yang saat itu sama-sama ditawan Jepang di Medan." Sampai hari ini Cut Putri masih menghimpun data dari masyarakat adat Aceh perihal nama-nama yang dimakamkan bersama Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payung.
"Dan, dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan yang kita lakukan dalam memberikan penghormatan kepada orang hidup," ujar Cut Putri, "Saya rasa penghormatan kepada orang yang sudah mati itu standar dan sebanding."
Hasan merupakan konsul Muhammadiyah yang pertama di Aceh, yang menurutnya, memiliki reputasi yang diakui oleh Buya Hamka—ulama dan sastrawan besar Indonesia. “Ternyata beliau memang tokoh besar,” ungkap Cut Putri.
Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1912. Di Aceh, perkembangan organisasi ini bermula pada 1923, melalui S. Djaja Soekarta, mantan sekretaris Muhammadiyah cabang Batavia. Namun, kantor cabang Aceh baru resmi dibuka pada 1928 dengan R .O. Armadinata sebagai pemimpin cabang.