Ereveld Ancol Berbagi Histori: Ziarah Para Pejuang Aceh yang Terlupakan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 25 Desember 2022 | 07:00 WIB
Kolonel Norbert Moerkens, Atase Pertahanan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta menyaksikan Direktur Oorlogsgravenstichting Indonesia Eveline C. de Vink dan Tjut Putri Alyanur, pemerhati sejarah dan budaya Aceh. Keduanya usai mengheningkan cipta di depan monumen 'Hun Geest Heeft Overwonnen' di Ereveld Ancol. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Dua perempuan berbeda kebangsaan tengah melangkah bersama. Mereka menuju sebuah monumen bergaya Art-deco yang mengesankan sesosok malaikat dengan sayap-sayapnya. “Hun Geest Heeft Overwonnen” demikian untaian inskripsinya, yang bermakna “Jiwa Mereka Telah Mencapai Kemenangan”.

Keduanya menghentikan langkah tepat di depan monumen. Di kaki monumen itu telah berdiri sebuah karangan bunga-bunga putih yang dibingkai daun hijau melingkar. Pitanya berwarna merah-putih-biru yang menyisipkan selarik pesan “Demi Perdamaian” dan “Demi Persahabatan”. Pita itu membentuk tali simpul sebagai simbol keabadian. Setelah mengheningkan cipta beberapa saat, mereka berbalik melangkah menjauhi monumen.

Kedua perempuan itu adalah Eveline C. de Vink dan Cut Putri Alyanur. Di taman kehormatan itu mereka berpelukan, yang menerbitkan suasana haru di antara salib-salib putih Ereveld Ancol. Di pesisir Jakarta ini sehamparan makam kehormatan Belanda didedikasikan untuk korban-korban selama pendudukan Jepang 1942-1945.

Eveline merupakan Direktur Oorlogsgravenstichting Indonesie (OGS), yayasan permakaman perang yang mengelola tujuh taman kehormatan Belanda di Indonesia. Sedangkan Cut Putri merupakan pemerhati sejarah dan budaya Aceh, yang kebetulan tinggal di Jakarta karena berdinas di Badan Penghubung Pemerintah Aceh.

Perhelatan ini bagian dari Pembukaan Pameran Foto "Dari Masa Lalu untuk Masa Depan dalam Persaudaraan Lebih Baik” yang digelar di Ereveld Ancol 10 – 31 Desember 2022. Foto-foto yang dipamerkan merupakan koleksi Oorlogsgravenstichting. Pameran ini juga membagikan kisah Ereveld Ancol dan kisah korban perang lainnya yang dimakamkan di taman kehormatan ini.

“Keluarga mereka tinggal di Belanda dan Australia dan tidak dapat bergabung dengan kita di sini hari ini,” kata Eveline. “Tapi mereka bersama kita di sini dalam hati kita, dan mereka dengan cara mereka juga bersama dengan kita dalam hati mereka.”

“Sebagai bagian dari pameran foto ini kami akan membagikan kisah Bapak Teuku Muhammad Hasan dari Geulumpang Payung di Aceh,” imbuhnya. “Pak Hasan adalah salah satu pahlawan perang yang dimakamkan di Ereveld Ancol.”

Ereveld Ancol, yang berlokasi di dalam kawasan Taman Impian Jaya Ancol. Taman Kehormatan Belanda yang diresmikan pada 14 September 1946. Sebelumnya, kawasan ini merupakan ladang pembantaian pada masa 1942-1945. Selama ini masyarakat menganggap makam kehormatan ini didedikasikan untuk korban dari pihak Belanda. Namun, banyak juga orang-orang di pihak Indonesia yang dimakamkan di sini. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Misi utama Oorlogsgravenstichting atau Yayasan Makam Kehormatan Belanda adalah untuk merawat makam-makam kehormatan perang. Tujuannya, “supaya korban-korban perang yang kita cintai bisa beristirahat dengan damai, dan Anda memiliki tempat untuk mengenang mereka,” ujar Eveline. Dia juga menambahkan, “Kami sebagai OGS adalah mendukung pencarian dan identifikasi korban perang dan memastikan mereka dapat dimakamkan dengan bermartabat, dan keluarga mereka memiliki tempat untuk berziarah.”

Sementara itu Kolonel Norbert Moerkens, Atase Pertahanan di Kedutaan Besar Belanda, mengatakan, “Mereka yang terbaring di sini telah melawan ketidakadilan dengan mengorbankan nyawa mereka sendiri, tanpa membedakan ras dan kepercayaan. Itu menjelaskan kepada saya sekali lagi bahwa perang tidak baik untuk siapapun.”

    

Misi menemukan kembali pejuang Aceh yang hilang

Sekitar tiga tahun silam, Cut Putri menelisik makam tokoh-tokoh pejuang Aceh di Ereveld Ancol. Catatannya berjudul Seulanga dan Jeumpa Penghuni Baru Makam Kehormatan Belanda terbit pada Maret 2020. "Waktu saya menulis, saya menulis dengan air mata," ujarnya kepada National Geographic Indonesia.

Dalam catatan Oorlogsgravenstichting, terdapat enam orang asal Aceh, yang merupakan korban eksekusi Jepang pada 1943. Awalnya mereka dimakamkam secara massal di Brastagi, Sumatra Utara. Kemudian, pada 1960-an pemerintah Republik meminta makam-makam Belanda yang berada di berbagai kota di Indonesia untuk dipindahkan ke tujuh taman kehormatan di Jawa. Salah satunya, Ereveld Ancol.

Papan makam bersama itu bercat putih ditandai dengan tulisan hitam “Verzamelgraf Medan-Brastagi”. Terdapat empat tentara KNIL dan enam orang pejuang Aceh yang dieksekusi pada 15 November 1943, dan satu orang Belanda yang dieksekusi pada 6 Oktober 1944. Sementara, setiap makam korban perang itu ditandai salib putih dan hanya bertuliskan “Geëxecuteerd-Medan-Brastagi”. Mereka menjadi bagian dari 25.000 korban perang selama periode 1942-1949 yang menghuni Taman Kehormatan Belanda.

Awalnya, keenam pejuang Aceh itu tampaknya masih begitu asing bagi Cut Putri. Namun, salah satu tokoh berhasil ia singkap jatidirinya setelah menghimpun informasi dari masyarakat adat Aceh. Tokoh itu bernama Teuku Muhammad Hasan asal Geulumpang Payung, Kabupaten Bireun, pesisir timur Aceh. Ketika dieksekusi Jepang, usianya 50 tahun.

“Ternyata Hasan Geulumpang Payung itu pejuang dan salah satu ningrat Aceh, Uleebalang, sebuah urutan nama dan penghargaan untuk keturunan keluarga bangsawan,” ungkap Cut Putri. "Gelar yang penuh penghormatan itu diberikan kepada Hasan Geulumpang Payung dengan sebut Ampon Chik."

Kemudian ia melanjutkan berkisah bahwa makam para pejuang Aceh dan korban eksekusi lainnya tidak memiliki penanda identitas pada setiap nisannya. Mereka “diambil mayatnya tanpa tahu ‘ujung kaki ujung kepala’ bersama makam yang dibunuh oleh Jepang di Berastagi.”

Selain Hasan, terdapat dua bangsawan lainnya dan tiga ulama Aceh yang dieksekusi pada hari yang sama. Bangsawan itu adalah Teuku Solaiman dan Teuku Ahmad Polem, sedangkan para ulama adalah Tengku Rachmat, Tengku M. Riza'al, dan Tengku Nain Osman. 

"Kita tidak tahu ya," ujarnya tentang kelima pejuang Aceh. "Itu mungkin rekan dekat, saudara, atau pengawal yang saat itu sama-sama ditawan Jepang di Medan." Sampai hari ini Cut Putri masih menghimpun data dari masyarakat adat Aceh perihal nama-nama yang dimakamkan bersama Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payung.

"Dan, dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan yang kita lakukan dalam memberikan penghormatan kepada orang hidup," ujar Cut Putri, "Saya rasa penghormatan kepada orang yang sudah mati itu standar dan  sebanding."

Opzichter Ereveld Ancol F. Hadi Susilo dan Atase Pertahanan di Kedutaan Besar Belanda Kolonel Norbert Moerkens, mengapit potret pejuang Aceh Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payung. Sang pejuang juga mendapat julukan 'Hasan Dik' dari bangsawan-bangsawan kerabatnya, yang bermakna 'Hasan Gendut'. (Oorlogsgravenstichting)

Hasan merupakan konsul Muhammadiyah yang pertama di Aceh, yang menurutnya, memiliki reputasi yang diakui oleh Buya Hamka—ulama dan sastrawan besar Indonesia. “Ternyata beliau memang tokoh besar,” ungkap Cut Putri.

Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1912. Di Aceh, perkembangan organisasi ini bermula pada 1923, melalui S. Djaja Soekarta, mantan sekretaris Muhammadiyah cabang Batavia. Namun, kantor cabang Aceh baru resmi dibuka pada 1928 dengan R .O. Armadinata sebagai pemimpin cabang. 

Kedekatan Hasan dengan tokoh-tokoh Islam nasionalis di Hindia Belanda, membuat Hasan dikenal sebagai sosok bangsawan Aceh sekaligus ulama yang senantiasa menekankan pentingnya perjuangan kemerdekaan. 

Buya Hamka mengungkapkan kesaksiannya tentang sang pejuang itu dalam tulisannya bertajuk “Teuku Hassan Glompang Pajong, Consul Muhammadijah Pertama Atjeh” yang terbit di majalah Pandji Masjarakat pada 1969. Tulisan itu berada dalam tajuk halaman “Pahlawan Islam dan Kemerdekaan.”

Menurut catatannya, bangsawan Aceh itu lulusan 'Sekolah Radja' di Bukittinggi, yang dididik untuk menjadi ambtenar. Kendati sehari-hari menggunakan bahasa dan gaya hidup Belanda, jiwa Islamnya tidaklah meluntur. Pasalnya, selama di perantauan, Hasan mengikuti kajian Syekh Mohammad Djamil Djambek. Bagi anak Aceh, baik bangsawan maupun petani, dasar pertamanya adalah pendidikan agama Islam yang keras. 

Foto peresmian Ereveld Ancol pada 14 September 1946. Tampak korps musik dan peserta berlatar monumen 'Hun Geest Heeft Overwonnen' yang bercat Triwarna. Di sinilah tempat bersejarah bermula. Awalnya di tapak monumen itu, Jepang menandai dengan sebuah nisan dan sebuah salib kayu, serta epitaf pada marmer yang menunjukkan makam. Kemudian Dinas Permakaman Tentara Belanda membangun monumen untuk mengenang korban. Arsip foto ini merupakan bagian pameran 'Dari Masa Lalu untuk Masa Depan dalam Persaudaraan Lebih Baik' yang digelar di Ereveld Ancol 10 – 31 Desember 2022. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pada 1931 Muhammadiyah menggelar konferensi di Sigli, demikian ungkap Buya. Ia, yang saat itu berusia 23 tahun, mengikuti ayahnya yang diundang menghadiri konferensi untuk memilih Konsul Muhammadiyah untuk seluruh Aceh. Perhelatan itu menghasilkan suara bulat bahwa Hasan diberi amanat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai Konsul Muhammadiyah, yang berkantor di Kutaraja, kini Banda Aceh.

Saat itu Hasan menjabat sebagai Ambtenaar yang diperbantukan di Kantor Gubernur Aceh. Jabatan itu setara wedana atau demang eerste klas di daerah lain. Buya Hamka mengungkapkan apresiasi kepadanya,“Meskipun ditempat2 dan daerah lain djarang sekali Ambtenar tinggi jang masuk pergerakan rakjat, malahan menjadi penghalang dan pembentji, namun di Atjeh terdapat hal jang istimewa; Orang besar dari kantor Gubernur, tangan kanan Gubernur van Acken djadi orang Muhammadijah, dan menganut Muhammadijah dengan ichlas.

Namun Hamka menambahkan, masih ada saja orang-orang yang menganggap bahwa masuknya Hasan dalam organisasi itu sejatinya lebih pada tugasnya untuk memata-matai pergerakannya.

Potret Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook (1894–1965) saat meresmikan Ereveld Ancol pada 14 September 1946. Arsip foto ini merupakan bagian pameran 'Dari Masa Lalu untuk Masa Depan dalam Persaudaraan Lebih Baik' yang digelar di Ereveld Ancol 10 – 31 Desember 2022. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Hamka juga memberi kesaksian perkembangan organisasi Islam itu selama dalam kepemimpinan Hasan.“Muhammadijah Atjeh selama dalam pimpinan dan bimbingan beliau berdjalan dengan baik,” tulisnya. “Sekolah2 berdiri, gerakan kepanduan H.W. gerakan Aisjijah; dan rumah beliau, meskipun rumah ambtenar tinggi, terbuka buat menerima kedatangan tetamu meminta nasehat, meminta fikiran.”

Ia juga memberikan gambaran sosok sang pejuang itu dengan sedikit kelakar. “Pada mulanja jang 'fanatik' hanja mulutnja sadja. Beliau mulanja malas sembahjang. Apalah lagi badan beliau gemuk, sehingga dikalangan colleganja sama2 bangsawan disebut 'Hasan Dick' [maksudnya Hasan Dik], Hasan Gemuk.” Kemudian ia menambahkan selarik kalimat lagi, "Lantaran gemuk sukar ruku' dan sudjud."

Kendati demikian, Hamka menegaskan kembali bahwa Hasan adalah sosok yang memperjuangkan ketaatannya pada agama, meski ia kesusahan untuk rukuk dan sujud. "Badannja jang sangat gemuk mulanja merasa berat ruku' dan sudjud," tulisnya. "Namun kekerasan hatinja telah dapat mengatasi kesulitan itu."

Selain menegakkan salat lima waktu, Hasan yang awalnya peminum pun berhasil menghilangkan kebiasaan itu. "Dengan keras dia mendisiplin diri agar djangan minum. Lantaran itu djiwanja kian lama kian padu sebagai Muslim." 

Demikianlah, bagi Hasan, sebuah kemunafikan apabila ia memimpin Muhammadiyah, namun jauh dari nilai-nilai aturan agama. Sebuah teladan bahwa untuk menjadi orang yang taat beragama perlu keteguhan dan kesungguhan. Kebaikan perlu diperjuangkan.

Hasan menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah selama dua periode. Periode pertama pada 1931 sampai 1934, lalu periode kedua 1934-1937. Berikutnya, Teuku Tjut Muhammad Hasan Meuraxa yang menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah kedua di Aceh.

Ia rela melepaskan segala jabatan, baik sebagai Konsul Muhammadiyah maupun sebagai Ambtenar, karena ayahnya wafat. Ia harus pulang kampung menggantikan kedudukan ayahnya yang seorang Uleebalang III Mukim Geulumpang Payung. Hamka pun menyanjungnya atas prinsip, "Adat musti berdiri dan negeri mesti beradja."

Ketika menjabat sebagai Uleebalang, Hasan pun memiliki prinsip lebih egaliter dan modern, yang membedakan dengan pendahulu-pendahulunya. Sebagai contoh, ketika orang-orang bertamu ke kediamannya, mereka tidak perlu membungkuk atau bersalaman sambil mencium lutut.

Hasan tampil dalam kenangan warga sebagai “tokoh pembaharu Muhammadiyah di Aceh,” tutur Cut Putri. “Bisa masuk diterima masyarakat Aceh, diterima pemerintahan, bisa diterima oleh kolonial Belanda. Sebuah hal yang luar biasa.” 

Dia menambahkan, “Semua masyarakat Aceh adalah syuhada pejuang perang. Tetapi untuk memimpin organisasi kemasyarakatan-religi itu dibutuhkan kemampuan untuk memberikan pemahaman kepada rakyat—kemampuan lebih dibandingkan orang lain.”

Hasan juga merupakan kawan seperjuangan Teuku Nyak Arif (1899-1946), seorang pahlawan nasional bidang pendidikan dan pemerintahan asal Aceh. Atas dasar keinginan mereka dalam bahasa persatuan, mereka menganjurkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah, alih-alih bahasa daerah Aceh.

Keduanya juga mengupayakan dana pendidikan swadaya untuk anak-anak Aceh yang kurang mampu supaya mendapatkan pendidikan yang layak. Rusdi Sufi dalam bukunya Gerakan Nasionalisme di Aceh (1900-1942) yang diterbitkan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh pada 1998, mengungkapkan bahwa Atjehsche Studiefonds, atau dana pelajar Aceh, didirikan di Kutaraja pada 1928. Pengurusnya telah disepakati, Ketua Tuanku Mahmud dan Wakilnya Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payung; Bendahara H.M. Bintang, Komisaris: Teuku Nyak Arif, Tuanku Djamil, Abidin, dan T.A. Salam. Saat awal didirikan, anggotanya berjumlah 137 orang—Uleebalang, guru, dan pedagang.

Selain berkiprah di Muhammadiyah, Hasan juga berkontribusi sebagai perintis pendirian Taman Siswa di Aceh pada 1932. Rusdi juga mengungkapkan bahwa panitia pendirian itu diketuai oleh Hasan dengan wakilnya Teuku Nyak Arif, dan dukungan tokoh-tokoh terpelajar dari luar daerah. "Berkat pembinaan yang tekun dari mereka, dalam waktu yang relatif singkat panitia telah berhasil membuka 4  buah sekolah Taman Siswa di Kutaraja," tulis Rusdi, "yaitu masing-masing sebuah Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa."

 

Kolonel Norbert Moerkens, Atase Pertahanan di Kedutaan Besar Belanda dan Direktur Oorlogsgravenstichting Indonesia Eveline C. de Vink membaca perjuangan KH Zainal Mustofa asal Tasikmalaya. Sang Kiai dihabisi hidupnya di Ancol pada 1944, dan jasadnya berada di Ereveld Ancol sampai 1973. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Kecamuk Perang Asia Timur Raya akhirnya sampai juga ke Hindia Belanda. Hindia Belanda resmi tamat riwayatnya dalam meja Kapitulasi Kalijati, 8 Maret 1942.

Buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan pada 1977, mencatat bahwa militer Jepang baru mendarat di pesisir Aceh pada 12 Maret 1942. Tiga titik pendaratan itu adalah Peureulak di Aceh Timur, Krueng Raya di Aceh Besar, dan Sabang.   

Pendaratan dan pendudukan Aceh dapat dengan mudah dicapai oleh militer Jepang karena mendapat dukungan dari anggota-anggota Fujiwara Kikan, sering disebut Barisan-F, yakni unit intelijen Jepang yang terafiliasi dengan Rikugun atau Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Selain itu pendaratan terbantu karena dukungan Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh (POESA). Pada Januari 1942, Ketua Pemuda Pengurus Besar POESA menganjurkan supaya cabang-cabangnya di seluruh Aceh untuk berdaya upaya meluaskan peperangan terhadap Belanda, dan setia terhadap tentara Jepang, serta membantu mereka saat pendaratan nanti.

Perkara pemerintahan, Jepang tidak banyak mengubah susunan pemerintahan Aceh dari tinggalan Hindia Belanda. Namun, mereka mengganti nama-nama susunan wilayah pemerintahan dalam bahasa Jepang. Keresidenan diganti Syu, dikepalai oleh Syu Cokan; Afdeling menjadi Bunsyu, dikepalai oleh Bunsyuco; Onder Afdeling menjadi Gun, dikepalai oleh Gunco; Uleebalangschap menjadi Sen, dikepalai oleh Soncho; dan Gampong menjadi Kumi, dikepalai oleh Kumico.     

Atas reputasi dalam kepemimpinannya, Hasan ditunjuk oleh Jepang sebagai Gunco, setara kepala kota di Sigli. Bahkan Jepang mengirim Hasan bersama tokoh-tokoh Sumatra lainnya ke Tokyo. Sejatinya, program ini adalah bagian propaganda Jepang untuk menarik simpati warga Aceh. 

Sitti Mawar dalam bukunya bertajuk Teuku Nyak Arif: Pejuang Aceh Tiga Zaman, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Banda Aceh pada 2013, mengisahkan sikap keteguhan Hasan selama di Jepang. “Baik selama berada di tanah air maupun ketika berada di Tokyo,” tulisnya, “Teuku Hasan Dik dan Teuku Nyak Arif yang menjadi pimpinan rombongan Sumatera, tidak pernah mengikuti perintah Jepang untuk rukuk/membungkukkan diri mereka memberi hormat ke arah matahari terbit/lstana Tenno Heika.” Dia lalu menambahkan, “Karena sebagai umat islam tidak mau merobah kiblat ke arah yang lain.”

Hasan diminta untuk mengerahkan warga supaya bersedia bekerja mendukung Jepang, namun ia menolak dengan caranya sendiri. Mawar mengungkapkan juga bahwa sekembalinya di Aceh, Hasan "justru memaparkan apa yang sesungguhnya mereka lihat terutama mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi Jepang akibat serangan balasan Amerika dan sekutu-sekutunya."

Alih-alih bekerja sama, Hasan justru menebarkan pertentangan dengan Jepang melalui ceramah-ceramahnya yang berisi tentang arti penting kemerdekaan, sekaligus menentang bentuk penjajahan.

Tampaknya orang-orang Jepang berang dibuatnya. Kemudian mereka memfitnah Hasan atas dugaan spionase dan menjalin komunikasi dengan Sekutu melalui pemancar radio rahasia. Dia diajukan ke Pengadilan Militer. Namun, setelah serangkaian proses pengadilan, Hasan dibebaskan atas segala tuduhan menentang pemerintahan Jepang. Ia pun pulang dengan melangkahkan kaki menuju stasiun kereta di Lapangan Merdeka, Medan.

Catatan Oorlogsgraventichting mengungkapkan, “Saat ia sedang menuju kereta yang akan membawanya pulang, ia tiba-tiba diculik dan ditangkap kembali oleh Kempetai, militer Jepang dan polisi rahasia. Teuku Muhammad Hasan dibawa ke Pancur Batu di mana Kempetai mengeksekusinya untuk kejahatan yang tidak dilakukannya.” 

Sejak saat itu nama dan kontribusinya dalam perjuangan Indonesia nyaris hilang dalam ingatan warga Aceh. Bahkan, siapa sosok di balik “Jalan Teuku Hasan Dek”—yang membentang sekitar satu kilometer di jantung Banda Aceh—pun tidak ada lagi warga yang memedulikannya.

Cut Putri, yang pernah menjadi aktivis muda di sebuah gedung di ruas jalan itu, mengungkapkan kesaksiannya. Ia baru menyadari sosok itu adalah sang pejuang yang sedang ia singkap riwayatnya belakangan ini. “Kami sendiri tidak tahu siapa itu ‘Teuku Hasan Dek’ karena Hasan Dek itu nama panggilan karena dia gemuk, dia gendut,” ujarnya. “Kan engga relevan kalau nama jalan dibuat dari nama panggilan?”  

“Almarhum Pak Hasan adalah orang yang sangat berani. Ia berdiri melawan pasukan Jepang untuk memperjuangkan hak-hak orang Indonesia saat itu dan di masa depan. Kisahnya adalah keteguhan hati. Kisah dedikasi untuk melakukan apa yang benar dan membela apa yang kita yakini,” ungkap Eveline. “Semoga kita berharap kisah korban-korban perang lainnya tetap hidup dan menjadi sumber inspirasi komitmen perdamaian bagi kita semua."

     

Moral cerita dari taman-taman kehormatan

Berbeda dengan 15 tahun silam, Taman-taman Kehormatan Belanda kini terbuka untuk umum. Terdapat tujuh Taman Kehormatan di Jawa: Ereveld Kembang Kuning di Surabaya, Ereveld Kalibanteng dan Ereveld Candi di Semarang, Ereveld Leuwigajah di Cimahi, Ereveld Pandu di Bandung, Ereveld Menteng Pulo dan Ereveld Ancol di Jakarta. 

 “Kami sekarang menyambut lebih dari 20.000 pengunjung setiap tahun, yang datang untuk belajar sejarah dan kisah para korban perang,” kata Eveline. Umumnya mereka adalah komunitas anak muda yang berusia 20-an tahun yang hidup di dunia damai. “Tapi kita tahu dari masa lalu dan dari tempat-tempat lain di dunia saat ini bahwa perdamaian tidak datang begitu saja,” ujarnya. “Perdamaian bisa tiba-tiba terganggu dan seringkali akibat proses panjang berbagai pihak yang berhenti mendengarkan satu sama lain dan tidak berhasil menemukan solusi alternatif untuk konflik.”

 

Makam massal bagi mereka yang dihabisi hidupnya di Ancol, berlabel 'Geexecuteerd Antjol'. Salah satunya Profesor Dr. Achmad Mochtar, Direktur Eijkman Instituut yang tewas karena fitnah vaksin maut yang dituduhkan kepadanya oleh Jepang. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Bara konflik tidak segera padam kendati perang usai. Kolonel Norbert Moerkens mengungkapkan trauma pascaperang—entah kebencian, dendam, atau ketakutan. Trauma semacam itu dialami paman buyutnya pada masa Bersiap di Indonesia, dan trauma ayahnya sendiri ketika menderita pada periode kuasa Jerman di Eropa. Peristiwa itu mengingatkan kepadanya tentang proses transformasi yang harus dilalui dari kesedihan, menuju rekonsiliasi, dan pencerahan.

“Menurut saya, tempat seperti ini bisa menjadi wadah transformasi seperti itu,” ujar Moerkens. Ia mengajak kita untuk bisa mengambil jalan alternatif menuju pencerahan, sehingga generasi muda dan generasi mendatang tidak harus menemui semua penderitaan dan kesedihan semacam ini. “Saya akan meninggalkan Anda dengan pikiran-pikiran itu dan berharap bahwa Anda akan bersedia menggunakan tempat seperti ini—di masa kini dan di masa depan—untuk transformasi kesedihan, rekonsiliasi, dan pencerahan.” 

Proses transformasi itu harus terjadi di kedua belah pihak. Moerkens memberikan proses transformasi itu dari sudut pandang Belanda. "Hidup membutuhkan langkah-langkah berani," ujarnya, "seperti bersedia hadir di Hari Pahlawan Indonesia, atau menjawab pertanyaan apakah harus ada monumen bagi orang tak tercela yang dibunuh selama perang kemerdekaan oleh Belanda?"

Teuku Naser, cucu Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong, yang bersama keluarganya menziarahi pusara sang kakek. Berkat penelusuran Cut Putri, keluarga ini menemukan makam leluhurnya yang hilang. (Oorlogsgravenstichting )

Ereveld Ancol merupakan taman kehormatan milik Belanda yang pertama di Indonesia. Diresmikan 14 September 1946, yang saat itu dikelola Dinas Permakaman Perang Belanda.

Pejuang Tasikmalaya, K.H. Zainal Mustofa dieksekusi Jepang di sini pada 28 Maret 1944. Dia dimakamkan bersama santri dan korban-korban perang lainnya asal Belanda. Pada 1972 pemerintah memberikan penghargaan kepadanya sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Baru pada 1973, jasad mereka dimakamkan kembali di Tasikmalaya.

Profesor Achmad Mochtar, orang Indonesia pertama yang menjabat Direktur Lembaga Eijkman, tewas sebagai martir dalam kasus fitnah vaksin maut pada 3 Juli 1945. Berkat Profesor Sangkot Marzuki, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Lembaga Eijkman, makamnya "ditemukan kembali" pada 2010.

Hubertus Johannes van Mook selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda (menjabat 1942-1948) berpidato dalam peresmian taman kehormatan ini, “Mereka telah dieksekusi, terkadang disiksa sampai mati, terkadang terbunuh dalam pertempuran ketika mereka akhirnya bisa mendapatkan senjata. Tapi mereka semua mati untuk tujuan yang sama: untuk memulihkan kebebasan dan kemanusiaan."

Kawasan permakaman ini merupakan bekas ladang eksekusi saat pendudukan Jepang 1942-1945. Mereka yang ditawan dan tewas di sini bukan saja orang Belanda, tetapi juga orang-orang Indonesia yang dianggap berbahaya bagi Jepang. Mereka yang beristirahat di sini bukan hanya korban eksekusi di Ancol, tetapi juga korban eksekusi di beberapa tempat lainnya—seperti Hasan dan lima ulama asal Aceh.

Baca Juga: Warga Belanda dan Indonesia Bersama Memperingati Berakhirnya Perang Dunia Kedua

Baca Juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?

Baca Juga: Roti Berbiang Air Kencing di Kamp Tawanan Jepang untuk Bertahan Hidup

Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai 'Salam Djempol' di Jawa

Baca Juga: Tenggelamnya Kapal Poelau Bras Jelang Tamatnya Hindia Belanda

Ada tujuh taman kehormatan Belanda di Jawa, yang bukan sekadar menyimpan cerita mereka, tetapi juga cerita kita. Masa lalu tidak bisa kita ubah, namun kita bisa bersama-sama mengubah masa depan demi persaudaraan yang lebih baik.

Cut Putri mencoba ikhlas. Sejatinya dia tidak tega menyaksikan makam bangsawan dan tokoh Muhammadiyah bersama ulama Aceh lainnya itu  berpenanda salib. Namun ia menyadari bahwa para korban tidak bisa memilih untuk dimakamkan bersama siapa dalam makam massal ini. “Saya mohon untuk bisa menenggang rasa ketika harus sedih, ketika saya harus menziarahi makamnya dengan tabur bunga,” ujarnya.

Suasana takzim mengalun di sekeliling ruas-ruas Ereveld Ancol. Ada kedamaian di lokasi bekas ladang pembantaian ini ketika dua perempuan itu melangkahkan kaki menuju monumen untuk menghormat jiwa-jiwa yang telah mencapai kemenangan. “Begitu menaruh bunga di monumen,” ujarnya, “saya berpikir semua makhluk yang pada saat itu tidak bisa kita lihat dengan mata, semua makhluk hadir bersama kita, mengucapkan terima kasih, ‘kami masih dikunjungi’.”