Ereveld Ancol Berbagi Histori: Ziarah Para Pejuang Aceh yang Terlupakan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 25 Desember 2022 | 07:00 WIB
Kolonel Norbert Moerkens, Atase Pertahanan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta menyaksikan Direktur Oorlogsgravenstichting Indonesia Eveline C. de Vink dan Tjut Putri Alyanur, pemerhati sejarah dan budaya Aceh. Keduanya usai mengheningkan cipta di depan monumen 'Hun Geest Heeft Overwonnen' di Ereveld Ancol. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Demikianlah, bagi Hasan, sebuah kemunafikan apabila ia memimpin Muhammadiyah, namun jauh dari nilai-nilai aturan agama. Sebuah teladan bahwa untuk menjadi orang yang taat beragama perlu keteguhan dan kesungguhan. Kebaikan perlu diperjuangkan.

Hasan menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah selama dua periode. Periode pertama pada 1931 sampai 1934, lalu periode kedua 1934-1937. Berikutnya, Teuku Tjut Muhammad Hasan Meuraxa yang menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah kedua di Aceh.

Ia rela melepaskan segala jabatan, baik sebagai Konsul Muhammadiyah maupun sebagai Ambtenar, karena ayahnya wafat. Ia harus pulang kampung menggantikan kedudukan ayahnya yang seorang Uleebalang III Mukim Geulumpang Payung. Hamka pun menyanjungnya atas prinsip, "Adat musti berdiri dan negeri mesti beradja."

Ketika menjabat sebagai Uleebalang, Hasan pun memiliki prinsip lebih egaliter dan modern, yang membedakan dengan pendahulu-pendahulunya. Sebagai contoh, ketika orang-orang bertamu ke kediamannya, mereka tidak perlu membungkuk atau bersalaman sambil mencium lutut.

Hasan tampil dalam kenangan warga sebagai “tokoh pembaharu Muhammadiyah di Aceh,” tutur Cut Putri. “Bisa masuk diterima masyarakat Aceh, diterima pemerintahan, bisa diterima oleh kolonial Belanda. Sebuah hal yang luar biasa.” 

Dia menambahkan, “Semua masyarakat Aceh adalah syuhada pejuang perang. Tetapi untuk memimpin organisasi kemasyarakatan-religi itu dibutuhkan kemampuan untuk memberikan pemahaman kepada rakyat—kemampuan lebih dibandingkan orang lain.”

Hasan juga merupakan kawan seperjuangan Teuku Nyak Arif (1899-1946), seorang pahlawan nasional bidang pendidikan dan pemerintahan asal Aceh. Atas dasar keinginan mereka dalam bahasa persatuan, mereka menganjurkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah, alih-alih bahasa daerah Aceh.

Keduanya juga mengupayakan dana pendidikan swadaya untuk anak-anak Aceh yang kurang mampu supaya mendapatkan pendidikan yang layak. Rusdi Sufi dalam bukunya Gerakan Nasionalisme di Aceh (1900-1942) yang diterbitkan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh pada 1998, mengungkapkan bahwa Atjehsche Studiefonds, atau dana pelajar Aceh, didirikan di Kutaraja pada 1928. Pengurusnya telah disepakati, Ketua Tuanku Mahmud dan Wakilnya Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payung; Bendahara H.M. Bintang, Komisaris: Teuku Nyak Arif, Tuanku Djamil, Abidin, dan T.A. Salam. Saat awal didirikan, anggotanya berjumlah 137 orang—Uleebalang, guru, dan pedagang.

Selain berkiprah di Muhammadiyah, Hasan juga berkontribusi sebagai perintis pendirian Taman Siswa di Aceh pada 1932. Rusdi juga mengungkapkan bahwa panitia pendirian itu diketuai oleh Hasan dengan wakilnya Teuku Nyak Arif, dan dukungan tokoh-tokoh terpelajar dari luar daerah. "Berkat pembinaan yang tekun dari mereka, dalam waktu yang relatif singkat panitia telah berhasil membuka 4  buah sekolah Taman Siswa di Kutaraja," tulis Rusdi, "yaitu masing-masing sebuah Taman Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa."

 

Kolonel Norbert Moerkens, Atase Pertahanan di Kedutaan Besar Belanda dan Direktur Oorlogsgravenstichting Indonesia Eveline C. de Vink membaca perjuangan KH Zainal Mustofa asal Tasikmalaya. Sang Kiai dihabisi hidupnya di Ancol pada 1944, dan jasadnya berada di Ereveld Ancol sampai 1973. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Kecamuk Perang Asia Timur Raya akhirnya sampai juga ke Hindia Belanda. Hindia Belanda resmi tamat riwayatnya dalam meja Kapitulasi Kalijati, 8 Maret 1942.

Buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan pada 1977, mencatat bahwa militer Jepang baru mendarat di pesisir Aceh pada 12 Maret 1942. Tiga titik pendaratan itu adalah Peureulak di Aceh Timur, Krueng Raya di Aceh Besar, dan Sabang.