Ereveld Ancol Berbagi Histori: Ziarah Para Pejuang Aceh yang Terlupakan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 25 Desember 2022 | 07:00 WIB
Kolonel Norbert Moerkens, Atase Pertahanan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta menyaksikan Direktur Oorlogsgravenstichting Indonesia Eveline C. de Vink dan Tjut Putri Alyanur, pemerhati sejarah dan budaya Aceh. Keduanya usai mengheningkan cipta di depan monumen 'Hun Geest Heeft Overwonnen' di Ereveld Ancol. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kedekatan Hasan dengan tokoh-tokoh Islam nasionalis di Hindia Belanda, membuat Hasan dikenal sebagai sosok bangsawan Aceh sekaligus ulama yang senantiasa menekankan pentingnya perjuangan kemerdekaan. 

Buya Hamka mengungkapkan kesaksiannya tentang sang pejuang itu dalam tulisannya bertajuk “Teuku Hassan Glompang Pajong, Consul Muhammadijah Pertama Atjeh” yang terbit di majalah Pandji Masjarakat pada 1969. Tulisan itu berada dalam tajuk halaman “Pahlawan Islam dan Kemerdekaan.”

Menurut catatannya, bangsawan Aceh itu lulusan 'Sekolah Radja' di Bukittinggi, yang dididik untuk menjadi ambtenar. Kendati sehari-hari menggunakan bahasa dan gaya hidup Belanda, jiwa Islamnya tidaklah meluntur. Pasalnya, selama di perantauan, Hasan mengikuti kajian Syekh Mohammad Djamil Djambek. Bagi anak Aceh, baik bangsawan maupun petani, dasar pertamanya adalah pendidikan agama Islam yang keras. 

Foto peresmian Ereveld Ancol pada 14 September 1946. Tampak korps musik dan peserta berlatar monumen 'Hun Geest Heeft Overwonnen' yang bercat Triwarna. Di sinilah tempat bersejarah bermula. Awalnya di tapak monumen itu, Jepang menandai dengan sebuah nisan dan sebuah salib kayu, serta epitaf pada marmer yang menunjukkan makam. Kemudian Dinas Permakaman Tentara Belanda membangun monumen untuk mengenang korban. Arsip foto ini merupakan bagian pameran 'Dari Masa Lalu untuk Masa Depan dalam Persaudaraan Lebih Baik' yang digelar di Ereveld Ancol 10 – 31 Desember 2022. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pada 1931 Muhammadiyah menggelar konferensi di Sigli, demikian ungkap Buya. Ia, yang saat itu berusia 23 tahun, mengikuti ayahnya yang diundang menghadiri konferensi untuk memilih Konsul Muhammadiyah untuk seluruh Aceh. Perhelatan itu menghasilkan suara bulat bahwa Hasan diberi amanat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai Konsul Muhammadiyah, yang berkantor di Kutaraja, kini Banda Aceh.

Saat itu Hasan menjabat sebagai Ambtenaar yang diperbantukan di Kantor Gubernur Aceh. Jabatan itu setara wedana atau demang eerste klas di daerah lain. Buya Hamka mengungkapkan apresiasi kepadanya,“Meskipun ditempat2 dan daerah lain djarang sekali Ambtenar tinggi jang masuk pergerakan rakjat, malahan menjadi penghalang dan pembentji, namun di Atjeh terdapat hal jang istimewa; Orang besar dari kantor Gubernur, tangan kanan Gubernur van Acken djadi orang Muhammadijah, dan menganut Muhammadijah dengan ichlas.

Namun Hamka menambahkan, masih ada saja orang-orang yang menganggap bahwa masuknya Hasan dalam organisasi itu sejatinya lebih pada tugasnya untuk memata-matai pergerakannya.

Potret Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook (1894–1965) saat meresmikan Ereveld Ancol pada 14 September 1946. Arsip foto ini merupakan bagian pameran 'Dari Masa Lalu untuk Masa Depan dalam Persaudaraan Lebih Baik' yang digelar di Ereveld Ancol 10 – 31 Desember 2022. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Hamka juga memberi kesaksian perkembangan organisasi Islam itu selama dalam kepemimpinan Hasan.“Muhammadijah Atjeh selama dalam pimpinan dan bimbingan beliau berdjalan dengan baik,” tulisnya. “Sekolah2 berdiri, gerakan kepanduan H.W. gerakan Aisjijah; dan rumah beliau, meskipun rumah ambtenar tinggi, terbuka buat menerima kedatangan tetamu meminta nasehat, meminta fikiran.”

Ia juga memberikan gambaran sosok sang pejuang itu dengan sedikit kelakar. “Pada mulanja jang 'fanatik' hanja mulutnja sadja. Beliau mulanja malas sembahjang. Apalah lagi badan beliau gemuk, sehingga dikalangan colleganja sama2 bangsawan disebut 'Hasan Dick' [maksudnya Hasan Dik], Hasan Gemuk.” Kemudian ia menambahkan selarik kalimat lagi, "Lantaran gemuk sukar ruku' dan sudjud."

Kendati demikian, Hamka menegaskan kembali bahwa Hasan adalah sosok yang memperjuangkan ketaatannya pada agama, meski ia kesusahan untuk rukuk dan sujud. "Badannja jang sangat gemuk mulanja merasa berat ruku' dan sudjud," tulisnya. "Namun kekerasan hatinja telah dapat mengatasi kesulitan itu."

Selain menegakkan salat lima waktu, Hasan yang awalnya peminum pun berhasil menghilangkan kebiasaan itu. "Dengan keras dia mendisiplin diri agar djangan minum. Lantaran itu djiwanja kian lama kian padu sebagai Muslim."