Dari Babilonia hingga Romawi, Begini Perayaan Tahun Baru di Zaman Kuno

By Sysilia Tanhati, Senin, 2 Januari 2023 | 09:00 WIB
Perayaan Tahun Baru selalu diisi dengan syukur dan harapan masa yang baik. Bagaimana perayaan Tahun Baru di zaman kuno, dari Babilonia hingga Romawi? (Mostafameraji)

Nationalgeographic.co.id—Memasuki tahun baru, sebagian besar orang di berbagai belahan dunia melakukan perayaan dan ritual unik. Perayaan ini bukanlah hal yang baru dan telah dilakukan di zaman kuno. Meski bentuk perayaannya telah berubah dari waktu ke waktu, tujuannya selalu sama yaitu untuk merayakan datangnya hari baru. Perayaan Tahun Baru selalu diisi dengan syukur dan harapan akan masa dengan yang lebih baik. Dari Babilonia hingga Romawi, bagaimana perayaan tahun baru di zaman kuno?

Orang Babilonia kuno merayakan Akitu

Perayaan Tahun Baru orang Babilonia kuno dilakukan pada bulan baru pertama setelah titik balik musim semi pada akhir Maret. Dalam perayaan itu, mereka menghormati kelahiran kembali alam dengan festival multi-hari yang disebut Akitu.

“Perayaan awal Tahun Baru ini dimulai sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi,” tulis Evan Andrews di laman History. Selama Akitu, patung para dewa diarak melalui jalan-jalan kota dan upacara dilakukan untuk melambangkan kemenangan mereka atas kekuatan kekacauan.

Melalui ritual ini, orang Babilonia percaya bahwa dunia secara simbolis dibersihkan dan diciptakan kembali oleh para dewa. Pembersihan itu dianggap sebagai persiapan untuk tahun yang baru dan kembalinya musim semi.

Salah satu aspek menarik dari Akitu melibatkan semacam ritual penghinaan yang dialami oleh raja Babilonia. Raja dibawa ke hadapan patung dewa Marduk, dilucuti dari tanda kerajaannya dan dipaksa untuk bersumpah bahwa dia telah memimpin kota dengan hormat. Seorang imam besar kemudian akan menampar raja dan menyeret telinganya dengan harapan membuatnya menangis.

Jika air mata kerajaan ditumpahkan, itu dilihat sebagai tanda bahwa Marduk puas dan secara simbolis telah memperpanjang kekuasaan raja.

Sejarawan berpendapat bahwa unsur-unsur politik ini menunjukkan bahwa Akitu digunakan sebagai alat untuk menegaskan kembali kekuasaan ilahi raja atas rakyatnya.

Nowruz, Tahun Baru orang Persia kuno

Meskipun masih dirayakan di Iran dan bagian lain di Timur Tengah dan Asia, akar Nowruz (atau "Hari Baru") menjangkau jauh ke zaman kuno.

Sering disebut "Tahun Baru Persia", festival musim semi selama 13 hari ini jatuh pada vernal equinox pada bulan Maret.

Catatan resmi Nowruz tidak muncul sampai abad ke-2, tetapi sebagian besar sejarawan percaya bahwa perayaannya dimulai setidaknya sejak abad ke-6 Sebelum Masehi. Nowruz bertahan sebagai hari libur penting bahkan setelah penaklukan Iran oleh Aleksander Agung dan kebangkitan kekuasaan Islam pada abad ke-7 Masehi.

Nowruz berfokus pada kelahiran kembali yang menyertai kembalinya musim semi. Para raja akan menggunakan hari itu untuk mengadakan perjamuan mewah, membagikan hadiah, dan mengadakan audiensi dengan rakyat.

Tradisi lain termasuk pesta, bertukar hadiah dengan anggota keluarga dan tetangga, menyalakan api unggun, mewarnai telur dan memercikkan air untuk melambangkan penciptaan.

Salah satu ritual unik yang muncul sekitar abad ke-10 melibatkan pemilihan "Penguasa Nowruzian". Seorang rakyat dipilih untuk berpura-pura menjadi raja selama beberapa hari sebelum "digulingkan" menjelang akhir festival.

Nowruz berkembang pesat dari waktu ke waktu, tetapi banyak dari tradisi kunonya—khususnya penggunaan api unggun dan telur berwarna—tetap menjadi bagian dari hari raya modern.

Perayaan Janus di zaman Romawi Kuno

Tahun Baru Romawi juga awalnya berhubungan dengan titik balik musim semi. Namun seiring dengan berjalannya waktu, perayaan Tahun Baru dilakukan setiap tanggal 1 Januari.

Bagi orang Romawi, bulan Januari memiliki makna khusus. Namanya berasal dari dewa bermuka dua Janus, dewa perubahan dan permulaan. Janus dipandang secara simbolis melihat ke belakang ke masa lalu dan masa depan ke masa baru. “Konsep itu pun kemudian disesuaikan dengan konsep transisi dari satu tahun ke tahun berikutnya,” tambah Andrews.

Janus adalah salah satu dewa kebanggaan orang Romawi kuno. Sering dikaitkan dengan gerbang, permulaan, dan transisi, Janus biasanya bermuka dua. (Sebastian Münster)

Setiap tanggal 1 Januari, orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan memberikan persembahan kepada Janus. Harapannya, mereka akan mendapatkan keberuntungan untuk tahun baru. Tanggal 1 Januari dipandang sebagai persiapan untuk dua belas bulan berikutnya. Maka teman dan tetangga memulai tahun yang positif dengan saling bertukar harapan baik dan hadiah berupa buah ara dan madu.

Menurut penyair Ovid, sebagian besar orang Romawi juga memilih untuk bekerja setidaknya pada sebagian Hari Tahun Baru. “Pasalnya, kemalasan dipandang sebagai pertanda buruk selama sisa tahun itu,” Andrews menambahkan lagi.

Tahun Baru Imlek

Salah satu tradisi tertua yang masih dirayakan hingga saat ini adalah Tahun Baru Imlek. Perayaan ini diyakini berasal lebih dari 3.000 tahun yang lalu pada masa Dinasti Shang.

Di masa itu, festival dimulai sebagai cara merayakan awal baru musim tanam musim semi. Mitos dan legenda juga ikut mewarnai perayaan Tahun Baru di Tiongkok. Menurut salah satu kisah populer, pernah ada makhluk haus darah yang disebut Nian—sekarang kata Cina untuk “tahun”—yang memangsa desa setiap Tahun Baru. Untuk menakut-nakuti binatang buas yang lapar itu, penduduk desa mendekorasi rumah mereka dengan hiasan merah, membakar bambu, dan membuat suara keras.

Tahun Baru Imlek adalah waktu untuk reuni keluarga dan harapan baru. Tradisi ini dilakukan sejak abad ke-21 SM (Jason Leung/Unsplash)

Tipu muslihat itu berhasil. Warna-warna cerah serta lampu yang terkait dengan menakut-nakuti Nian akhirnya menyatu ke dalam perayaan itu hingga kini.

Perayaan secara tradisional berlangsung selama 15 hari dan cenderung berpusat di rumah dan keluarga. Orang-orang membersihkan rumah untuk menghilangkan kesialan. Sebagian membayar hutang lama sebagai cara untuk menyelesaikan urusan tahun sebelumnya.

Untuk mengupayakan awal tahun yang baik, mereka juga menghiasi pintu dengan gulungan kertas dan berkumpul dengan kerabat untuk berpesta.

Menyusul penemuan bubuk mesiu pada abad ke-10, orang Tionghoa juga menjadi orang pertama yang merayakan Tahun Baru dengan kembang api. Tahun Baru Imlek masih didasarkan pada kalender lunar yang berasal dari milenium kedua Sebelum Masehi. Perayaan biasanya jatuh pada akhir Januari atau awal Februari pada bulan baru kedua setelah titik balik matahari musim dingin.

Setiap tahun dikaitkan dengan salah satu dari 12 hewan zodiak: tikus, sapi, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing dan babi.

Renpet Wepet di kebudayaan Mesir Kuno

Budaya Mesir kuno terkait erat dengan Sungai Nil dan tampaknya Tahun Baru mereka berhubungan dengan banjir tahunannya.

Baca Juga: Lima Kematian Tersadis Martir Kristen: Dikuliti hingga Direbus

Baca Juga: Bermakna Penting, Bagaimana Tradisi Perayaan Akhir Tahun Berawal?

Baca Juga: Janus, Dewa Awal dan Akhir dari Romawi yang Memiliki Dua Muka

Baca Juga: Tahun Baru Imlek, Ajang Reuni Keluarga dan Migrasi Manusia Terbesar

Menurut penulis Romawi Censorinus, Tahun Baru Mesir diramalkan ketika Sirius—bintang paling terang di langit malam—pertama kali terlihat setelah menghilang selama 70 hari. Lebih dikenal sebagai kenaikan heliacal, fenomena ini biasanya terjadi pada pertengahan Juli tepat sebelum genangan tahunan Sungai Nil. Banjir Sungai Nil membantu memastikan tanah pertanian tetap subur untuk tahun yang akan datang.

Orang Mesir merayakan permulaan baru ini dengan festival yang dikenal sebagai Wepet Renpet, yang berarti “pembukaan tahun”. Tahun Baru dipandang sebagai waktu kelahiran kembali dan peremajaan, dan dihormati dengan pesta dan upacara keagamaan khusus.

Orang Mesir mungkin juga menggunakan ini sebagai alasan untuk sedikit mabuk dan bersenang-senang. Penemuan terbaru di Kuil Mut menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Hatshepsut, bulan pertama tahun ini menjadi tuan rumah bagi "Festival Kemabukan". Pesta besar-besaran ini terkait dengan mitos Sekhmet, seorang dewi perang yang berencana untuk membunuh seluruh umat manusia. Akhirnya, dewa matahari Ra menipunya untuk meminum dirinya hingga pingsan. Untuk merayakan keselamatan umat manusia, pesta dilengkapi dengan musik, seks, pesta pora dan—mungkin yang paling penting dari semuanya—bir dalam jumlah yang banyak.