Pemberontakan di Curacao, Budak yang Enggan Diperbudak Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 7 Januari 2023 | 12:00 WIB
Pemberontakan para budak di Curacao menjadi titik awal pembebasan melawan kolonialisme Belanda di Hindia Barat. Pemimpin perlawanan ini adalah Tula yang terinspirasi dari revolusi Prancis 1794. (Edsel Selberie/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id - Bangsa Eropa melakukan penjelajahan dunia besar-besaran di abad ke-15. Hampir seluruh negara-negara Eropa barat melakukannya seperti, Spanyol, Belanda, Portugis, Inggris, dan Prancis.

Curacao, salah satu pulau kecil di Laut Karibia, tak sampai 100 kilometer di utara Venezuela menjadi saksi kolonialisme Eropa. Pulau ini pertama kali dikuasai Spanyol sejak akhir abad ke-16.

Kemudian pada 1634, pulau penting ini berpindah tangan ke Belanda lewat Geoctrooieerde Westindische Compagnie (Perusahaan Hindia Barat) atau GWC. Perusahaan itu sejenis VOC di Hindia Belanda, tetapi di barat dunia.

Sejarawan Belanda Liek Mulder dan Anne Doedens menulis di Historiek berjudul "Oorlog in de West tijdens de Spaanse Successieoorlog". Mereka menyebut, GWC memiliki monopoli perdagangan dan pengapalan yang diberikan oleh Serikat Jenderal di Afrika Barat, Kepulauan Karibia, Amerika, dan semua pulau antara Newfoundland dan Selat Magellan.

Di tangan Belanda, Curacao memiliki perkebunan yang sebagian besar dipegang oleh orang Yahudi. Keberadaan di sana bersangkutan dengan hilangnya kendali GWC di Brasil tahun 1654, terang Mulder dan Doedens.

Namun, sumber daya orang Belanda dan Yahudi di Curacao sangat sedikit untuk mengelola perkebunan. Oleh karena itu, GWC mendatangkan budak untuk dipekerjakan di perkebunan.

Peminat kajian bahasa dan budaya Belanda Lilie Suratminto menjelaskan, budak lebih sering didapatkan dari pedalaman Afrika lewat penaklukan dan persaingan dengan berbagai kerajaan setempat. Ketika kapal tersedia untuk dikirim ke Amerika Selatan, para budak "telanjang seperti hari mereka dilahirkan". Tak sedikit yang mencoba melarikan diri dari kapal, yang akhirnya dibunuh supaya menghindari kerusuhan di dalam kapal.

Namun, perlawanan budak di Curacao sempat terjadi pada 1795. Pemimpin perlawanannya adalah Tula, salah satu pemimpin budak. Para sejarawan Belanda yang dipimpin Leo Dalhuisen dari Leiden University, lewat buku Geschiedenis van de Antillen menulis kisah perjuangan itu.

Tula, seorang budak yang memimpin pemberontakan di Curacao. Belum diketahui asalnya dari mana, yang pasti adalah keturunan Afrika. Perjuangannya menjadikannya sebagai pahlawan Curacao. (Edsel Selberie)

Inspirasi Tula adalah pelajaran kebebasan dari revolusi Prancis 1794. Prancis yang menjatuhkan monarkinya, turut menghapus perbudakan untuk republiknya di Eropa. Tula percaya bahwa budak di Curacao juga berhak atas kebebasan mereka, dan melepas belenggu dari majikan.

Mengutip Historiek, "Pemberontakan sebagian besar disiapkan oleh budak Tula. Dia mengaku berhubungan dengan jenderal Prancis Rigaud yang sebelumnya mendukung para budak San Domingo dalam pemberontakan."

Tula memimpin perlawanan pada 17 Agustus 1795, bersama kurang lebih 50 budak. Awalnya para budak melakukan perlawanan di perkebunan milik Caspar Lodewijk van Uytrecht. Lalu mereka berkumpul di alun-alun perkebunan, dan mengancam Van Uytrecht bahwa diri mereka bukan lagi budak.

Caspar Lodewijk van Uytrecht (1786-1862), pemilik kebun di Curacao. Dia mempekerjakan budak yang pada akhirnya membuat mereka membangkang untuk kebebasan. (Kunstcollectie)

Mereka pun memilih untuk meninggalkan perkebunan, dan bersatu dengan yang budak-budak dari perkebunan lainnya. Senjata kolonial pun berhasil dilucuti mereka, dan kemudian mendobrak penjara untuk memebaskan budak yang sebelum-sebelumnya ditahan karena membangkang.

Situasi membuat tidak senang para majikan. Van Uytrecht pun mengirim catatan kepada gubernur jenderal malam hari. Gubernur Jenderal koloni Belanda untuk St. Maarten, Saba, dan St. Eustatius Johannes de Veer segera bergerak memadam perlawanan. Pasukan bersenjata didatangkan dari luar pulau untuk mempertahankan Benteng Amsterdam di Willemstad, Curacao.

Tula dan para budak berhasil menghadapi militer Belanda yang terdiri dari kulit putih dan hitam pada 19 Agustus. Perlahan-lahan, perlawanan ini menjadi ancaman serius bagi orang kulit putih, sehingga militer melancarkan serangannya.

Pemerintah menawarkan akan meringankan hukuman jika para budak bersedia menyerahkan diri. Salah satu yang menjadi penengahnya adalah pastor Jacobus Schinck.

Dalam suatu pertemuan, Tula mengatakan pada pastor "Tuan Bapa, bukankah semua manusia berasal dari satu ayah, Adam dan Hawa? Apakah saya bersalah bahwa saya telah membebaskan dua puluh dua saudara saya dari belenggu di mana mereka dilemparkan secara tidak adil?"

Tula juga menuntut untuk mengakhiri hukuman kolektif, meliburkan kerja di hari Minggu, dan bebas membeli pakaian dan barang di luar tempat majikannya sendiri. Laporan ini disampaikan Pastor Schinck ke komandan militer Baron Westerholt. Militer justru membalas para budak dengan serangan, dan para budak melawan.

Eksekusi kematian Tula di Curacao. (Edsel Selberie/Wikimedia)

Serangan itu membuat Tula harus melarikan diri ke hutan. Namun di kota, hadiah diberikan pada siapa pun yang bisa memberi informasi tentang Tula. Dia akhirnya tertangkap oleh militer ketika salah satu budak membocorkan informasi. Akhir babak ini membuat banyak para budak dihukum mati, dipulangkan ke majikannya setelah dicambuk.

Baca Juga: Merapah Rempah: Upah, Darah, dan Budak-budak Sepanjang Jalur Rempah

Baca Juga: Sadis, Budak Mesir Kuno Diberi Cap dengan Besi Panas bak Ternak

Baca Juga: Selidik Untung Suropati: Dari Budak VOC Sampai Pahlawan Pasuruan

Baca Juga: Perdagangan Budak Belanda di Transatlantik, Dari Afrika hingga Amerika

Kepala Tula dipenggal dan ditancapkan di atas tombak sebagai peringatan dan pencegahan pemberontakan budak.

Tula akhirnya menjadi simbol melawan perbudakan di Curaçao dan karenanya dinyatakan sebagai pahlawan nasional tahun 2019. Perjuangan para budak justru menjadi titik awal kebebasannya sendiri. Namun, perbudakan Belanda baru dihapus 68 tahun kemudian, 1863.