Nationalgeographic.co.id—Saat ini Indonesia sedang memasuki era bonus demografi dan diperkirakan akan mencapai puncaknya sekitar satu dasawarsa lagi, yakni tahun 2033. Menurut United Nations Population Fund, bonus demografi adalah kondisi ketika di suatu negara, masyarakat berusia produktifnya lebih banyak daripada masyarakat berusia nonproduktif.
Usia produktif yang dimaksud adalah 15-64 tahun, sedangkan usia nonproduktif di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Lebih spesifik lagi, dalam bonus demografi, jumlah masyarakat berusia produktif ini menguasai 70% populasi suatu negara. Adapun jumlah masyarakat berusia nonproduktif hanya 30%.
Sebagai gambaran, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa pada Juni 2022. Dari jumlah tersebut, 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk Indonesia masuk kategori usia produktif (15-64 tahun). Sisanya, 84,53 juta jiwa (30,7%) penduduk, masuk kategori usia tak produktif.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bonus demografi yang dimiliki Indonesia harus jadi modal untuk maju. "Bonus demografi yang kita dapatkan jangan sampai menjadi beban, tetapi mestinya menjadi modal kita untuk melompat maju menjadi negara yang adil, makmur, dan berkemajuan. Indonesia maju!" tegas Jokowi saat membuka Muktamar ke-18 Pemuda Muhammadiyah di Balikpapan, Rabu pekan ini.
Upaya memanfaatkan bonus demografi untuk menjadi negara maju dan berdaya saing global pernah dicontohkan oleh Korea Selatan (Korsel). Pada tahun 1950-an hingga 1960-an Korsel adalah salah satu negara termiskin di dunia akibat Perang Korea. Namun, Korsel mampu memanfaatkan bonus demografi untuk bangkit dari keterpurukannya. Lambat laun Korsel mampu berkembang pesat dan membalik keadaan.
Tak hanya Korea, Tiongkok sebagai negara dengan penduduk majemuk juga merasakan kejayaan berkat bonus demografi. Keberhasilan itu dicapai karena bangsa Tiongkok memberdayakan sumber daya manusia (SDM) dengan membuat industri rumahan. Sejalan dengan itu, Tiongkok juga mulai melakukan investasi besar-besaran di bidang pendidikan sejak tahun 1990-an.
Pendidikan Adalah Kunci
Pelaksana tugas (Plt.) Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam mengatakan masyarakat Indonesia harus punya kesadaran akan pentingnya berinvestasi di dunia pendidikan. Sebab, pendidikan berkualitas bakal menghasilkan SDM berkualitas dan berperan untuk kemajuan negara.
"Kita belajar dari negara Jepang, pada tahun 70-an, perekonomian mereka berada di peringkat dua di bawah Amerika, padahal mereka kalah perang sebelumnya," ujar Nizam yang juga merupakan Profesor di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Lalu pada tahun 1990-an, Korsel juga muncul sebagai negara dengan ekonomi yang maju. Kemudian pada tahun 2000-an perekonomian Tiongkok juga mencuat di kancah global.
"Korea Selatan bangkit dimulai dari teman-teman medianya. Mereka mem-brainwashing pikiran masyarakatnya tentang pentingnya investasi di SDM dan pendidikan," ucap Nizam. Adapun Tiongkok berinvestasi besar dalam pendidikan dengan mendatangkan banyak tenaga pengajar dari Amerika untuk mengajar anak-anak muda mereka di perguruan tinggi.
Dalam bidang pendidikan, pekerjaan rumah (PR) Indonesia memang masih besar. Sebab, saat ini angkatan kerja Indonesia masih didominasi SDM berpendidikan menengah ke bawah. Per Juni 2022, hanya 6,41% penduduk Indonesia yang sudah mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi.