Bonus Demografi untuk Mencetak Generasi Indonesia Berdaya Saing Global

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 25 Februari 2023 | 11:00 WIB
Pemuda Indonesia harus punya pendidikan dan keterampilan yang tinggi agar bisa bersaing secara global. (ITB)

Nationalgeographic.co.id—Saat ini Indonesia sedang memasuki era bonus demografi dan diperkirakan akan mencapai puncaknya sekitar satu dasawarsa lagi, yakni tahun 2033. Menurut United Nations Population Fund, bonus demografi adalah kondisi ketika di suatu negara, masyarakat berusia produktifnya lebih banyak daripada masyarakat berusia nonproduktif.

Usia produktif yang dimaksud adalah 15-64 tahun, sedangkan usia nonproduktif di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Lebih spesifik lagi, dalam bonus demografi, jumlah masyarakat berusia produktif ini menguasai 70% populasi suatu negara. Adapun jumlah masyarakat berusia nonproduktif hanya 30%.

Sebagai gambaran, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa pada Juni 2022. Dari jumlah tersebut, 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk Indonesia masuk kategori usia produktif (15-64 tahun). Sisanya, 84,53 juta jiwa (30,7%) penduduk, masuk kategori usia tak produktif.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bonus demografi yang dimiliki Indonesia harus jadi modal untuk maju. "Bonus demografi yang kita dapatkan jangan sampai menjadi beban, tetapi mestinya menjadi modal kita untuk melompat maju menjadi negara yang adil, makmur, dan berkemajuan. Indonesia maju!" tegas Jokowi saat membuka Muktamar ke-18 Pemuda Muhammadiyah di Balikpapan, Rabu pekan ini.

Upaya memanfaatkan bonus demografi untuk menjadi negara maju dan berdaya saing global pernah dicontohkan oleh Korea Selatan (Korsel). Pada tahun 1950-an hingga 1960-an Korsel adalah salah satu negara termiskin di dunia akibat Perang Korea. Namun, Korsel mampu memanfaatkan bonus demografi untuk bangkit dari keterpurukannya. Lambat laun Korsel mampu berkembang pesat dan membalik keadaan.

Tak hanya Korea, Tiongkok sebagai negara dengan penduduk majemuk juga merasakan kejayaan berkat bonus demografi. Keberhasilan itu dicapai karena bangsa Tiongkok memberdayakan sumber daya manusia (SDM) dengan membuat industri rumahan. Sejalan dengan itu, Tiongkok juga mulai melakukan investasi besar-besaran di bidang pendidikan sejak tahun 1990-an.

Pendidikan Adalah Kunci

Pelaksana tugas (Plt.) Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam mengatakan masyarakat Indonesia harus punya kesadaran akan pentingnya berinvestasi di dunia pendidikan. Sebab, pendidikan berkualitas bakal menghasilkan SDM berkualitas dan berperan untuk kemajuan negara.

"Kita belajar dari negara Jepang, pada tahun 70-an, perekonomian mereka berada di peringkat dua di bawah Amerika, padahal mereka kalah perang sebelumnya," ujar Nizam yang juga merupakan Profesor di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Lalu pada tahun 1990-an, Korsel juga muncul sebagai negara dengan ekonomi yang maju. Kemudian pada tahun 2000-an perekonomian Tiongkok juga mencuat di kancah global.

"Korea Selatan bangkit dimulai dari teman-teman medianya. Mereka mem-brainwashing pikiran masyarakatnya tentang pentingnya investasi di SDM dan pendidikan," ucap Nizam. Adapun Tiongkok berinvestasi besar dalam pendidikan dengan mendatangkan banyak tenaga pengajar dari Amerika untuk mengajar anak-anak muda mereka di perguruan tinggi.

Dalam bidang pendidikan, pekerjaan rumah (PR) Indonesia memang masih besar. Sebab, saat ini angkatan kerja Indonesia masih didominasi SDM berpendidikan menengah ke bawah. Per Juni 2022, hanya 6,41% penduduk Indonesia yang sudah mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi.

Penduduk Indonesia yang berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) ada sebanyak 20,89%. Adapun mayoritas penduduk Indonesia (72,7%) berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau lebih rendah dari itu.

Dengan tingkat pendidikan yang masih rendah, daya saing SDM Indonesia tentu juga masih rendah. Dalam The Global Talent Competitiveness Index 2022 terbitan INSEAD, Human Capital Leadership Institute, dan Portulans Institute, Indonesia menduduki peringkat ke-82 dari 133 negara yang diteliti dengan skor 37,00.

Indeks daya saing global berdasarkan bakat ini mengukur serangkaian kebijakan dan praktik yang memungkinkan suatu negara untuk berkembang serta menarik dan memberdayakan sumber daya manusia guna berkontribusi dalam produktivitas dan kemakmuran.

Beberapa indikator yang digunakan untuk menilai indeks ini antara lain pendapatan per kapita, pendidikan, infrastruktur teknologi informasi, gender, lingkungan, tingkat toleransi, dan stabilitas politik.

Baca Juga: Penguatan Riset Kampus dan Strategi Bonus Demografi

Baca Juga: Anak Muda Indonesia Punya Segudang Inovasi untuk Karbon Netral

Baca Juga: Lato-lato, Hukum Newton, dan Karma Generasi Tua yang Dulu Pernah Muda 

Secara global, Indonesia masih berada di papan bawah dalam hal daya saing global dari sisi bakat ini. Begitu pula jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara.

Singapura berada di posisi ke-2 global dengan skor 75,80. Adapun Brunei Darussalam dan Malaysia berada di papan tengah di peringkat ke-41 dan ke-45. Meski juga di papan bawah, Vietnam, Thailand, dan Filipina masih di atas Indonesia dengan peringkat masing-masing 72, 75, dan 80.

Rendahnya tingkat daya saing global ini sebanding juga dengan rendahnya tingkat kecerdasan intelektual (IQ) penduduk Indonesia. Dalam Average IQ by Country 2022 yang dijabarkan oleh World Population Review, IQ rata-rata penduduk Indonesia dinilai baru sebesar 78,49 yang berarti masih rendah.

Dengan nilai IQ rara-rata ini, Indonesia ditempatkan di peringkat ke-10 Asia Tenggara, hanya lebih tinggi dari Timor-Leste yang notabene negara bekas pecahan Indonesia. Adapun secara global posisi Indonesia berada di peringkat 130 dari 199 negara yang dinilai.

"Wilayah dunia dengan skor IQ yang lebih rendah biasanya lebih miskin dan kurang berkembang. Terutama di bidang pendidikan, dibandingkan dengan negara-negara dengan skor IQ yang lebih tinggi,” demikian pernyataan World Population Review.

Selain tingkat pendidikan yang rendah, lapangan kerja di Indonesia juga masih sedikit sehingga angka pengangguran di Indonesia saat ini masih cukup tinggi. Menurut data Badan Pusat statistik (BPS) per Agustus 2022, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta. Porsinya 5,86% dari total angkatan kerja nasional.

Pengangguran paling banyak berasal dari kelompok usia 20-24 tahun, yakni 2,54 juta orang. Angka pengangguran usia muda ini setara 30,12% dari total pengangguran nasional.

Upaya pemerintah dari sisi pendidikan untuk mencetak generasi Indonesia yang mampu memecahkan permasalahan ekonomi ini adalah penerapan kurikulum Merdeka Belajar. Fokus kurikulum ini adalah aspek pengembangan minat, bakat, kreativitas, dan inovasi dalam studi permasalahan.

Selain itu, pemerintah juga menjalankan Kartu Prakerja dengan harapan masyarakat bisa menciptakan wirausaha sehingga terciptalah lapangan kerja. Ada pula dukungan pembiayaan UMKM dari pemerintah berupa Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diharapkan dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan usahanya.

Lebih lanjut, pemerintah juga berupaya membuka akses pendidikan bagi seluruh masyarakat hingga jenjang perguruan tinggi. Sejumlah program beasiswa dan bantuan dana pendidikan telah diluncurkan, mulai dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), hingga Dana Abadi Pendidikan.

Diaspora Bisa Jadi Solusi

Pepatah umum mengatakan, “Berpikirlah di luar kotak”. Namun, menurut pengusaha asal Amerika Serikat Tim Ferris, “Tidaklah cukup untuk berpikir di luar kotak. Berpikir itu pasif. Biasakan untuk bertindak di luar kotak.”

Setiap permasalahan atau tantangan sebaiknya memang ditinjau dan diperbaiki dari sisi dalam dan luar agar efektif dan efisien. Termasuk juga permasalahan rendahnya tingkat pendidikan dan lapangan pekerjaan di Indonesia.

Jika layanan pendidikan dan lapangan pekerjaan di dalam negeri terbatas, mengapa tidak mengambil yang ada di luar negeri? Bukankah banyak beasiswa yang ditawarkan oleh sekolah dan kampus luar negeri serta pekerjaan oleh perusahaan di sana?

Berkaca pada orang-orang Tiongkok, mereka terbiasa mencari penghasilan di luar negara ibu mereka sehingga mampu bersaing secara global. Demikian pula orang-orang India. Banyak diaspora mereka yang berhasil menjadi direktur perusahaan multinasional atau organisasi internasional dan ini turut memberikan dampak baik bagi negara asal mereka.

Berdasarkan laporan bertajuk International Migration 2020 Highlights yang dipublikasikan oleh Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diaspora terbanyak di dunia berasal dari India. Sebanyak 17.869.492 orang India tinggal di luar negeri. Angka tersebut lebih banyak dari jumlah penduduk Jakarta, Bogor, dan Depok jika digabungkan.

Negara dengan jumlah diaspora terbesar lainnya adalah Rusia dengan 10.756.697 jiwa dan Tiongkok dengan 10.461.170 jiwa. Di Tingkat Asia Tenggara, meski jumlah penduduk Indonesia jauh lebih besar dari negara lain mana pun, jumlah diaspora Indonesia yang sebanyak 4.601.369 jiwa masih lebih kecil daripada diaspora Filipina yang mencapai 6.094.307 jiwa.

Chairman Board of Trustee Indonesian Diaspora Network Global (IDN Global) Dino Patti Djalal mengatakan bahwa Tiongkok, India, dan Filipina adalah bangsa yang memang suka merantau. “Kita juga ada budaya merantau, sih, tapi tidak setinggi yang lain itu,” kata Dino saat berbincang dengan National Geographic Indonesia akhir pekan ini.

Lebih lanjut, beberapa negara seperti India dan Tiongkok memiliki diaspora yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Adapun kebanyakan negara lain, seperti Meksiko, penyebaran diasporanya cenderung terkonsentrasi di satu atau beberapa negara tujuan.

Indonesia juga demikian. “Ada sekitar 12 sampai 15 negara” yang jadi titik konsentrasi diaspora Indonesia, ujar Dino yang menyebut Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Belanda sebagai beberapa contohnya.

Di Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Timur Tengah, kebanyakan diaspora Indonesia memiliki keterampilan rendah sehingga hanya menjadi pekerja perkebunan atau pembantu rumah tangga.

Namun, di Oman banyak juga diaspora Indonesia yang berketerampilan tinggi, terutama yang bekerja di sektor perminyakan. Di Jepang dan Korea juga mulai banyak pekerja Indonesia di sektor keperawatan.

Selain keterampilan, Dino mencatat, kekurangan orang Indonesia adalah penguasaan bahasa asing atau bahasa negara tujuan. Jadi, Dino menegaskan, pendidikan itu paling penting. “Terutama pendidikan vokasi, itu yang paling perlu. Sekarang kan pemerintah sudah mulai menggalakkan pendidikan vokasi.”

Terjun dalam Politik dan Kewirausahaan Global

Lebih lanjut, menurut Dino, minat diaspora Indonesia untuk terjun ke politik negara tempat tinggalnya juga masih rendah. Berbeda jauh dengan diaspora India.

Saat ini, sebagai contoh, Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, dan Perdana Menteri Portugal Antonio Luis Santos da Costa adalah orang keturunan India. Presiden Guyana Mohamed Irfaan Ali, Presiden Suriname Chan Santokhi, Presiden Mauritius Pritvirajsing Roopun, dan Perdana Menteri Mauritius Pravind Jugnauth juga adalah keturunan India.

Sebelum membahas jiwa kepemimpinan di bidang politik, Dino sempat menegaskan bahwa jiwa kewirausahaan orang Indonesia di luar negeri juga masih rendah. Dia mencontohkan restoran di luar negeri.

“Indonesia itu makanannya paling enak se-Asia Tenggara, tapi cari restorannya susahnya minta ampun di Amerika. Sementara restoran Singapura dan Malaysia ada di mana-mana, apalagi restoran Thailand,” papar Dino yang pernah jadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat.

“Masalahnya memang orang Indonesia kalau ke luar negeri mentalitasnya masih untuk bekerja di perusahaan, jadi profesional, bekerja untuk orang lain. Yang punya perusahaan atau membuat perusahaan sendiri masih jarang sekali.”

“Contoh terbaik ya restoran itu tadi. Dulu waktu saya di Amerika, saya pernah kasih insentif buat orang yang mau buka restoran di Washington, D.C., dan insentif itu adalah kalau mereka buka restoran maka saya menjamin bahwa pasar dari KBRI pasti ada. Jadi kalau kita makan, pasti di sana. Terus kalau kita ada resepsi, kita pesan dari restoran itu. Tapi, ya, gitu, nggak ada yang ambil.”

“Teman-teman pengusaha Jakarta juga sudah saya tawari,” ungkap Dino. Sayangnya, “sampai sekarang masih belum ada restoran Indonesia yang beken [di sana].”

Meski jiwa kewirausahaan orang Indonesia di Amerika masih minim, jiwa wirausaha dalam diri generasi muda di Indonesia sendiri tampaknya semakin meningkat. Survei Kolaborasi yang dilakukan pada 10 Januari hingga 9 Februari 2023 mengungkapkan bahwa anak muda di Indonesia lebih memilih menjadi pengusaha dibandingkan profesi lainnya, seperti pegawai negeri sipil (PNS) maupun pegawai swasta.

"Sebanyak 58,3 persen responden memilih menjadi pengusaha atau pebisnis sebagai profesi untuk memperoleh penghasilan dan penghidupan," tulis laporan hasil survei tersebut yang dilakukan pada 400 responden usia produktif 20-39 tahun di tujuh kota besar, yakni Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Makassar, dan Yogyakarta.

Dengan tingkat pendidikan dan jiwa kewirausahaan yang semakin tinggi, generasi muda Indonesia niscaya akan siap untuk bersaing secara global. Apalagi, menurut Dino, orang Indonesia dikenal punya beberapa karakter unggul yang dipuji oleh orang-orang dari negara lain.

“Orang Indonesia keunggulannya mereka rajin, pekerja keras, tidak banyak komplain, umumnya bisa berasimilasi dan beradaptasi dengan baik,” beber Dino yang juga pernah menjadi Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia dan berbicara dengan banyak orang dari berbagai negara.

Jadi, “diaspora Indonesia” maupun penduduk muda Indonesia secara umum adalah aset bangsa yang “luar biasa.” Aset ini bakal meningkat seiring dengan kenaikan bonus demografi kita.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2022 sebanyak 68,82 juta jiwa penduduk Indonesia masuk kategori pemuda. Menurut Undang-Undang Nomor Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemuda adalah warga negara berumur 16-30 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.

Kalau Presiden Soekarno saja menyatakan mampu mengguncang dunia dengan hanya 10 pemuda. Bagaimana dengan bangsa Indonesia untuk saat ini dan beberapa tahun ke depan dengan sekitar 70 juta orang pemudanya?

Lagi-lagi, harus dicatat, potensi puluhan juta pemuda Indonesia untuk mengguncang kancah global ini perlu dibekali dengan pendidikan dan keterampilan yang mumpuni.