Sibandang, Jejak Sisingamangaraja dan Emilio Modigliani di Selatan Toba

By National Geographic Indonesia, Kamis, 2 Maret 2023 | 18:00 WIB
Tradisi solu atau bersampan merupakan sebuah tradisi yang pada masa lampau sangat sentral dalam peradaban Danau Toba. Jauh sebelum jalan-jalan dibuat, persebaran manusia dan desa-desanya berhutang pada aktivitas mendayung. (Sofian Alim)

Oleh Priyo Utomo Laksono. Seorang petualang, penggila buku sekaligus pemandu kayaking dan trekking profesional yang tinggal di Bandung.

    

    

   

Nationalgeographic.co.id—Pada 1890, saat kampanye penaklukkan Aceh dan Toba masih di kobarkan oleh Hindia Belanda, seorang Antropolog asal Firenze, Italia, datang mengunjungi Danau Toba.

Sebagai seorang Italia, Emilio Modigliani adalah seorang pengunjung dari negara netral yang datang murni untuk tujuan ilmu pengetahuan, yaitu mempelajari masyarakat Toba dan mengkoleksi artefak budaya untuk di arsipkan di Museum Firenze. Ceramah Elio Modigliani di Firenze setelah perjalanannya ke Toba kemudian di bukukan dan di terjemahhkan ke bahasa Indonesia oleh P. Luigi Magnasco dan di beri catatan kaki oleh Sitor Situmorang.

Tidak ada yang luar biasa dari ceramah Modigliani kecuali bahwa itu merupakan laporan pandangan mata seorang pengamat yang netral, di saat peradaban Toba berada pada titik balik dimana tatanan dunia lama Toba terguncang oleh invasi luar.

Sebagai penggemar dan pembaca sejarah, adalah naskah ceramah ini telah memanggil saya untuk mengunjungi dan menjelajah Pulau Sibandang.

Tepatnya terdapat dua perkara pada ceramah tersebut: Perkara pertama, Modigliani dalam perjalanannya sempat berhenti singkat di sebuah pulau yang di perkenalkan kepadanya sebagai Pulau Pardopur, bahkan di terima dan di kawal oleh penguasa pulau tersebut, Ompu Raja Hutsa. Nama Pardopur sendiri adalah nama kakek dari Ompu Raja Hutsa, maka setelah zaman kolonial nama yang lebih objektif yang digunakan : Pulau Sibandang.

Danau Toba layak ditahbiskan sebagai Destinasi Super Prioritas. Inilah danau menakjubkan yang ditetapkan UNESCO sebagai Global Geopark, terbentuk akibat letusan supervolcano dengan catatan index ledakan gunung berapi terbesar di dunia. Kini danau itu membentuk peradaban masyarakat yang amat unik ser (Sofian Alim)

Perkara kedua, adalah dari naskah ceramah tersebut saya menyadari bahwa Samosir tidak sejak lama di pandang sebagai sebuah pulau. Sebelum Belanda menggali terusan di kaki gunung Pusuk Buhit, Samosir di pandang sebagai sebuah semenanjung raksasa, bukan pulau. Artinya, pada masa lampau, satu-satunya yang dianggap Pulau di Toba dengan banyak huta (benteng desa), memiliki persekutuan marga, berpenduduk signifikan, dan memiliki komoditas perkebunan dan peternakan, hanyalah satu pulau : Pulau Sibandang.

Saya, istri saya, dan sahabat fotografer saya menjelajah Pulau Sibandang dengan dua cara, mendayung kayak dan trekking. Menyebrang dengan ferry ke pulau seluas 704, 85 hektar dengan penduduk sekitar 2.000 jiwa itu tidak memakan waktu sampai sepuluh menit dari kota Muara, Tapanuli Utara.

Sebuah kota kecil yang tentram di bawah pemandangan tebing-tebing terjal di sisi Barat, Muara berada di sebuah teluk dan bersebelahan dengan Bakkara yang berada di kabupaten Humbang Hasundutan. Muara beserta Bakkara, Sibandang sampai Huta Ginjang tercatat sebagai Geosite atau situs yang signifikan secara Geologis dan bagian dari Geopark Caldera Toba.  

Dermaga di Muara menyediakan ferry sampai ke Samosir, namun untuk ferry ke Sibandang kami menggunakan dermaga yang lebih kecil. Meski penyebrangannya sangat singkat, pemandangan ke arah perbukitan dan tebing di sisi Barat Toba demikian menawan, melapangkan mata dan jiwa yang penat.

Diatas ferry kami juga menjumpai hal yang kemudian kami sadari sebagai unsur khas Sibandang: berkeranjang-keranjang mangga, berkulit kuning, berukuran mungil. Rupanya kami datang di saat panen raya mangga.

Hutan Sampuran yang teduh oleh pohon mangga, menjadi salah satu destinasi terbaik saat berkunjung ke Pulau Sibandang. Wisatawan akan disambut oleh pohon berusia ratusan tahun yang gagah menjulang. (Sofian Alim)

Mangga jenis tersebut memang tumbuh hampir di seluruh pesisir Danau Toba. Namun di Sibandang, karena terpisah dari daratan dan memiliki tanah yang ideal untuk buah-buahan, perkebunan mangga sangat terkonsentrasi. Hampir setiap kepala keluarga memiliki pohon mangga.

Dalam menjelajahi pulau yang berlimpah mangga ini kami di pandu oleh Anjas Rajagukguk. Marga Anjas, Rajagukguk adalah, salah satu dari rumpun Marga Aritonang yang mana terdiri dari tiga marga: Rajagukguk, Simaremare, Opu Sunggu.

Meski area adat dari tiga marga Aritonang ini mencapai sebagian Muara dan berbagai daerah di sekitarnya, khusus di pulau Sibandang hanya marga-marga Aritonang dan Siregar yang memiliki hak kepemilikan tanah adat. Kuasa tanah adat mereka terpencar dalam tiga desa: Desa Sibandang, Desa Sampuran, dan Desa Papande.

Anjas, seperti mayoritas penduduk Sibandang, mengelola dan mengolah tanah leluhurnya sebagai kebun. Juga seperti banyak penduduk Sibandang, Anjas tidak hanya menanam mangga, tapi juga kokoa, alpukat, jagung, bawang dan banyak lagi sayur dan buah.

Hanya sawah yang tidak ada di Sibandang, karena topografinya tidak memungkinkan. Selama berabad-abad penduduk Sibandang menukar buah-buahan dan sayur mereka dengan beras dari orang-orang di luar pulau.

Mangga memang tumbuh hampir di seluruh pesisir Danau Toba. Namun di Sibandang, hampir setiap kepala keluarga memiliki pohon mangga. (Sofian Alim)

Memancing ikan pernah mencadi mata pencaharian yang menyaingi perkebunan bagi Penduduk Sibandang. Namun, kondisi ekologi perairan Toba dalam dekade-dekade belakangan membuat ekosistem alami ikan hampir di seluruh Danau semakin sulit, dan pengembang biakkan ikan hanya lancar di dalam kerambah.

Maka, jikapun penduduk Sibandang mencari ikan, hasil yang mereka dapat tidak seberapa. Realitas ini kami dapati saat kami mendayung kayak mengelilingi pesisir Sibandang dengan kayak.

Anjas, sebagai putra Sibandang samasekali tidak kesulitan menyesuakan kemampuannya mendayung solu menjadi kemampuan mendayung kayak. Tradisi solu atau bersampan sendiri merupakan sebuah tradisi yang pada masa lampau sangat sentral dalam peradaban Danau Toba. Jauh sebelum jalan-jalan dibuat, persebaran manusia dan desa-desanya berhutang pada aktivitas mendayung.

Maka dari itu saya menekankan pentingnya menjelajah Toba secara umum dan Sibandang secara khusus dengan cara mendayung.

    

Mendayung mengelilingi Sibandang.

Menjelajah dengan perahu yang di dayung seperti kayak atau kano memungkinkan kita lebih intim mengalami dan mengamati pesisir. Tanpa suara motor mesin, burung-burung atau bebek tidak ragu melintas atau bahkan mengamati kami.

Dari pesisir Sibandang, Pulau Samosir tepat berada di sebelah Utara kita. Pemandangan pesisir Barat Danau Toba yang di ujungnya tampak Pusuk Buhit, bukit sakral yang menurut mitologi Batak sebagai tempat turunnya manusia pertama dari langit.

Di pesisir Barat itu juga, sembari mendayung, kami lalu berhadapan dengan Teluk Si Dalu-Dalu, yang di dalamnya terdapat desa Bakkara, tempat asal Dinasti Sisingamangaraja. Pada 1890, desan ini pernah dikunjungi Modigliani setelah dari Sibandang.

Saat Modigliani sampai di Bakkara, luka dan mara perang masih terasa. Singamangaraja dan para pendukungnya belum lama terusir dan telah meneruskan peperangan griliya di hutan Lintong nun jauh di Barat Laut dari Bakkara. Hutan itu kini sudah tinggal kenangan karena menjadi hutan industri pulp.

PETA: WARSONO; SUMBER: BADAN INFORMASI GEOSPASIAL; DATA PETA KONTRIBUTOR © OPENSTREETMAP. TERSEDIA DALAM LISENSI BASIS DATA TERBUKA: OPENSTREETMAP.ORG/COPYRIGHT; SRTM ()

Melihat ke arah daratan kami melihat mobil-mobil angkutan barang yang berlalu lalang membawa begitu banyak keranjang mangga. Mereka menjemput mangga untuk kemudian di jual di pasar besar.

Kami menyapa setiap pedayung yang sedang mencari ikan atau mencari lobster air tawar, yang seperti mangga Sibandang, juga berukuran mungil tetapi lezat. Sesekali kami berhenti, dan berbincang dengan para nelayan pedayung solu, atau pemancing di pesisir.

Saya terkejut. Hampir semua yang saya ajak berbincang di pesisir adalah orang-orang asli Sibandang yang telah kembali dari merantau. Ada yang puluhan tahun di Jawa, bagian lain Sumatra, dan Kalimantan.

Menjelajah dengan kayak memungkinkan kita lebih intim mengalami dan mengamati pesisir. Tanpa suara motor mesin, burung-burung atau bebek tidak ragu melintas atau bahkan mengamati kami. (Sofian Alim)

Di saat itu, sembari mendayung saya juga baru menyadari bahwa kawan kami, Lae Anjas Rajagukguk, juga tidak selamanya hidup di Sibandang. Kisahnya merepresentasikan banyak putra-putri Sibandang yang memilih dengan sadar untuk kembali dari rantau dan hidup tentram merawat tanah leluhur.

Di negeri rantau mereka secara ekonomis lebih makmur. Namun nilai-nilai adat dan kekeluargaan yang di sediakan di daerah asal dianggap lebih menjanjikan kebahagiaan. Ini membuat banyak dari mereka memiliki wawasan dan pengalaman hidup yang luas.

Anjas Rajagukguk adalah lulusan Akademi Maritim Belawan. Ia telah bekerja hampir sepuluh tahun di dunia pelayaran, bekerja menghubungkan pulau-pulau di sekujur Nusantara. Dengan penghasilan dan pengalaman di dunia pelayaran, ia tidak menganggap kehidupan di desanya tertinggal. Ia justru melihatnya sebagai hidup tentram yang ideal.

Anjas kemudian menikah dengan perempuan Batak boru Siregar dari Muara. Atas alasan itu ia memutuskan kembali ke desa setelah lama merantau.

Rosmayo Julianti boru Siregar, istri Anjas, adalah lulusan Sekolah Tinggi Teologia di Jakarta. Kini, ia membantu suaminya berkebun dan membesarkan dua orang anak.

Jauh dari stigma bahwa pekerja kebun memiliki wawasan yang sangat lokal. Berbincang dengan Anjas, istrinya, dan kebanyakan orang di Sibandang, rasanya kita berbicara dengan orang-orang dengan pengalaman idup dan selera humor yang sangat maju dan menyenangkan.

Saat kami mendarat dari mendayung kayak dan hendak trekking di dalam pulau, Anjas memperkenalkan kami dengan Kepala Desa Sibandang, Hurrican Rajagukguk. Sang Kades ternyata lama menuntut ilmu di Bandung, tempat asal saya, istri saya, dan rekan fotografer saya.

Tradisi menenun Ulos merupakan buah tangan turun temurun yang kian dilestarikan. Sebuah simbol kasih sayang, kehangatan, dan kekuatan suku Batak yang bisa dijumpai di desa Papande, Sibandang. (Sofian Alim)

Dorongan merantau adalah kepatutan dalam adat dan keluarga mereka. Namun demikian, mereka tidak kehilangan perspektif tentang keutamaan dan ketentraman daerah asal. Inilah hal yang saya kagumi dari orang-orang di Sibandang.

Trekking

Berjalan menjelajah Pulau Sibandang merupakan pengalaman yang menenangkan. 

Rumah tradisional marga Rajagukguk masih di pelihara dari segi bentuk arsitektur, ukiran girganya, maupun catnya. Sangat menarik untuk wisatawan. Bahkan di dermaga, masih ada tujuh kursi di bawah pohon Hariara yang pada masa lampau dipakai untuk sidang adat masih dijaga. Barangkali materialnya baru  namun ia hadir sebagai pengingat masa yang masih kental dengan adat.

Dari beberapa warga, pada saat-saat khusus pernah juga di upayakan atraksi wisata tarian tor-tor, atau beberapa upacara adat. Namun, diluar event wisata yang di gelar pemerintah atraksi wisata semacam itu tidak spontan diupayakan warga.

Saya berjalan kaki melintasi ladang jagung, perkebunan kokoa, lalu naik ke berkebunan, atau lebih tepatnya disebut hutan mangga. Saya sudah mendapatkan ketenteraman yang mustahil di dapatkan di kota besar.

Artinya, terlepas dari situs wisata, perjalanan mengalami dan menyerap kehidupan perkebunan di pedesaan di samping danau indah nan agung sudah memuaskan bagi orang seperti saya.

Bertemu dan berbincang, bertukar sapa dan canda pada orang yang tumbuh dengan adat berbeda, apalagi kehangatan orang Batak Toba dengan selera humor yang luar biasa, ini adalah wisata kehidupan yang memperkaya hidup. Dan saya semakin sering pula menemukan orang dengan selera wisata petualangan seperti saya pada generasi yang baru. Dan kami justru kurang berminat pada tempat yang terlalu di dandani sebagai lokasi wisata.

Perjalanan kaki kami melintasi keluar dari Desa Sibandang dan masuk ke wilayah Desa Sampuran. Desa ini memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit sehingga perkebunannya lebih terasa seperti hutan.

Di tengah hutan mangga saya terkesima dengan bentuk dan warna pepohonan mangga, yang masing-masing berwarna putih dan bercabang melebar.

Sesekali saya menyapa para pemanen mangga yang sedang memanjat pohon dengan tongkat jaring. Mereka meraih mangga-mangga yang bergelantungan di dahan terjauh.

Matahari yang menuju sore membuat warna hutan mangga Sampuran semakin kaya. Di antara hutan mangga yang teduh kami menemukan beringin tua yang di sekitarnya tersebar petak-petak tanah bekas lokasi permukiman tua.

Rumah tradisi warga masih terpelihara arsitekturnya, warisan leluhur Toba yang menjadi tengara jejak peradaban danau nan agung ini. (Sofian Alim)

Lalu, ada satu rumah Batak masih berdiri, dengan cat berwarna merah bata yang sederhana. Di sampingnya ada bekas sebuah tangga batu daru rumah yang sudah tak ada lagi.

Kami beristirahat disana bersama para pemanen mangga yang juga sedang beristirahat. Mereka memberikan kami mangga. Saat saya menawari untuk membayar, mereka menolak dan mengatakan bahwa tidak patut berjualan mangga di lokasi itu, tempat leluhur mereka dan tempat mereka masih memanen.

Mereka juga menjelaskan bahwa di tempat itulah pertama-tama mangga di Sibandang di tanam, entah di zaman Belanda, entah sebelumnya. Sejak kapan budidaya mangga di Toba secara umum dan di Sibandang secara khusus? Lagi-lagi saya mendapat pelajaran tentang integritas di atas kuasa ekonomi di sini.

      

Ulos

Karena waktu dan tenaga yang terbatas, Desa ketiga Pulau Sibandang, yaitu Desa Papande terpaksa harus kami kunjungi dengan meminjam motor Anjas dan tetangganya.

Di Papande kami mengunjungi para pengrajin Ulos, baik yang mengerjakannya di masing-masing rumah maupun di sentra tenun yang mereka siapkan bersama. Motif dan warna yang di kembangkan di Sibandang sedikit berbeda dengan yang dikerjakan di Samosir. Jenis yang di kenal di produksi di Sibandang adalah jenis Ulos Harungguan.

Konon, tanda budaya paling mencolok dari kelompok suku bangsa di Nusantara adalah kain khasnya. Kain tenun Ulos bagi masyarakat Batak, yang kehidupannya terbentuk oleh perairan danau maupun suhu pegunungan merupakan hal yang penting secara praktis dan kemudian secara simbolis.

Ulos pada dasasrnya berarti selimut, dan dengan kondisi alam Toba, selimut katun tentu sangat berguna.

Lalu ia menghambil peran simbolis dimana ada motif-motif dan jenis Ulos yang spesifik untuk di kenakan ataupun di berikan pada kesempatan dan tujuan yang berbeda-beda. Misalkan Ulos Ragi Hotang untuk sepasang pengantin, Ulos Sibolang untuk acara kedukaan, Ulos Jugia hanya di pakai oleh orang yang semua anaknya telah menikah, dan sebagainya.

Baca Juga: Ragam Cerita Legenda dari Danau di Indonesia yang Turun-Temurun

 Baca Juga: Mengapa Kita Waspada Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ekosistem Danau?

 Baca Juga: Menilik Lebih dalam Tradisi Mardoton, Budaya Tangkap Ikan Warisan Leluhur di Danau Toba

 Baca Juga: Saat Gunung Toba Meletus, Bagaimana Kondisi Bumi dan Manusia Purba?

Karena itu mempertahankan eksistensi Ulos, hampir pasti berkaitan dengan mempertahankan esensi budaya Batak Toba maupun suku-suku Batak yang lain.

Ya, karena Pulau Sibandang berada di wilayah kebudayaan Batak Toba, tentu perjalanan saya kali ini tidak membahas perjumpaan dengan unsur-unsur budaya dari Batak lainnya—Batak Karo, Dairi Pak-Pak, Simalungun, Angkola, Mandailing. Budaya mereka merupakan rumpun budaya yang bersatu di bawah prinsip Dalihan Na Tolu dan memiliki Ulos dan arsitektur unik masing-masing.

Akan tetapi, apa yang saya amati di Sibandang cukup memantik minat dan perhatian saya tentang kehidupan manusia Batak di seputar danau Toba.

Anjas Rajagukguk dan istrinya mempersilakan kami menginap di rumahnya yang berada tepat di muka pulau Sibandang yang terbilang sunyi. Berjarak hanya sekitar 10 meter dari air danau, di pesisirnya kayak-kayak kami parkir.

Rumah itu memandang kearah Timur. Cahaya lampu dari beberapa desa di Samosir maupun di arah Balige tampak berkelip. Dari Balige-lah, 132 tahun yang lalu Emilio Modigliani datang dalam Solu besar yang di dayung.

Barangkali, ia mendarat di pesisir yang sama tempat kami bermalam. Banyak yang berubah dalam rentang waktu itu hingga hari ini. Unsur budaya lokal dan nilai-nilai yang luhur dan unik banyak yang terbilas derap zaman. Namun, banyak juga yang dipertahankan, seperti nilai-nilai adat yang dianggap penting oleh warga Pulau Sibandang.