Menurut pelatih kera, makhluk itu sebenarnya adalah manusia, seorang pangeran yang mendapat kutukan dari istrinya untuk mengubah penampilannya.
Sang istri menduga sang pangeran jatuh cinta pada salah satu budak laki-lakinya dan diliputi rasa cemburu. Ia pun merapalkan mantra tersebut.
Untuk mengembalikan wujud aslinya sebagai manusia, sang pangeran diharuskan membayar 100.000 keping emas. Namun ia masih kekurangan 10.000 keping emas untuk memenuhinya.
Sang pelatih kemudian menoleh ke arah para penontonnya dan meminta bantuan mereka. Dalam waktu singkat, sang pelatih berhasil mengumpulkan sejumlah uang.
Saat ini, istilah "Banū Sāsān" diartikan sebagai "pengemis" dalam bahasa Persia. Akan tetapi, menurut Al-Jawbarī, siapa pun yang mempraktikkan "tipu daya dan tipu muslihat" akan dianggap sebagai anggota kelompok pencuri.
Bagi sebagian besar orang, kehidupan penuh tipu daya dan kekerasan adalah pilihan yang disadari. Para anggota kelompok ini tidak terikat oleh agama atau darah, melainkan oleh penolakan kolektif mereka terhadap norma-norma dan nilai-nilai masyarakat.
"Asal-usul suku Banū Sāsān sulit untuk ditentukan, karena suku ini tampaknya merupakan konglomerasi dari berbagai kelompok etnis dan kelompok bahasa yang berbeda," kata Kristina L. Richardson, seorang sejarawan Timur Tengah abad pertengahan di University of Virginia dan penulis “Roma in the Medieval Islamic World”.
"Mungkin aspek yang paling penting dari Banū Sāsān adalah penolakan mereka terhadap nilai-nilai masyarakat yang sudah mapan," jelas Richardson.
Sub-sub suku pencuri dibentuk berdasarkan metode pencurian yang mereka gunakan; trik-trik Banū Sāsān sering kali diwariskan secara turun-temurun.
Sementara pencuri "terowongan" (ashab an-nugib wa-l-Qatari) masuk ke dalam rumah-rumah dengan menjebol tembok, pencuri "hantam dan rebut" (al-lusis al-hajjamin) hanya menyerbu rumah-rumah yang lebih mudah dijangkau. Pun mereka hanya mencuri apa yang diinginkan dan ditemukan.
Baca Juga: Comtesse de Monteil: 'Ratu Pencuri' yang Cantik, Modis dan Glamor