Melestarikan Satwa Liar Dapat Membantu Mengurangi Perubahan Iklim

By Wawan Setiawan, Jumat, 7 April 2023 | 11:00 WIB
Studi baru menunjukkan bahwa melestarikan satwa liar dapat membantu mengurangi perubahan iklim. (Pixabay/CC0 Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Selama beberapa dekade, para ilmuwan dan pembuat kebijakan berfokus pada perubahan perilaku manusia untuk mengatasi perubahan iklim.

Peraturan telah mengamanatkan pengurangan emisi karbon. Pengembangan energi terbarukan tampaknya juga telah mulai untuk perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih berkelanjutan.

Sementara upaya mengatasi pemanasan global membutuhkan manusia untuk mengubah perilaku, semakin banyak penelitian yang mendukung kebutuhan akan solusi yang berakar pada alam. Memastikan keanekaragaman hayati, merevitalisasi hutan, dan mendukung lingkungan alami lainnya.

Sebuah studi baru yang dipimpin oleh Oswald Schmitz dari Yale School of the Environment Oastler Professor of Population and Community Ecology, menawarkan sebuah solusi bijak. Keanekaragaman hayati memperkuat ekosistem, meningkatkan ketahanannya terhadap peristiwa iklim ekstrem, dan meningkatkan kapasitasnya untuk membendung perubahan iklim.

Melindungi satwa liar di seluruh dunia dapat secara signifikan meningkatkan penangkapan dan penyimpanan karbon alami dengan meningkatkan penyerapan karbon ekosistem.

Hasil studi tersebut telah dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change pada 27 Maret 2023 dengan tajuk “Trophic rewilding can expand natural climate solutions.”

Studi ini ditulis bersama oleh 15 ilmuwan dari delapan negara, meneliti sembilan spesies satwa liar—ikan laut, paus, hiu, serigala abu-abu, rusa kutub, berang-berang laut, lembu kesturi, gajah hutan Afrika, dan bison Amerika.

Perusakan alam mengancam memperburuk perubahan iklim. (shutterstock/mykhailo pavlenko)

Data menunjukkan bahwa melindungi atau memulihkan populasi mereka secara kolektif dapat memfasilitasi tangkapan tambahan 6,41 miliar ton karbon dioksida setiap tahunnya.

Besaran ini setara 95 persen dari jumlah yang dibutuhkan setiap tahun dalam upaya memenuhi target Perjanjian Paris demi menghilangkan karbon di atmosfer kita. Sebuah perjanjian yang bertujuan untuk menjaga pemanasan global di bawah ambang batas 1,5 derajat Celcius.

Selama bertahun-tahun, para peneliti dalam studi lain yang sejenis mengevaluasi 46 ekosistem padang rumput di Eropa dan Amerika Utara.

Mereka mengumpulkan data tentang produksi bahan organik yang disebut biomassa. Karena spesies dalam ekosistem tertentu bergantung pada biomassa untuk energi, produksi biomassa berfungsi sebagai metrik untuk kesehatan suatu komunitas.

Di daerah padang rumput dengan hanya satu atau dua spesies, produksi biomassa ekosistem menurun rata-rata sekitar 50 persen selama peristiwa iklim ekstrem. Dalam komunitas yang di dalamnya terdapat 16 sampai 32 spesies, produksi biomassa hanya menurun 25 persen.

Penulis studi Forest Isbell, seorang peneliti di University of Minnesota, menjelaskan pentingnya keanekaragaman hayati ekosistem dengan menggunakan hipotesis asuransi.

Hipotesis asuransi, yang dimaksud adalah, dengan memiliki lebih banyak spesies memberikan jaminan untuk menjalankan fungsi kunci ekosistem jika ada yang hilang atau tidak dapat lagi menjalankan fungsinya.

“Karena spesies yang berbeda memiliki respons yang berbeda terhadap fluktuasi lingkungan, kumpulan banyak spesies menjadi lembap,” katanya.

"Spesies satwa liar, sepanjang interaksinya dengan lingkungan, adalah mata rantai yang hilang antara keanekaragaman hayati dan iklim," kata Schmitz. "Interaksi ini berarti pembangunan kembali dapat menjadi salah satu solusi iklim berbasis alam terbaik yang tersedia bagi umat manusia."

Saat ini hutan menyerap 11% emisi gas rumah kaca. (Getty Images)

Penelitian Schmitz telah menunjukkan bahwa hewan liar memainkan peran penting dalam mengendalikan siklus karbon di ekosistem darat, air tawar, dan laut. Kendali siklus karbon ini melalui berbagai proses termasuk mencari makan, pengendapan nutrisi, gangguan, pengendapan karbon organik, dan penyebaran benih.

Dinamika penyerapan dan penyimpanan karbon secara mendasar berubah dengan ada atau tidak adanya hewan.

Membahayakan populasi hewan hingga ke titik di mana mereka punah dapat mengubah ekosistem yang mereka huni. Perubahan ekosistem yang tadinya berfungsi sebagai penyerap karbon menjadi sumber karbon, demikian menurut penelitian tersebut.

Populasi satwa liar dunia telah menurun hampir 70 persen dalam 50 tahun terakhir. Studi tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian krisis iklim dan krisis keanekaragaman hayati bukanlah masalah yang terpisah dan pemulihan populasi hewan harus dimasukkan dalam ruang lingkup solusi iklim berbasis alam, kata para penulis.

Membangun kembali populasi hewan untuk meningkatkan penangkapan dan penyimpanan karbon alami dikenal sebagai menghidupkan siklus karbon.

Spesies berpotensi tinggi lainnya di seluruh dunia termasuk kerbau Afrika, badak putih, puma, dingo, primata Dunia Lama dan Baru, rangkong, kelelawar buah, anjing laut pelabuhan dan abu-abu, serta penyu tempayan dan hijau, catat para penulis.

Baca Juga: Karena Pemanasan Global, Lapisan Es Menyusut Hingga 600 Meter per Hari

Baca Juga: Kurangnya Kesadaran Perubahan Iklim Perlu Dukungan para Filantrop

Baca Juga: Dunia Hewan: Perubahan Iklim Mengancam Lemur Tikus di Madagaskar

Baca Juga: Perubahan Iklim, Lapisan Es Masif Greenland Mencair Secara Permanen 

"Solusi iklim alami menjadi fundamental untuk mencapai tujuan Perjanjian Iklim Paris, sekaligus menciptakan peluang tambahan untuk meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati," kata studi tersebut.

"Memperluas solusi iklim untuk menyertakan hewan dapat membantu mempersingkat cakrawala waktu di mana 500GtCO2 ditarik keluar dari atmosfer, terutama jika peluang saat ini untuk melindungi dan memulihkan populasi spesies dengan cepat dan keutuhan fungsional bentang alam dan bentang laut dimanfaatkan,” tambah Schmitz.

“Mengabaikan hewan mengarah kehilangan peluang untuk meningkatkan cakupan, jangkauan spasial, dan jangkauan ekosistem yang dapat didaftarkan untuk membantu menahan pemanasan iklim hingga 1,5 derajat Celcius," tuturnya.

Sementara perusakan alam kian memperburuk perubahan iklim, hubungan antara alam dan perubahan iklim juga menghadirkan peluang. Selain memberlakukan peraturan untuk mengubah perilaku manusia, pembuat kebijakan dapat berupaya memulihkan alam sebagai metode untuk mengatasi pemanasan global.