Nationalgeographic.co.id—Khalid ibn al-Walid merupakan seorang panglima muslim Arab yang telah mengabdi kepada Muhammad sang Nabi, khalifah Abu Bakar, serta Umar. Ia dianggap sebagai salah satu pemimpin militer muslim paling berpengaruh sepanjang masa.
Ia memainkan peran kunci dalam perang Ridda, melawan suku-suku pemberontak di Arab pada tahun 623-633. Ia juga turut serta dalam penaklukan di Irak Sasania (634-644 M) dan Suriah Bizantium (634-638 M).
“Secara luas Khalid dianggap sebagai pemimpin militer yang bertanggung jawab atas ekspansi Islam pada abad ketujuh. Kisahnya sangat menarik.” tulis Andrew Latham, seorang profesor ilmu politik di Macalester College di Saint Paul, Minnesota, pada laman medievalists.
Pada tahun 624 M, 30.000 tentara Quraisy Mekah yang kuat berbaris menuju benteng pertahanan muslim di Madinah. Mereka bertemu dengan pasukan muslim di sebuah lembah dekat Gunung Uhud.
Latham menjelaskan, jumlah pasukan muslim hanyalah sepersepuluh dari rombongan Quraisy Mekah. “Meskipun kalah jumlah, para pemanah muslim berhasil menguasai dataran tinggi dan memukul mundur tentara Mekah.”
Melihat musuh mundur, para pemanah meninggalkan pos mereka untuk menjarah perkemahan Mekah. Hal ini membuat sisi kanan pasukan muslim menjadi lemah.
Memanfaatkan celah tersebut, Khalid dengan 700 tentaranya merangsek pasukan muslim dan meraih kemenangan. “Hal ini memberikan penderitaan serius bagi tentara muslim selama perang Muslim-Kuwait,” terang Latham.
Beberapa tahun kemudian, Muhammad dan para pengikutnya bernegosiasi dengan utusan Mekah.
Pertemuan tersebut berbuah kesepakatan damai antara suku Quraisy dan muslim. Perjanjian damai tersebut dikenal dengan “Hudaybiyyah”.
Menurut Latham, Khalid Ibn Al-Walid merupakan di antara sedikit orang Mekah berpengaruh yang masuk Islam pascaperjanjian. “Setelah pertobatannya, Khalid mengabdikan keahlian militernya untuk mendukung negara Islam yang baru lahir.”
Ekspedisi militer pertama Khalid di bawah panji-panji muslim dilakukan di Mu'ta (Yordania modern). Alih-alih menyerang suku-suku yang berafiliasi dengan Bizantium, mereka justru bertemu dengan tentara Bizantium.
Kalah jumlah dan strategi dari pasukan Romawi yang terlatih, tentara muslim berada di ambang kekalahan. “Formasi mulai amburadul, para pasukan pejalan kaki pontang-panting melarikan diri. Satu demi satu komandan muslim terbunuh,” jelas Latham.
“Pada saat itu, Khalid mengambil alih komando. Memahami keputusasaan situasi, ia mengambil tindakan nekat.”
Pertama, ia melancarkan serangan kilat ke arah-arah sisi pasukan Romawi. Upaya ini berhasil mengacaukan serangan dan menyurutkan momentum musuh.
Kemudian ia memerintahkan para pemanahnya, yang diposisikan di dataran tinggi, untuk menghentikan Bizantium maju. Strategi ini efektif, karena pasukan Romawi mundur dan berkemah tepat di luar jangkauan para pemanah muslim untuk bermalam.
Khalid memecah pasukannya menjadi beberapa kelompok kecil dan menempatkan mereka di titik-titik yang berbeda. Mereka diperintahkan untuk tiba di perkemahan muslim pada waktu yang berbeda di siang hari.
Strategi tersebut menciptakan ilusi kepada pasukan musuh, bahwa semakin banyak bala bantuan muslim yang datang. Hal ini menyebabkan tentara Bizantium panik dan mundur.
Latham menyatakan, bahwa banyak sejarawan Timur dan Barat memuji Khalid sebagai salah satu jendral pertama yang menggunakan perang psikologis secara efektif.
Sekembalinya ke Madinah, Muhammad menunjuk Khalid sebagai komandan tentara muslim berdasarkan kecakapan militernya dan memberinya gelar Sayf Allah (Pedang Allah).
“Hingga wafatnya Muhammad pada tahun 632 M, Khalid membantu kaum muslim merebut Mekah, Yalamlam, dan Tabuk.” terang Latham
Setelah tahun 632 M, Khalid mengambil alih kepemimpinan tentara muslim di bawah Abu Bakar. Ia merupakan seorang sahabat dekat Muhammad yang ditunjuk sebagai khalifah negara muslim setelah sang Nabi itu mangkat.
Selama periode ini, beberapa suku di sekitar Madinah dan Mekah menghentikan kesetiaan mereka kepada negara muslim. Beberapa orang dari dari suku-suku ini juga mengklaim bahwa dirinya adalah nabi baru Islam.
Abu Bakar menyadari bahwa klaim-klaim kenabian ini dapat menghancurkan negara Islam yang baru lahir. “Menanggapi situasi ini, ia mengutus Khalid Ibn Al-Walid untuk sebuah misi, yang kemudian dikenal sebagai perang Ridda,” imbuhnya.
Khalid memimpin pasukan muslim pertama kali ke Buzakha untuk mengalahkan Tulayha bin Khuwaylid. Tulayha merupakan seseorang yang memproklamirkan diri sebagai nabi.
Kemudian, Khalid melanjutkan untuk menekan oposisi dari klan kuat yang dikenal sebagai Bani Tamim, dan akhirnya menaklukkan Yamama pada tahun 633 Masehi.
Khalid terus bergerak ke utara menuju wilayah Neo-Persia di Mesopotamia (sekarang Irak). Pasukan muslim mendirikan sebuah benteng pertahanan di Mesopotamia, setelah berhasil memperoleh kemenangan beruntun di Mazar, Walaja, dan Ullais.
Dalam pertempuran terakhirnya di Mesopotamia, Khalid bersama pasukannya melawan 60.000 tentara gabungan Persia dan Romawi. Pertempuran meletus di daerah Sungai Eufrat dan dimenangkan oleh pasukan muslim.
Kecemerlangan militer Khalid tumbuh menjadi legenda di Mesopotamia. Namun ia tidak tinggal untuk waktu yang lama di daerah itu, Abu Bakar memerintahnya untuk segera merapat ke Suriah yang saat itu diduduki Bizantium.
Khalid membawa 9.000 orang bersamanya untuk membantu pasukan muslim yang telah ditempatkan di Suriah. Dalam perjalanannya ia berhasil mengalahkan pasukan Bizantium di Ajnadayn (dekat Israel modern) dan Fahl.
Baca Juga: Bagaimana Peradaban Muslim Mengeluarkan Eropa dari Zaman Kegelapan?
Baca Juga: Hala Sultan Tekke: Situs Suci Muslim dan Situs Bersejarah Siprus
Baca Juga: Upaya Umat Muslim Merawat Masjid Pertama Warisan Nabi Muhammad
Baca Juga: Misteri Jabir ibn Hayyan, Ilmuwan Muslim Bapak Ilmu Kimia Modern
Kemenangan terbesar Khalid melawan kekaisaran Bizantium terjadi di Yarmouk pada tahun 636 Masehi, di bawah khalifah kedua, Umar.
John Walter Jandora, dalam bukunya, Militarism in Arab Society, menilai bahwa Pertempuran Yarmouk merupakan salah satu pertempuran terpenting dalam Sejarah Dunia. “Pertempuran ini menyebabkan penaklukan-penaklukan muslim berikutnya antara Pyrenees dan Asia Tengah.”
Namun, pada tahun 638, Umar membebastugaskan Khalid dari posisinya sebagai panglima tertinggi pasukan muslim. Khalid dinilai telah gagal dalam mengkoordinasikan tindakannya dengan kepemimpinan di Madinah.
Latham menjelaskan, beberapa sumber menyebut bahwa Umar merasa tidak nyaman dengan reputasi Khalid yang melegenda di kalangan pasukan muslim. Ia mengkhawatirkan jika pasukan muslim akan mulai mencari bantuan kepadanya alih-alih kepada Allah selama pertempuran.
“Kekhawatiran Umar bukan tidak beralasan karena Khalid adalah satu-satunya orang yang diberi gelar ‘Pedang Tuhan’ oleh Nabi Muhammad sendiri,” pungkas Latham.