Nationalgeographic.co.id - Julius Robert Oppenheimer adalah seorang ahli fisika teoretis dan profesor fisika Amerika di University of California, Berkeley. Memegang jabatan direktur ilmiah Laboratorium Los Alamos dan Proyek Manhattan, ia mengembangkan senjata nuklir pertama di dunia. Meski dikenal sebagai bapak bom atom, Oppenheimer mengkritik penggunaan senjata nuklir dan menganjurkan pelucutannya.
Masa muda
Julius Robert Oppenheimer lahir pada tanggal 22 April 1904 di New York. Setelah bergabung dengan Harvard pada tahun 1922 dengan niat menjadi ahli kimia, dia segera beralih ke fisika. Selama berada di sana, dia juga mahir dalam bahasa Latin dan Yunani, menerbitkan puisi dan juga mempelajari filsafat timur.
Setelah lulus, Oppenheimer menghabiskan waktu di Cambridge University melakukan penelitian di Laboratorium Cavendish mereka. “Ini memberinya kesempatan untuk bekerja sama dengan komunitas ilmiah Inggris dan upayanya untuk memajukan penelitian atom,” tulis Amy Irvine di laman History Hit.
Setelah itu, Oppenheimer belajar di Göttingen University pada tahun 1926, memperoleh gelar PhD-nya pada usia 22 tahun. Sementara di sana, Oppenheimer menerbitkan banyak kontribusi penting untuk teori kuantum yang baru dikembangkan. Salah satu makalahnya yang terkenal tentang memisahkan gerak nuklir dari gerak elektronik dalam perlakuan matematis molekul.
Kecerdasannya sangat luar biasa, Oppenheimer dipuji sebagai bapak pendiri sekolah fisika teoretis Amerika.
Ia juga memberikan kontribusi penting dalam teori hujan sinar kosmik dan deskripsi penerowongan kuantum.
Proyek Manhattan
“Kebangkitan Hitler di Jerman telah membangkitkan minat Oppenheimer dalam bidang politik,” tambah Irvine. Pada tahun 1936 dia memihak republik selama Perang Saudara Spanyol dan berkenalan dengan mahasiswa Komunis. Akan tetapi kemudian Oppenheimer kemudian menarik asosiasinya dengan Partai Komunis karena penderitaan yang ditimbulkan oleh Stalin pada ilmuwan Rusia.
Nazi menginvansi Polandia pada tahun 1939. Setelah peristiwan itu, Albert Einstein dan ilmuwan terkemuka lainnya memberi peringatan pada pemerintah Amerika. Mereka mengingatkan tentang bahaya yang mengancam seluruh umat manusia jika Nazi menjadi yang pertama membuat bom nuklir.
Ilmuwan itu pun mendesak Presiden Roosevelt untuk mendanai penelitian pengembangan bom nuklir, sebuah senjata nuklir. Selanjutnya Roosevelt mendirikan Kantor Penelitian dan Pengembangan Ilmiah untuk mengawasi proyek tersebut. Dan Oppenheimer menjadi sangat terlibat dalam upaya mengembangkan bom atom.
Oppenheimer mulai mencari proses untuk memisahkan uranium-235 dari uranium alam dan menentukan massa kritis bahan yang diperlukan untuk membuat bom semacam itu. Baru menikah (1940) dan setahun kemudian menjadi ayah (1941), Oppenheimer ditunjuk sebagai direktur ilmiah Proyek Manhattan pada Juni 1942. Proyek itu bertujuan untuk mencari cara memanfaatkan energi nuklir untuk keperluan militer.
Tiga 'kota rahasia' dipilih untuk menjadi bagian dari Proyek Manhattan—Oak Ridge, Los Alamos, dan Hanford atau Richland.
Oppenheimer mengawasi pembangunan dan administrasi laboratorium di Los Alamos. Setelah selesai, ia membawa para ahli fisika terbaik untuk mengerjakan cara membuat bom atom. Pada akhirnya, Oppenheimer mengelola lebih dari 3.000 orang sambil menangani masalah teoretis dan mekanis yang muncul selama pembuatan bom.
Ledakan nuklir pertama terjadi di pangkalan udara Alamagordo pada 16 Juli 1945, diberi nama kode 'Trinity' oleh Oppenheimer. Ledakan itu setara dengan 20.000 ton TNT dan menciptakan bola api yang mencapai suhu beberapa juta derajat.
Hirosima dan Nagasaki, korban bom atom pertama di dunia
Kurang dari satu bulan setelah uji coba awalnya yang berhasil, pada 6 Agustus 1945, seorang pembom B-29 Amerika bernama Enola Gay menjatuhkan bom atom pertama di dunia di kota Hiroshima, Jepang. Ledakan menewaskan sekitar 80.000 orang. Puluhan ribu lebih nantinya akan mati karena paparan radiasi.
Hanya 3 hari kemudian pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom lainnya dijatuhkan di Nagasaki di Jepang. “Langsung menewaskan 40.000 orang lagi dan lebih banyak lagi dari waktu ke waktu,” Irvine menambahkan lagi. Serangan tersebut diyakini telah membuat Jepang menyerah dan mengakhiri Perang Dunia Kedua.
Oleh karena itu, karya Oppenheimer telah mencapai tujuan awalnya.
Oposisi pascaperang terhadap senjata nuklir
Setelah perang berakhir, pada tahun 1947 Oppenheimer diangkat sebagai Ketua Komite Penasihat Umum untuk Komisi Energi Atom (AEC). Ini adalah peran yang dia pegang hingga tahun 1952.
Oppenheimer menggunakan posisi ini untuk melobi kontrol internasional tenaga nuklir. Ia ingin mencegah proliferasi nuklir dan perlombaan senjata nuklir dengan Uni Soviet.
Pada bulan Oktober 1949, Oppenheimer dan AEC juga menentang pengembangan bom hidrogen selama debat pemerintah tentang masalah tersebut. Baik Oppenheimer maupun AEC mengambil sikap menentang masalah terkait pertahanan.
Pada tahun 1953, Amerika berada di tengah-tengah McCarthyisme dan perasaan antikomunis yang kuat. Selama 'Ketakutan Merah Kedua' ini, Oppenheimer diberi tahu tentang laporan keamanan militer yang tidak menguntungkannya. Ia dituduh memiliki simpati komunis dan menunda penunjukan agen Soviet.
Tuduhan ini dikombinasikan dengan penentangannya terhadap bom hidrogen mengakibatkan izin keamanan militernya dicabut. Ini pun mengakhiri tugasnya di AEC dan posisinya sebagai penasihat eselon tertinggi pemerintah AS.
Baca Juga: Menghitung Kembali Korban Kengerian Bom Nagasaki 9 Agustus 1945
Baca Juga: Merinding, Dampak Ledakan Nuklir Modern Jika Itu Terjadi Saat Ini
Baca Juga: Rupa Area Hasil Radiasi Uji Senjata Nuklir Amerika dan Rusia
Federasi Ilmuwan Amerika dan hampir seluruh komunitas ilmiah dikejutkan oleh keputusan AEC dan memprotes persidangannya. Kasus tersebut menimbulkan kontroversi luas di dunia sains. Oppenheimer dijadikan simbol seorang ilmuwan yang menjadi korban perburuan penyihir. Padahal ia berusaha menyelesaikan masalah moral yang muncul dari penemuan ilmiah.
Pada tahun 1963, Presiden Johnson mencoba menebus ketidakadilan, menganugerahi Oppenheimer dengan Penghargaan Enrico Fermi yang bergengsi dari AEC.
Antara 1947-1966, Oppenheimer juga menjabat sebagai Direktur Institute for Advanced Study di Princeton. Ia mendiskusikan dan melakukan penelitian tentang fisika kuantum dan relativistik, serta menyusun gagasan tentang hubungan antara sains dan masyarakat. Setahun setelah pensiun, dia meninggal karena kanker tenggorokan pada 18 Februari 1967.
Pada 16 Desember 2022, Menteri Energi AS Jennifer Granholm akhirnya membebaskan Oppenheimer dari tuduhan yang menyebabkan pencabutan izin keamanannya.
Oppenheimer percaya bahwa tangannya berlumuran darah atas perannya dalam pengembangan bom atom.
Rasa bersalah yang muncul bukanlah atas penggunaan bom tersebut selama Perang Dunia Kedua. Untuk itu, dia merasa bom itu dibenarkan secara moral. Sebaliknya, Oppenheimer merasa dia bertanggung jawab atas perlombaan senjata berikutnya. Juga terhadap ancaman terhadap peradaban yang ditimbulkan oleh bom tersebut.
Dia berharap teknologi nuklir dapat diaplikasikan untuk perdamaian.
Warisan Oppenheimer dapat diringkas sebagai pertanyaan sederhana. Akankah bom itu menjadi pembawa kehidupan melalui tenaga nuklir dan energi berkelanjutan. Atau akankah warisan Oppenheimer pada akhirnya menjadi perusak dunia kita?