Beberapa legenda yang berhubungan dengan makhluk mitologi naga di Asia memang punya cerita permusuhan dengan manusia. Akan tetapi, konfliknya disebabkan oleh kesalahan manusia dan punya nilai moral.
Misalnya dalam legenda Naga Besukih yang menjadi mitos asal-usul Pulau Bali. Naga Besukih berbaik hati memberikan hartanya kepada Manik Angkeran dengan syarat yang harus dipenuhinya.
Namun, Manik Angkeran justru menebas ekor sang naga, membuatnya marah. Naga Besukih menjilat kakinya hingga akhirnya Manik Angkeran tewas.
Baca Juga: Pengaruh Mitos Kuno pada Penurunan Populasi Harimau di Zaman Modern
Baca Juga: Mitos Khasiat Gigi Naga yang Mendatangkan Petaka di Tiongkok
Baca Juga: Mengapa Simbol Naga Begitu Dihormati dalam Mitologi Tiongkok Kuno?
Baca Juga: Prasasti Tertua Dewa Odin Ditemukan di Timbunan Harta Karun di Denmark
Lalu, Sidi Mantra selaku ayah Manik Angkeran memohon agar anaknya dihidupkan kembali. Lagi-lagi, sang naga punya kemampuan ajaib untuk menghidupkannya--berbeda dengan naga Eropa yang cenderung merusak.
Kehadiran naga adalah untuk membantu kemakmuran masyarakat di Bumi, menurut kebudayaan Asia. Tentunya, mitologi seperti ini berbanding terbalik dengan naga di Eropa yang selalu identik menghancurkan pasukan, perkampungan, dan penyembur api mematikan.
Perbedaan lainnya adalah naga di Asia cenderung berwatak penyendiri dan berhubungan dengan air. Beberapa legenda Asia, termasuk di Indonesia, seseorang harus bertemu dengan naga dan bahkan meminta kebijakannya supaya jadi sakti. Senjata di Asia, termasuk keris, bahkan menjadi tempat bersemayamnya kekuatan naga untuk melindungi pemiliknya dalam ancaman.
Sedangkan naga dalam mitologi Eropa, naga tinggal di sarang dan berkoloni di pegunungan tinggi. Mereka akan menyerang manusia jika merasa terganggu.