Stella menjelaskan, bahwa periode Heian merupakan saksi atas perkembangan mode di Kekaisaran Jepang, “menciptakan budaya estetika.”
Kemajuan teknologi pada periode Heian mendorong terciptanya teknik pembuatan kimono baru, yang disebut "metode potongan garis lurus". Dengan teknik ini, kimono dapat menyesuaikan diri dengan berbagai bentuk tubuh dan juga cocok untuk segala cuaca.
“Untuk musim dingin, kimono dapat dikenakan dengan lapisan yang lebih tebal untuk memberikan kehangatan, sedangkan untuk musim panas dengan kain linen yang tipis,” jelas Stella.
Seiring berjalannya waktu, sejarah kimono dengan desain berlapis-lapis mulai populer. Para wanita Jepang juga mulai menyadari bagaimana kimono dengan warna dan pola yang berbeda dapat terlihat serasi.
Secara umum, motif, simbol, serta kombinasi warna mencerminkan status sosial, kelas politik, ciri-ciri kepribadian, dan kebajikan pemakainya.
Salah satu tradisi yang berlaku adalah bahwa hanya anggota kelas atas yang dapat mengenakan jūni-hitoe, atau 'jubah dua belas lapis'. Jubah ini terbuat dari warna-warna yang mewah dan kain impor seperti sutra.
Periode Kamakura: Estetika Samurai dari Kimono Jepang (1185-1333)
Selama periode ini, mode pakaian Kekaisaran Jepang berubah. Pakaian mewah dari zaman Heian, beralih ke bentuk yang lebih sederhana.
Bangkitnya kelas samurai ke tampuk kekuasaan menandai era baru. Stella menjelaskan, kelas penguasa yang baru ini tidak tertarik untuk mengadopsi budaya istana era Heian.
“Namun, para wanita kelas samurai terinspirasi oleh pakaian formal istana pada zaman Heian dan memperbaharuinya sebagai cara untuk menunjukkan pendidikan dan kehalusan mereka,” jelas Stella.
Dalam upacara minum teh dan pertemuan, para wanita kelas atas, seperti istri Shogun, “akan mengenakan kosode putih dengan lima lapis brokat untuk mengkomunikasikan kekuatan dan status mereka.”