Sejarah Kimono Kekaisaran Jepang: Dari Pakem Kuno Hingga Kontemporer

By Tri Wahyu Prasetyo, Selasa, 30 Mei 2023 | 09:00 WIB
Cetakan blok kayu oleh Utagawa Kunisada, 1847 - 1852, (Victoria and Albert Museum)

Nationalgeographic.co.id—Tak sekadar terlihat anggun dari desain dan motifnya, kimono juga mencerminkan rasa keindahan Kekaisaran Jepang. Sejarah kimono memiliki kisah yang panjang dan berubah-ubah seiring berjalanya tren zaman.

Karakteristik yang paling khas dari kimono adalah pakaian yang dijahit lurus dan terbuat dari satu lembar kain serta dibuat secara sederhana. Tidak seperti pakaian umumnya, pada dasarnya kimono tidak memiliki ukuran yang beragam.

Menurut Stella Polyzoidou, seorang arkeolog dan sejarawan seni dari Universitas Aristoteles Thessaloniki, sejarah kimono Kekaisaran Jepang telah mengalami beberapa perubahan sesuai dengan situasi sosial-politik dan teknologi yang berkembang.

“Ekspresi status sosial, identitas pribadi, dan kepekaan sosial diekspresikan melalui warna, pola, bahan, dan ornamen kimono Jepang,” jelas Stella.

Periode Nara: Debut sejarah kimono Kekaisaran Jepang

Para dayang mempersiapkan sutra yang baru ditenun oleh Zhang Xuan. (Museum of Fine Arts)

Pada periode Nara (710-794), Kekaisaran Jepang sangat dipengaruhi oleh Dinasti Tang di Kekaisaran Tiongkok. Begitu pula dengan gaya berpakaiannya.

Pada saat itu, para wanita bangsawan Kekaisaran Jepang mulai mengenakan jubah tarikubi, yang mirip dengan kimono modern. Jubah ini memiliki beberapa lapisan dan terdiri dari dua bagian. 

Bagian atas adalah jaket bermotif dengan lengan yang sangat panjang, sedangkan bagian bawah adalah rok yang menutupi pinggang.

Perlu untuk diketahui, menurut Stella, sejatinya nenek moyang kimono Kekaisaran Jepang berasal dari zaman Heian (794-1992).

Periode Heian (794 - 1185)

Kanjo: Seorang Dayang oleh Torii Kiyonaga, sekitar tahun 1790. (The Met Museum)

Stella menjelaskan, bahwa periode Heian merupakan saksi atas perkembangan mode di Kekaisaran Jepang, “menciptakan budaya estetika.”

Kemajuan teknologi pada periode Heian mendorong terciptanya teknik pembuatan kimono baru, yang disebut "metode potongan garis lurus". Dengan teknik ini, kimono dapat menyesuaikan diri dengan berbagai bentuk tubuh dan juga cocok untuk segala cuaca.

“Untuk musim dingin, kimono dapat dikenakan dengan lapisan yang lebih tebal untuk memberikan kehangatan, sedangkan untuk musim panas dengan kain linen yang tipis,” jelas Stella.

Seiring berjalannya waktu, sejarah kimono dengan desain berlapis-lapis mulai populer. Para wanita Jepang juga mulai menyadari bagaimana kimono dengan warna dan pola yang berbeda dapat terlihat serasi.

Secara umum, motif, simbol, serta kombinasi warna mencerminkan status sosial, kelas politik, ciri-ciri kepribadian, dan kebajikan pemakainya.

Salah satu tradisi yang berlaku adalah bahwa hanya anggota kelas atas yang dapat mengenakan jūni-hitoe, atau 'jubah dua belas lapis'. Jubah ini terbuat dari warna-warna yang mewah dan kain impor seperti sutra. 

Periode Kamakura: Estetika Samurai dari Kimono Jepang (1185-1333)

Kastil Chiyoda karya Yōshū (Hashimoto) Chikanobu, 1895. (Met Museum)

Selama periode ini, mode pakaian Kekaisaran Jepang berubah. Pakaian mewah dari zaman Heian, beralih ke bentuk yang lebih sederhana.

Bangkitnya kelas samurai ke tampuk kekuasaan menandai era baru. Stella menjelaskan, kelas penguasa yang baru ini tidak tertarik untuk mengadopsi budaya istana era Heian.

“Namun, para wanita kelas samurai terinspirasi oleh pakaian formal istana pada zaman Heian dan memperbaharuinya sebagai cara untuk menunjukkan pendidikan dan kehalusan mereka,” jelas Stella.

Dalam upacara minum teh dan pertemuan, para wanita kelas atas, seperti istri Shogun, “akan mengenakan kosode putih dengan lima lapis brokat untuk mengkomunikasikan kekuatan dan status mereka.”

Meskipun tetap mengenakan kosode dasar dari para pendahulunya, tetapi mereka mengurangi banyak lapisan, sebagai tanda penghematan dan kepraktisan.

Menjelang akhir periode Kamakura, celana panjang merah yang disebut hakama mulai dikenakan oleh wanita kelas atas dan istana. Seperti pembatasan kelas pada periode Heian, para wanita kelas bawah tidak diperkenankan untuk menggunakan  celana tersebut.

Sebagai gantinya, “mereka mengenakan rok pendek untuk memastikan kosode mereka tetap pada tempatnya.”

Periode Muromachi (1336-1573)

Jubah Luar (Uchikake) dengan motif Karangan Bunga Krisan dan Wisteria dengan Jubah Luar (Uchikake) dengan motif Jeruk Mandarin dan Kupu-Kupu Kertas Lipat. (Met Mueseum)

Pada periode ini baju berlengan panjang mulai ditinggalkan. Para wanita mulai hanya mengenakan kosode putih, atau yang lebih cerah dan berwarna-warni. Pada periode ini, versi baru kosode lahir: gaya katsugu dan uchikake

Yang pertama adalah kosode yang dikenakan seperti kerudung di kepala. Sedangkan yang kedua adalah variasi pengingat tradisi dengan lapisan tambahan, yang populer di kalangan wanita kelas samurai.

Perubahan terbesar pada mode wanita pada periode ini adalah ditinggalkannya celana hakama untuk wanita. 

Untuk menjaga agar kosode mereka tetap ketat, mereka menciptakan selempang sempit berhias yang dikenal sebagai obi.

Periode Azuchi-Momoyama (1568-1603)

Dua Kekasih oleh Hishikawa Moronobu, sekitar tahun 1675-80. ( Met Museum)

Ini adalah periode di mana pakaian Kekaisaran Jepang mendapatkan bentuk yang lebih elegan. Ada perubahan drastis dari jubah periode Azuchi-Momoyama sebelumnya.

“Para perajin mengembangkan keterampilan baru dalam menenun dan menghias, tanpa harus mengimpor kain dari Cina,” jelas Stella.

Stella menambahkan, kemudian nanti pada awal zaman Edo, teknik-teknik baru dalam pembuatan sutra dan bordir telah menyebar, “memungkinkan kelas pedagang untuk menyokong industri mode yang sedang berkembang.”

Periode Edo (1603-1868)

Anna Elizabeth van Reede oleh Gerard Hoet, 1678. ( Victoria and Albert Museum)

Awal tahun 1600-an adalah masa yang penuh dengan kedamaian, stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kota yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Orang-orang di era Edo mengenakan kimono yang simpel dan canggih. Gaya, motif, bahan, teknik, dan warna menjelaskan identitas pemakainya. 

Dari sejarah kimono, kita bisa mengetahui riwayat pembuatannya yang menggunakan tangan untuk menghasilkan kain halus berbahan alami, yang harganya sangat mahal. Oleh karena itu, orang-orang menggunakannya secara berulang hingga kimono tersebut menjadi usang.

Beberapa orang dari kelas bawah tidak pernah memiliki kimono sutra. Kelas samurai yang berkuasa adalah konsumen penting dari kimono mewah.

Pada zaman Edo, kimono Kekaisaran Jepang dicirikan oleh asimetri dan pola-pola besar, berbeda dengan kosode yang dikenakan oleh para wanita samurai pada zaman Muromachi.

Catatan sejarah kimono mengungkapkan, busana itu pernah menjadi barang berharga, dan para orang tua mewariskannya kepada anak-anak mereka sebagai pusaka keluarga.

Selama periode Edo, Kekaisaran Jepang memberlakukan kebijakan isolasi yang ketat yang dikenal sebagai kebijakan negara tertutup. 

Belanda adalah satu-satunya orang Eropa yang diizinkan untuk berdagang di Jepang. Stella menjelaskan, orang-orang Belanda membawa kain ke Jepang yang kemudian dijadikan bahan kimono.

“Belanda menugaskan para pembuat jubah di Jepang untuk membuat jubah khusus untuk pasar Eropa,” jelas Stella.

Pada pertengahan abad ke-19, Kekaisaran Jepang dipaksa untuk membuka pelabuhannya untuk kekuatan asing. Pedagang sutra Jepang dengan cepat memanfaatkan pasar baru ini dan kimono pun menembus pasar Barat.

Pakaian Jepang dan Era Meiji (1868-1912)

Jubah dengan selempang. (Victoria and Albert Museum)

Pada era Meiji, mode Kekaisaran Jepang menyesuaikan diri dengan standar barat. Para wanita elit dalam masyarakat Jepang menginginkan pakaian yang lebih mahal dan eksklusif dari masyarakat barat. 

Hal ini terjadi setelah berlangsungnya perdagangan antara Kekaisaran Jepang dan Barat. Tatkala pelabuhan-pelabuhan besar di Jepang mulai dibuka. Hal ini mengakibatkan impor berbagai teknologi dan budaya dari Barat. 

Stella menjabarkan, sebagian besar adopsi pakaian kebarat-baratan berasal dari pakaian militer. Pemerintah Jepang ingin beralih dari kepemimpinan Samurai di masa lalu dan beralih ke gaya militer profesional Kerajaan Inggris. Bahkan, “pemerintah melarang kimono dari pakaian militer.”

Ketika masyarakat Jepang lebih tertarik dengan mode ala barat, kimono justru mulai mempengaruhi mode Eropa, tepatnya pada awal abad ke-20.

“Orang Jepang mulai memproduksi apa yang dikenal sebagai kimono untuk orang asing. Orang Jepang menyadari bahwa wanita di Eropa tidak akan tahu bagaimana cara mengikat obi, jadi mereka menyediakan pakaian dengan selempang dari kain yang sama,” terang Stella.

Sejarah Kimono Kekaisaran Jepang dari Periode Pasca Perang hingga Hari Ini

Angela Lindvall dalam balutan kimono karya John Galliano, koleksi Musim Semi/Musim Panas 2007. (Vogue)

Pasca Perang Dunia II, orang-orang Kekaisaran Jepang berhenti mengenakan kimono, karena mereka mencoba membangun kembali kehidupan mereka. Budaya Kekaisaran Jepang menjadi semakin ter-Amerika-kan. Perjalanan sejarah kimono menjumpai takdir barunya.

Orang-orang cenderung mengenakan pakaian gaya barat daripada kimono. Mereka hanya akan menggunakan kimono pada acara-acara tertentu, seperti dalam upacara atau pesta pernikahan.

Seiring berjalanya waktu, ada kebangkitan kimono yang nyata di Jepang dalam beberapa tahun terakhir. Banyak perancang busana yang terinspirasi oleh bentuk kimono Jepang: Yves Saint Laurent, Rei Kawakubo, Christian Dior, Alexander McQueen.

Stella menyatakan, dari periode Nara hingga era kontemporer, “kimono Jepang telah mengalami penemuan kembali baik secara lokal maupun global, mendapatkan tempat yang menarik dalam sejarah mode.”

Demikianlah, sejarah kimono Kekaisaran Jepang telah tercipta melalui perjalanan yang panjang. Busana ini mengalami perubahan sesuai situasi sosial-politik dan teknologi yang berkembang.