Sejarah Kimono Kekaisaran Jepang: Dari Pakem Kuno Hingga Kontemporer

By Tri Wahyu Prasetyo, Selasa, 30 Mei 2023 | 09:00 WIB
Cetakan blok kayu oleh Utagawa Kunisada, 1847 - 1852, (Victoria and Albert Museum)

“Para perajin mengembangkan keterampilan baru dalam menenun dan menghias, tanpa harus mengimpor kain dari Cina,” jelas Stella.

Stella menambahkan, kemudian nanti pada awal zaman Edo, teknik-teknik baru dalam pembuatan sutra dan bordir telah menyebar, “memungkinkan kelas pedagang untuk menyokong industri mode yang sedang berkembang.”

Periode Edo (1603-1868)

Anna Elizabeth van Reede oleh Gerard Hoet, 1678. ( Victoria and Albert Museum)

Awal tahun 1600-an adalah masa yang penuh dengan kedamaian, stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kota yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Orang-orang di era Edo mengenakan kimono yang simpel dan canggih. Gaya, motif, bahan, teknik, dan warna menjelaskan identitas pemakainya. 

Dari sejarah kimono, kita bisa mengetahui riwayat pembuatannya yang menggunakan tangan untuk menghasilkan kain halus berbahan alami, yang harganya sangat mahal. Oleh karena itu, orang-orang menggunakannya secara berulang hingga kimono tersebut menjadi usang.

Beberapa orang dari kelas bawah tidak pernah memiliki kimono sutra. Kelas samurai yang berkuasa adalah konsumen penting dari kimono mewah.

Pada zaman Edo, kimono Kekaisaran Jepang dicirikan oleh asimetri dan pola-pola besar, berbeda dengan kosode yang dikenakan oleh para wanita samurai pada zaman Muromachi.

Catatan sejarah kimono mengungkapkan, busana itu pernah menjadi barang berharga, dan para orang tua mewariskannya kepada anak-anak mereka sebagai pusaka keluarga.

Selama periode Edo, Kekaisaran Jepang memberlakukan kebijakan isolasi yang ketat yang dikenal sebagai kebijakan negara tertutup. 

Belanda adalah satu-satunya orang Eropa yang diizinkan untuk berdagang di Jepang. Stella menjelaskan, orang-orang Belanda membawa kain ke Jepang yang kemudian dijadikan bahan kimono.