Invasi kedua
Terlepas dari upaya diplomatik dan gencatan senjata, impian penaklukan Hideyoshi masih jauh dari padam.
Pada tahun 1597, pembicaraan jelas menemui jalan buntu. Hideyoshi, yang semakin tidak sabar dan lemah, memutuskan untuk melancarkan invasi kedua.
Namun kali ini, baik Dinasti Joseon maupun Tiongkok lebih siap. Dinamika perang telah berubah.
Pasukan Jepang pada invasi kedua, berjumlah sekitar 141.500, memiliki tujuan yang lebih jelas.
Para samurai mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaan di Korea selatan.
Hideyoshi berharap unjuk kekuatan ini dapat memaksa Tiongkok dan Korea untuk menyetujui persyaratannya. Namun, kemajuan invasi kedua sangat berbeda dari yang pertama.
Pasukan Joseon dan Tiongkok lebih siap dan terorganisir. Hal itu menghasilkan serangkaian kemenangan defensif yang menghentikan gerak maju Jepang.
Salah satu peristiwa penting selama invasi kedua adalah Pengepungan Jiksan. Pengepungan ini adalah konflik berdarah di mana gabungan pasukan Joseon dan Tiongkok berhasil memukul mundur serangan Jepang.
Angkatan laut Korea yang dipimpin oleh Laksamana Yi Sun-sin juga berhasil memegang kendali di laut.
Meskipun ukuran armadanya lebih kecil, Yi meraih kemenangan monumental di Pertempuran Myeongnyang.
Ia bertahan melawan armada Kekaisaran Jepang yang jauh lebih besar dengan hanya 13 kapal yang dimilikinya.
Terlepas dari rintangan ini, samurai berhasil mempertahankan posisi mereka di provinsi selatan Korea. Hal ini menjadi jalan buntu bagi Korea dan Tiongkok.
“Namun, situasinya tiba-tiba berubah dengan kematian Toyotomi Hideyoshi pada bulan September 1598,” tambah Mingren.
Dengan kematian panglima perang yang ambisius, tujuan invasi pun menguap.
Dewan bupati Hideyoshi, Gotairo, menghadapi tugas besar. Selain mengamankan transisi kekuasaan yang damai di Jepang, ia juga harus menyelesaikan serangan militer yang gagal di Korea.
Bagaimana perang tiba-tiba berakhir?
Kematian Toyotomi Hideyoshi pada tahun 1598 menandai titik balik dalam Perang Imjin. Kekuatan pendorong di belakang invasi telah hilang.
Kematian sang pemimpin menyisakan pasukan Jepang di Korea tanpa arah yang jelas. Goitaro dibebani dengan tugas yang sangat berat untuk mengatur akibatnya.
Menghadapi kekacauan politik di dalam negeri dan perlawanan abadi dari pasukan Korea dan Tiongkok, ia memutuskan untuk mundur.
Pemimpin de facto Jepang yang baru, Tokugawa Ieyasu, memiliki sedikit minat untuk melanjutkan ambisi Hideyoshi.
Perhatian utamanya adalah untuk mengonsolidasikan kekuatannya di Kekaisaran Jepang dan menjaga stabilitas setelah kematian Hideyoshi.
Pada Pertempuran Noryang, gabungan Korea dan Tiongkok akhirnya berhasil memukul mundur armada Kekaisaran Jepang. Ironisnya, Laksamana Yi terluka parah akibat peluru nyasar. Ia pun meninggal di pertempuran itu.
Pada bulan-bulan setelah kematian Hideyoshi, pasukan Jepang mundur secara terorganisir.
Para samurai meninggalkan benteng dan kastel yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.
Ini menandai berakhirnya kampanye militer Kekaisaran Jepang di Korea. Baru pada tahun 1603, perjanjian perdamaian resmi disetujui antara Joseon dan Keshogunan Tokugawa yang baru dibentuk. Perjanjian damai ini menutup babak pergolakan Perang Imjin.
Berakhirnya perang mengantarkan Kekaisaran Jepang ke era pengasingan di bawah Keshogunan Tokugawa. Era pengasingan ini berlangsung selama lebih dari dua abad.