Nationalgeographic.co.id—Akhir abad ke-16 menandai zaman penting dalam sejarah Asia Timur. Hal itu ditandai dengan serangkaian konflik brutal yang mengubah lanskap politik di wilayah tersebut.
Di masa ini, Kekaisaran Jepang, Tiongkok, dan Korea terjebak dalam pergolakan yang dikenal sebagai Perang Imjin. Saat itu, para samurai melakukan serangan ke Korea dan berakhir dengan kegagalan brutal.
Tiga kekaisaran: Jepang, Korea, dan Tiongkok
Kekaisaran Jepang baru saja lepas dari periode perang saudara yang panjang. Periode yang disebut Sengoku itu adalah masa konflik dan perebutan kekuasaan yang tak henti-hentinya di antara tuan feodal. Setiap pemimpin saling bersaing untuk supremasi atas pulau-pulau.
Periode yang penuh gejolak ini berhasil dipadamkan di bawah pemerintahan Toyotomi Hideyoshi yang tangguh. “Ia adalah anak seorang petani. Setelah menjadi samurai, Hideyoshi menjadi salah satu dari tiga pemersatu Kekaisaran Jepang,” tulis Wu Mingren di laman Ancient Origins.
Pemerintahan Hideyoshi menandai berakhirnya era Sengoku dan dimulainya periode relatif damai dan penyatuan Kekaisaran Jepang.
Sebagai kampaku (bupati) yang baru diangkat, Hideyoshi melakukan reformasi politik dan sosial yang luas. Ia berusaha menciptakan kondisi yang stabil di Kekaisaran Jepang.
Namun, ambisinya tidak berhenti di pantai Jepang. Mengalihkan pandangannya ke barat, dia membayangkan sebuah kekaisaran besar yang membentang di benua Asia. Tentu saja, dengan Kekaisaran Jepang sebagai pemimpinnya.
Impiannya adalah untuk menaklukkan Dinasti Ming dari Kekaisaran Tiongkok. Dan batu loncatannya menuju visi besar ini adalah semenanjung Korea.
Di saat yang sama, Dinasti Joseo Korea sedang menikmati masa damai di bawah pemerintahan Raja Seonjo.
Dinasti Joseon memiliki hubungan yang kuat dengan Dinasti Ming Kekaisaran Tiongkok. Hubungan tersebut ditandai dengan sistem upeti dan bantuan perang.
Meski dalam kondisi damai, Dinasti Josen harus menghadapi ancaman invasi, terutama dari Jurchen.
Hal ini membuat kekaisaran harus terus mempersiapkan pasukan yang mampu menghalau penyusup.
Namun, ancaman yang akan datang dari timur adalah kartu liar tak terduga. Dinasti Joseon tidak bersiap untuk menghadapi Kekaisaran Jepang yang ambisius dan baru bersatu itu.
Invasi pertama yang dramatis
Pada tahun 1592, ketenangan semenanjung Korea terganggu oleh serangan mendadak samurai Kekaisaran Jepang yang tangguh.
Impian ambisius Hideyoshi akhirnya hampir terwujud. Strateginya cepat dan berani. Ia dan para samurai melakukan serangan mendadak dengan kekuatan luar biasa.
Serangan itu dilakukan untuk menggulingkan Dinasti Joseon dan membangun basis untuk fase selanjutnya dari rancangan besarnya. Rencana terbesarnya adalah penaklukan Kekaisaran Tiongkok.
Invasi gelombang pertama terdiri dari 158.000 samurai berpengalaman dari era Sengoku dan rekrutan baru.
Para samurai dengan cepat maju, merebut benteng Busan dan Dongnae dengan perlawanan minimal.
Pada bulan Juni, samurai telah mencapai ibu kota, Hanseong. Pasukan Hideyoshi secara efektif mendorong Raja Seonjo ke utara menuju Sungai Yalu.
Keberhasilan awal Kekaisaran Jepang ini dapat dikaitkan dengan taktik dan persenjataan mereka yang unggul.
Arquebus mereka, jenis senjata api awal, memberi keuntungan yang signifikan atas pasukan Korea. Saat itu, pasukan Korea masih bergantung pada busur dan anak panah tradisional.
Selain itu, kode etik samurai “Bushido” menghasilkan samurai yang ganas dan disiplin.
Namun, di tengah serbuan serbuan Kekaisaran Jepang, muncul mercusuar perlawanan berupa angkatan laut Korea. Angkatan laut itu dipimpin oleh Laksamana Yi Sun-sin.
Dengan desain “kapal kura-kura” yang inovatif dan taktik angkatan laut yang brilian, Yi berhasil melindungi jalur komunikasi laut Korea.
Taktiknya bahkan turut berpengaruh pada jalur pasokan dan menahan angkatan laut Jepang.
Kemenangan angkatan laut ini, terutama di Pertempuran Hansando, merupakan kemunduran signifikan pertama bagi rencana invasi Hideyoshi.
Sementara itu, Raja Korea Seonjo telah mengirim utusan ke Kekaisaran Tiongkok untuk meminta bantuan.
Pada musim dingin tahun 1592, Kekaisaran Tiongkok mengerahkan pasukan ekspedisi yang besar.
Peristiwa ini menandai dimulainya intervensi Kekaisaran Tiongkok dalam perang antara Jepang dan Korea.
Kedatangan pasukan Tiongkok menandai perubahan gelombang perang, membuat kemajuan Kekaisaran Jepang menemui jalan buntu.
Serangan balik dari Kekaisaran Tiongkok dan Korea
Saat gelombang pertama pasukan Hideyoshi mulai menghadapi perlawanan di laut dan kedatangan Tiongkok di darat. Oleh karena itu, gelombang perang mulai berubah.
Kecemerlangan angkatan laut Laksamana Yi terus bersinar selama periode ini. Yi memimpin serangkaian pertempuran angkatan laut yang sukses yang semakin memengaruhi jalur pasokan Jepang.
Kemenangan di laut ini terbukti sangat penting dalam membendung kemajuan samurai Jepang. Di saat yang sama, kemenangan tersebut memperkuat moral Korea pada saat krisis nasional.
Di darat, campur tangan Kekaisaran Tiongkok secara dramatis mengubah lanskap perang. Pasukan gabungan Korea dan Tiongkok melancarkan serangan balasan.
Tujuannya adalah untuk merebut kembali wilayah yang hilang akibat invasi Kekaisaran Jepang.
Pengepungan Pyongyang pada Januari 1593 menandai kemenangan bersama pertama yang signifikan. Saat itu, kedua kekaisaran berhasil merebut kembali kota dari pasukan Jepang.
Namun, pertempuran darat ini brutal dan mahal. Pengepungan Pyongyang, misalnya, mengakibatkan banyak korban di kedua belah pihak.
Dalam konflik yang mengerikan ini, tentara dan warga sipil jadi korban. Hal ini adalah pengingat yang gamblang tentang korban manusia dari ambisi besar Hideyoshi.
Di saat pasukan tiga kekaisaran saling bertarung, upaya diplomatik dilakukan untuk menegosiasikan resolusi damai.
Terlepas dari keberhasilan militer, perang telah membawa kesulitan besar bagi semua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, keinginan untuk perdamaian semakin meningkat.
Hideyoshi segera menyadari bahwa rencana awalnya untuk penaklukan cepat telah digagalkan. Ia pun menerima negosiasi.
Penghentian konflik
Periode negosiasi yang tegang, persiapan perang, dan perdamaian relatif terjadi antara tahun 1593 dan 1597.
Masa ini adalah masa transisi dan strategi, menandai pergeseran dari medan perang ke meja perundingan.
Hideyoshi, meskipun mengalami kegagalan di awal, tidak siap untuk meninggalkan mimpinya sepenuhnya. Ia setuju untuk terlibat dalam pembicaraan damai.
Akan tetapi, di sisi lain, Hideyoshi melakukan upaya untuk memperkuat posisi Kekaisaran Jepang di Korean.
Ada ketidaksepakatan yang mencolok atas persyaratan perdamaian. Hideyoshi menuntut pengakuan dari Kaisar Tiongkok sebagai sederajat.
Permintaan tersebut dipandang sebagai pelanggaran signifikan terhadap tatanan dunia sino-sentris. Tentu saja, Kekaisaran Tiongkok menolaknya mentah-mentah.
Diskusi seputar pertukaran tahanan, reparasi, dan penarikan pasukan Jepang dari Korea pun mengalami hambatan.
Hal ini mencerminkan ketegangan yang mendalam dan tujuan strategis yang berbeda dari pihak-pihak yang terlibat.
Selama periode ini, Dinasti Joseon memulai pemulihannya yang lambat dari kehancuran invasi pertama.
Upaya dilakukan untuk memulihkan kontrol administratif dan membangun kembali daerah yang dilanda perang.
Terlepas dari perdamaian, masih ada ancaman invasi dari Kekaisaran Jepang. Militer Korea mulai bersiap dengan senjata dan latihan yang dibantu oleh Kekaisaran Tiongkok.
Sementara itu, di Kekaisaran Jepang, tahun-tahun ini ditandai dengan persiapan yang signifikan untuk potensi invasi kedua.
Hideyoshi, meskipun menghadapi perlawanan dari beberapa daimyo, mulai mengumpulkan pasukan dan sumber daya.
Invasi kedua
Terlepas dari upaya diplomatik dan gencatan senjata, impian penaklukan Hideyoshi masih jauh dari padam.
Pada tahun 1597, pembicaraan jelas menemui jalan buntu. Hideyoshi, yang semakin tidak sabar dan lemah, memutuskan untuk melancarkan invasi kedua.
Namun kali ini, baik Dinasti Joseon maupun Tiongkok lebih siap. Dinamika perang telah berubah.
Pasukan Jepang pada invasi kedua, berjumlah sekitar 141.500, memiliki tujuan yang lebih jelas.
Para samurai mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaan di Korea selatan.
Hideyoshi berharap unjuk kekuatan ini dapat memaksa Tiongkok dan Korea untuk menyetujui persyaratannya. Namun, kemajuan invasi kedua sangat berbeda dari yang pertama.
Pasukan Joseon dan Tiongkok lebih siap dan terorganisir. Hal itu menghasilkan serangkaian kemenangan defensif yang menghentikan gerak maju Jepang.
Salah satu peristiwa penting selama invasi kedua adalah Pengepungan Jiksan. Pengepungan ini adalah konflik berdarah di mana gabungan pasukan Joseon dan Tiongkok berhasil memukul mundur serangan Jepang.
Angkatan laut Korea yang dipimpin oleh Laksamana Yi Sun-sin juga berhasil memegang kendali di laut.
Meskipun ukuran armadanya lebih kecil, Yi meraih kemenangan monumental di Pertempuran Myeongnyang.
Ia bertahan melawan armada Kekaisaran Jepang yang jauh lebih besar dengan hanya 13 kapal yang dimilikinya.
Terlepas dari rintangan ini, samurai berhasil mempertahankan posisi mereka di provinsi selatan Korea. Hal ini menjadi jalan buntu bagi Korea dan Tiongkok.
“Namun, situasinya tiba-tiba berubah dengan kematian Toyotomi Hideyoshi pada bulan September 1598,” tambah Mingren.
Dengan kematian panglima perang yang ambisius, tujuan invasi pun menguap.
Dewan bupati Hideyoshi, Gotairo, menghadapi tugas besar. Selain mengamankan transisi kekuasaan yang damai di Jepang, ia juga harus menyelesaikan serangan militer yang gagal di Korea.
Bagaimana perang tiba-tiba berakhir?
Kematian Toyotomi Hideyoshi pada tahun 1598 menandai titik balik dalam Perang Imjin. Kekuatan pendorong di belakang invasi telah hilang.
Kematian sang pemimpin menyisakan pasukan Jepang di Korea tanpa arah yang jelas. Goitaro dibebani dengan tugas yang sangat berat untuk mengatur akibatnya.
Menghadapi kekacauan politik di dalam negeri dan perlawanan abadi dari pasukan Korea dan Tiongkok, ia memutuskan untuk mundur.
Pemimpin de facto Jepang yang baru, Tokugawa Ieyasu, memiliki sedikit minat untuk melanjutkan ambisi Hideyoshi.
Perhatian utamanya adalah untuk mengonsolidasikan kekuatannya di Kekaisaran Jepang dan menjaga stabilitas setelah kematian Hideyoshi.
Pada Pertempuran Noryang, gabungan Korea dan Tiongkok akhirnya berhasil memukul mundur armada Kekaisaran Jepang. Ironisnya, Laksamana Yi terluka parah akibat peluru nyasar. Ia pun meninggal di pertempuran itu.
Pada bulan-bulan setelah kematian Hideyoshi, pasukan Jepang mundur secara terorganisir.
Para samurai meninggalkan benteng dan kastel yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.
Ini menandai berakhirnya kampanye militer Kekaisaran Jepang di Korea. Baru pada tahun 1603, perjanjian perdamaian resmi disetujui antara Joseon dan Keshogunan Tokugawa yang baru dibentuk. Perjanjian damai ini menutup babak pergolakan Perang Imjin.
Berakhirnya perang mengantarkan Kekaisaran Jepang ke era pengasingan di bawah Keshogunan Tokugawa. Era pengasingan ini berlangsung selama lebih dari dua abad.