Serangan itu memutus pasokan yang sangat dibutuhkan Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Mereka pun tidak memiliki pilihan lain selain mundur. Akhirnya Xerxes membatalkan rencana untuk menaklukkan Yunani kuno. Perlawanan sengit dari Yunani kuno tidak memungkinkan Xerxes menang atas mereka.
Pada tahun 465 Sebelum Masehi, Xerxes dibunuh oleh para konspirator. “Mereka merencanakan penggulingan Xerxes sejak lama,” imbuh Sutherland. Tidak diragukan lagi, pembunuhan itu adalah pertanda buruk bagi masa depan.
Setelah kematian Xerxes I, penerusnya melakukan upaya untuk menjaga keutuhan kekaisaran. Namun, Kekaisaran Akhemeniyah tidak pernah mencapai kejayaannya seperti sebelumnya.
Konflik internal melemahkan kekaisaran dan memberi peluang kepada Aleksander Agung untuk menyerang. Ia memulainya dengan mengalahkan tentara Kekaisaran Akhemeniyah di Granicus, Issus, dan terakhir di Gaugamela.
Pada tahun 330 Sebelum Masehi, pasukan Aleksander Agung bergerak menuju Susa dan Persepolis yang menyerah. Menuju utara ke Pasargadae, ia mengunjungi makam Koresh Agung, pendiri sebuah kekaisaran yang tidak akan bertahan lama.
Aleksander Agung kemudian menaklukkan Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Namun ia harus berjuang sekuat tenaga untuk merebut setiap provinsi dengan kekuatan. Hal tersebut menunjukkan solidaritas yang luar biasa dari Kekaisaran Akhemeniyah.
Meski ada intrik istana yang berulang kali, kekaisaran tersebut jelas tidak berada dalam kondisi “bobrok”. Mereka terus bertahan hingga napas terakhir.