Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Akhemeniyah di Persia tunduk kepada Aleksander Agung pada 330 SM, dengan kematian Raja Darius III yang terjadi enam tahun berikutnya.
Namun perjuangan sejarah Aleksander Agung dari Makedonia masih berlangsung ke arah timur untuk menundukkan sisa-sisa kekuasaan yang enggan tunduk.
Ekspedisi Aleksander pun berujung ke Lembah Sungai Indus, bagian paling timur dari Kekaisaran Akhemeniyah.
Di sini, Aleksander punya niat untuk menguasai anak benua India. Sebab, negeri ini begitu kaya, memiliki iklim yang berbeda, dan hanya sedikit orang Yunani atau Makedonia yang pernah singgah.
Peradaban India cukup maju pada masanya, walau terpecah-pecah dalam beberapa suku dan kerajaan kecil.
Pada abad ke-4 SM, India telah menjadi peradaban dengan budidaya pertanian yang luas dengan jalur perdagangan yang memperkayainya.
Selain itu, penguasa di India merupakan panglima perang yang kuat untuk memimpin pasukan dalam jumlah besar, dan memiliki unit pasukan gajah.
Dalam sejarah peradaban India, bagian barat Lembah Sungai Indus dikuasai oleh Kekaisaran Akhemeniyah selama beberapa dekade.
Kekuatan militer kerajaan-kerajaan kecil yang tunduk dimanfaatkan Kekaisaran Akhemeniyah, termasuk melawan ekspedisi militer dalam sejarah Aleksander Agung.
Beberapa sumber sejarah dari Yunani dan Persia pun menyebutkan unit dari India.
Dalam sejarah Aleksander Agung, ekspedisi menuju India bermula pada 327 SM. Aleksander mempererat hubungannya dengan para kepala satrap (setingkat gubernur pada peradaban Persia) daerah Asia Tengah.
Hubungan Aleksander dengan para satrap Asia semakin kuat setelah menikahi Roxana, seorang putri dari Baktria di Asia Tengah.
Mei 327 SM dan Maret 326 SM, ekspedisinya dimulai untuk mengamankan jalur pasokan dan komunikasinya dengan para satrap.
Ekspedisi ini disebut Kampanye Cophen yang membuatnya berhasil merebut kawasan pegunungan Pakistan dan Afganistan.
Ekspedisi dalam sejarah Aleksander Agung ini membuat para raja-raja kecil tersebut bertekuk lutut pada bangsa Makedonia.
Salah satunya adalah bangsa Assakenia (Asvaka dalam bahasa Sansekerta).
Bangsa Assakenia menolak tunduk walau rajanya sudah dibunuh. Ratu Kleophis (Kripa) yang merupakan ibu raja Assakenia menolak menyerahkan ibukotanya walau sudah terkepung.
Setelah Assakenia berhasil dikuasai, Aleksander melanjutkan merebut Aornus yang hari ini berada di sekitar Shangla, Pakistan.
Aornus adalah pengepungan besar terakhir dalam sejarah Aleksander Agung untuk mengamankan jalur komunikasinya melintasi Hindu Kush.
Di sini, orang Yunani dan Makedonia mulai terhubung langsung dengan peradaban India. Ada beberapa catatan tentang India, tetapi tidak menyebutkan tentang agama Buddha, kuil, dan aktivitas spiritual.
Catatan Yunani dan Makedonia tidak menyebut soal kasta, kecuali kaum Brahmana yang disebut sebagai filsuf dan penasihat raja dan pangeran, bukan pendeta.
Sejarawan dari Yunani kuno era Aleksander juga melihat aktivitas kebudayaan. Aktivitas itu seperti, tradisi sati di mana perempuan janda harus memabkar diri ke tumpukan kayu pemakaman suaminya, ritual memberikan mayat manusia ke burung nasar, dan perbudakan.
Meski demikian, orang Yunani mengagumi kemajuan pengetahuan masyarakat India, terutama bidang kedokteran.
Baca Juga: Siapa Chandragupta yang Mendirikan Dinasti Maurya dalam Sejarah India?
Pertempuran Hydaspes
Pertempuran Hydaspes merupakan pertempuran yang sangat berat dalam sejarah Aleksander Agung. Pertempuran ini ketika Aleksander dan pasungannya berjalan ke timur.
Di sana mereka memasuki wilayah Raja Porus (para ahli memperkirakan nama aslinya Paurava) yang memerintah di antara Sungai Hydaspes (Jelum) dan Acesines (Chenab) di wilayah Punjab.
Nama Raja Porus hanya disebutkan oleh sumber Yunani dan Persia. Namanya tidak begitu tercatut dalam sumber sejarah India, termasuk pada era Dinasi Maurya.
Bagi Memnon, petinggi militer Kekaisaran Akhemeniyah yang kini bergabung dengan Aleksander, Porus adalah petarung tangguh.
Diperkirakan, Porus hanyalah raja kecil yang tidak begitu dianggap. Selain itu, ekspedisi Aleksander Agung ke India juga tidak disebutkan dalam catatan India, kecuali menurut cerita-cerita rakyat sekitar Lembah Sungai Indus.
Bagaimanapun, Porus sudah menjadi tantangan bagi Aleksander yang bersikeras enggan tunduk. Pertempuran ini terjadi pada Mei 326 SM dengan kekuatan Aleksander terdiri 40.000 infanteri, 7.000 kavaleri, dan 5.000 pasukan sekutu India. Porus bersama 50.000 infanteri, 4.000 kavaleri, 1.000 kereta, dan 85-200 gajah perang.
Kedua pihak berkemah di sisi berbeda Sungai Hydaspes. Medan sangat sulit bagi pasukan Aleksander karena alirannya sangat deras dan dalam, ditambah lagi musuh menggunakan gajah perang.
Pasukan Aleksander berhasil menyeberang setelah beberapa hari kavelerinya dikerahkan untuk mencari cara.
Kraterus, jenderal Aleksander, mengalihkan perhatian pasukan Porus, sehingga Aleksander bisa masuk ke dalam pasukan lawan.
Sontak, Porus pun segera berupaya menghalangi Aleksander Agung yang telah menyeberang. Dia mengerahkan putranya untuk menghentikannya. Sayangnya, putranya gugur ketika tengah berupaya.
Pasukan India-Makedonia dan kavaleri segera maju ke sayap kiri membantu pemanah kuda yang tengah melawan kavaleri Porus.
Sementara itu gajah perang dan infanteri Porus menyerang, tetapi dihadang oleh barisan depan Makedonia yang dipimpin Kraterus.
Sementara Aleksander berada di posisi belakang barisan tentara lawan. Akibatnya seranangan ini menggencet Porus dan mengakhiri Pertempuran Hydaspes.
Dalam sejarah Aleksander Agung, seperti biasa ia memperlakukan musuhnya dengan baik. Aleksander menyelamatkan nyawa Porus dan mengembalikan takhtanya.
Dia pun mendamaikan Porus dengan Ambhi--penguasa India lainnya yang selama ini menjadi rival Porus dan berada di bawah kekuasaan Aleksander Agung.
Rindu kampung halaman
Setelah pertempuran, Aleksander Agung mendirikan kota di dekat Sungai Hydaspes. Kota itu bernama Alexandria Buchephalus, yang mengandung nama kuda tunggangan Aleksander sejak dari Makedonia, dan tewas dalam Pertempuran Hydaspes.
Sungai Hydaphes terletak tidka jauh dari Sungai Gangga. Orang Yunani menyebut Sungai Gangga sangat dalam dan terlalu luas, sehinga menyulitkan penyeberangan.
Padahal, di seberangnya terdapat Kekaisaran Nanda yang telah berkembang dalam sejarah peradaban India. Kekaisaran pada empat tahun kemudian akan digulingkan oleh Chandragupta Maurya, pendiri Kekaisaran Maurya.
Namun, pasukan Aleksander Agung sudah terlalu letih. Mereka mengadu untuk pulang karena merindukan rumah, orang tua, anak, dan istri mereka di Makedonia.
Beberapa sejarawan berpendapa mungkin para serdadu memberontak, karena Aleksander Agung ingin sekali untuk maju.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Aleksander Agung memutuskan untuk mundur. Agar menuntaskan ekspedisinya, Aleksander Agung dan serdadunya ke selatan untuk menundukkan bangsa Malli di Punjab.
Setelah itu ada yang berpisah menuju Laut India dan melewati daratan Persia untuk kembali ke Babilonia.
Baca Juga: Selidik Misteri Pedang Aleksander Agung yang Menaklukkan Dunia