Wawancara dengan Peneliti BRIN soal Sampah Indonesia Mencemari Afrika

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 16 Desember 2023 | 16:00 WIB
Ilustrasi sampah laut Indonesia. (PxHere)

Nationalgeographic.co.id – Sebuah studi terbitan tahun 2023, yang dipimpin oleh para peneliti dari University of Oxford, menyoroti masalah sampah dari Indonesia. Studi ini menyebut bahwa sampah Indonesia telah mencemari pesisir Afrika Timur.

Ternyata, sebelumnya juga sudah ada makalah studi dari para peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menyatakan hal senada, terbit tahun 2022. Kedua studi tersebut sama-sama telah dipublikasikan di jurnal internasional Marine Debris Pollution.

Studi garapan para peneliti BRIN itu berjudul “Pathways and destinations of floating marine plastic debris from 10 major rivers in Java and Bali, Indonesia: A Lagrangian particle tracking perspective”. Dalam studi ini para peneliti membuat model simulasi pergerakan sampah plastik di laut yang berasal dari 10 sungai besar di Jawa dan Bali.

Teknik pemodelan Lagrangian ini memperhitungkan arus laut serta arah pergerakan angin di laut. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian sampah dari muara sungai-sungai besar di Jawa dan Bali berlayar hingga pesisir Afrika dan sebagian lainnya bergerak mencapai pesisir Madagaskar.

Saya berkesempatan mewawancarai Muhammad Reza Cordova, salah satu peneliti yang terlibat dalam studi pemodelan itu. Reza adalah peneliti di Pusat Riset Oseanografi BRIN yang punya kepedulian terhadap masalah sampah laut Indonesia.

Perbincangan saya melalui aplikasi pesan singkat dengan Reza juga membahas soal target pemerintah Indonesia untuk menangani sampah laut hingga 70% pada tahun 2025. Target ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.

Sejak aturan itu terbit, beragam upaya mulai dilaksanakan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan penanganan sampah yang ada di laut, termasuk sampah plastik. Penanganan juga dilakukan terhadap sampah di darat mengingat sebanyak 80 persen sampah di laut Indonesia berasal dari daratan. Sampah-sampah tersebut masuk ke laut setelah terbawa melalui sungai dan anak sungai.

Sejak program penanganan sampah bertarget besar itu berjalan, selama tiga tahun produksi sampah di laut di Indonesia diklaim sudah berkurang hingga 28,5 persen. Namun itu belum cukup karena targetnya adalah berkurang 70 persen pada 2025. Berikut ini adalah petikan wawancara saya dengan Reza yang juga merupakan anggota Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL). Dari pemodelan studi Anda, butuh waktu berapa berapa lama sampah dari Indonesia bisa mencapai Afrika atau Madagaskar? Apakah ada bulan atau musim tertentu yang membuat sampah dari Indonesia cenderung bergerak ke Afrika?

Berdasarkan hasil penelitian kami, sampah dari Indonesia dapat berpindah ke Afrika bagian timur kurang dari 1 tahun. Pola arus yang cenderung bergerak ke arah yang sama, membuat arah sampah dari wilayah Indonesia akan "bergerak" ke arah Samudra Hindia.

Pada musim angin muson barat atau kita kenal saat musim hujan akan mempercepat pergerakan sampah tersebut. Namun demikian, jumlahnya ini relatif lebih sedikit dibandingkan sampah yang akan terdampar pada wilayah pesisir dengan jarak kurang dari 30 km.

Memang berdasarkan model kami, sampah tersebut dapat "berpindah" total dalam 5 tahun. Namun, penelitian kami belum memperhitungkan jumlah sampah yang akan tenggelam ke dasar perairan.

Riset pemodelan pergerakan sampah ini merepresentasikan sampah plastik dengan ukuran berat atau volume berapa? Kalau dicontohkan di kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, misalnya sampah plastik apa aja?

Penelitian kami menggambarkan 2-3% sampah plastik yang dihasilkan dari kegiatan masyarakat kita pada masing-masing wilayah. Angka tersebut didapatkan dari publikasi penelitian kolega kami (Dr. Tim van Emmerik) di Wageningen University.

Hal ini juga terjadi karena tidak 100% sampah plastik yang dibuang akan masuk ke perairan. Saat masuk perairan pun, akan terjerat pada akar tanaman, sempadan sungai atau infrastuktur seperti jembatan.

Penelitian ini masih kami lanjutkan karena masih belum banyak yang belum ada datanya. Untuk sampah plastik yang masuk ke dalam model kami, termasuk plastik sachet, kantong plastik, botol dan gelas plastik serta styrofoam.

Apakah ada perhitungan dari pemodelan, berapa persen sampah plastik dari Indonesia yang bergerak mencemari wilayah luar Indonesia dan berapa persen yang tetap mengambang di dalam wilayah Indonesia?

Secara umum, 10-20% sampah plastik akan berpindah ke Samudra Hindia, 10-20% ke pesisir luar wilayah Indonesia, dan sebagian besar 60-70% akan terjerat dan terdampar pada wilayah lokal. Hal ini terkonfirmasi dari penelitian kami yang lain, yang menggambarkan sampah plastik yang terdampar pada 18 pantai wilayah Indonesia di dominasi relatif masih baru. Sedangkan sisanya sudah lama dan ditandai dengan cukup banyaknya biota yang menempel pada sampah plastik tersebut.

Namun berdasarkan penelitian kami, dalam waktu 5 tahun, sampah yang terdampar akan dibawa keluar wilayah Indonesia oleh arus laut. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut dan lebih detil. Semoga penelitian kami dapat menggambarkan hal tersebut untuk membantu pengelolaan sampah di Indonesia yang lebih baik.

Terkait target nasional pengurangan sampah, apa ancaman/kekurangan yang bisa membuat Indonesia gagal mencapai target pengurangan sampah laut sebanyak 70% per tahun 2025 nanti?

Kerja sama seluruh pihak terkait baik pemangku kebijakan, industri, akademi dan masyarakat akan sangat berperan penting dalam hal ini. Secara kebijakan, belum ada regulasi teknis yang menggambarkan bagaimana rencana pengelolaan yang tepat, antara pihak regulator kebijakan lingkungan dan kebijakan industri termoplastik belum ada titik temu yang pas. Karena industri plastik cukup penting untuk ekonomi negara, tetapi di sisi lain pengelolaan lingkungan belum optimal.

Contohnya dari fasilitas pengolahan sampah belum merata tiap wilayah. Industri sendiri juga masih dalam proses redesign produknya, menyesuaikan regulasi PermenLHK 75/2019 yang baru efektif implementasinya tahun 2030. Lalu masyarakat, walau sekarng banyak yang sadar terkait lingkungan, namun belum 100% warga negara paham hal ini. Ini tantangan yang sangat berat, tetapi perlu kita perbaiki.

Apa potensi yang bisa membuat Indonesia sukses mencapai target pengelolaan sampah laut 70% per 2025?

Di atas kertas, kemungkinan penurunan kebocoran sampah 70% tahun 2025 dapat terjadi, karena saat ini 4 stakeholders bergerak, walau belum berkesinambungan. Dari sisi masyarakat, banyak NGO [LSM] yang bahu membahu untuk mengelola dan mengolah sampah yang bocor. Namun kebanyakan ini masih di wilayah kota besar, untuk kota kecil perlu lebih ditingkatkan dan dibantu oleh pemda.

Dari 514 kabupaten/kota atau semua kota di Indonesia, berapa banyak/persen yang sudah melaporkan hasil pengelolaan sampahnya dan berapa banyak/persen yang datanya sudah bagus?

Terkait data pengolahan daerah yang dilaporkan ke KLHK, dari 4 tahun terakhir masih kurang dari 50% kab/kota yang melaporkan. Namun dengan adanya edaran Menteri LHK terkait data SIPSN [Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional], angka ini meningkat.

Berdasarkan data yang kami dapatkan, dari 514 kab/kota, saat ini sudah ada 317 kab/kota yang melaporkan. Hal ini indikasi baik, namun tetap harus ditingkatkan untuk menunjang data dasar untuk pengelolaan sampah yang lebih baik.

Apa saja saran dari Anda agar target pengelolaan sampah laut 70% pada 2025 bisa tercapai, selain ekspansi industri daur ulang?

Yang bisa dilakukan adalah meningkatkan collection rate sampah dari sumber. Saat ini rata-rata nasional collection rate masih dibawa 50%. Wilayah kota metropolitan dan kota besar bisa diatas 70%.

Jika kita bisa meningkatkan sampai diatas 70% untuk semua kab/kota, sata percaya kebocoran sampah plastik ke laut akan drastis menurun. Namun, hal ini jadi tantangan baru, karena TPA di Indonesia akan penuh. Sehingga perlu peningkatkan kapasitas dan perbaikan sistem TPA Indonesia dari open dumping menjadi sanitary landfill. Sebenarnya ini sudah ada di UU 18/2008, tapi implementasinya masih belum terdengar gaungnya.

Ini juga perlu dukungan dari masyarakat, sudah seharusnya ada sistem pemilahan sampah dari sumber. Jika sistem ini masif dan dipaksa diberlakukan, seharusnya sampah plastik tidak hanya berkurang 70%, tetapi bisa sampai 90%.