Nationalgeographic.co.id—Kerap kali kendaraan listrik dipromosikan sebagai inovasi baru yang lebih ramah lingkungan, karena menghasilkan polusi yang lebih sedikit dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil.
Hanya saja, kendaraan listrik memiliki harga yang lebih mahal karena bahan baku dan proses pembuatannya. Kendala lainnya, kendaraan listrik memiliki kecepatan tertinggi yang lebih lambat, bahkan jika dibandingkan dengan kendaraan bertenaga gas.
Rendahnya kecepatan tinggi tersebut disebabkan kemampuan kendaraan listrik untuk menghemat konsumsi baterai. Semakin cepat melesat, baterai menjadi lebih boros dan harus cepat-cepat diisi ulang kembali di stasiun listrik terdekat.
Di Indonesia, agar menopang kebutuhan dan meningkatkan daya minat beli, pemerintah berinvestasi membangun infrastruktur yang menunjangnya dan mempromosikan kendaraan listrik.
Menurut laporan 18 April 2023 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) memiliki 842 unit yang tersebar di 488 lokasi. Pemerintah bahkan terus meningkatkan jumlah SPKLU dengan memberi izin lingkungan kepada pengusaha.
Pemerintah juga mempromosikan kendaraan listrik agar lebih banyak dipakai menggunakan berbagai keuntungan bagi penggunanya. Keuntungan tersebut antara lain seperti pengecualian pajak dan kebal ganjil genap di Jakarta.
Peningkatan daya beli kendaraan listrik ini bukan tanpa sebab. Pemerintah Indonesia meyakini, penggunaan kendaraan listrik pribadi dengan beralih dari konvensional membantu Indonesia mencapai target nol emisi karbon pada 2060.
Target ini merupakan komitmen Indonesia dalam Konferensi Penandatanganan (COP) 26 di Glasgow pada 2021. Pertemuan itu menyepakati untuk mengurangi pencemaran karbon di udara yang diimbangi usaha penyerapan karbon.
Penyetaraan daya serap dan daya penghasilan karbon atau disebut sebagai Emisi Nol Bersih harus dilakukan. Pasalnya, karbon adalah salah satu gas rumah kaca yang mendorong perubahan iklim.
Promosi kendaraan listrik lebih ramah lingkungan dengan sedikit polusi yang dihasilkan ini pula yang mendorong banyak orang berminat membeli. Survey pembeli kendaraan pribadi berbahan bakar listrik mayoritas berasal dari Jabodetabek dan kota-kota besar lainya seperti Medan, Semarang, dan Surabaya.
Kecelakaan pekerja pertambangan bahan baku
Kendaraan listrik lebih sering dikritik karena emisi yang dihasilkannya dalam proses produksi justru sangat besar. Kendaraan listrik memerlukan nikel, kobalt, tembaga, dan mangan.
Agar mendapatkan bahan baku tersebut, penambangan harus dilakukan di kawasan yang kaya mineral seperti di Pulau Obi, Maluku Utara dan Konawe, Sulawesi Tenggara. Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, mencapai produksi nikel sebesar 1,6 juta megaton. Angka ini naik 54 persen setiap tahunnya, dikutip dari Kitco.
Menurut laporan Kementerian ESDM sepanjang dari 2015-2021, tren kecelakaan pekerja pertambangan nikel cenderung menurun. Meski demikian, keselamatan pekerja nikel patut menjadi sorotan. Desember lalu, misalnya, smelter nikel di Morowali, Sulawesi Tengah meledak dan menewaskan 20 pekerja.
Ada pun, rencana berbahaya untuk mendapatkan bahan baku muncul dari pembahasan tahun lalu yang ditunda. Pembahasan itu berencana untuk menjadikan kawasan laut bebas bisa menjadi tempat penambangan nikel di dasar laut. Rencana ini mendapat kritik keras dari pemerhati lingkungan.
Supaya menopang mobil listrik, pasokan listrik di Indonesia harus bisa memenuhi kebutuhan. Sementara di Indonesia sendiri, sumber utama listrik berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), diikuti Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU), berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Dari sumber data yang sama dengan rentang 2017-2021, angka pasokan sumber daya listrik, terutama tenaga uap, semakin banyak.
Listrik tenaga uap sendiri bersumber dari batu bara, bahan bakar dari fosil tumbuhan yang umumnya berasal dari Zaman Karbon (340 juta tahun lalu). Energi ini diperoleh dengan proses penambangan, seperti bahan baku untuk membuat baterai mobil listrik.
Mengutip Our World in Data, angka kematian produksi listrik bersumber batu bara adalah yang terbesar dibandingkan sumber daya lain. 32.72 persen kematian berasal dari produksi lignit (brown coal), diikuti oleh batu bara (coal) sebesar 24,26 persen.
Dari data tersebut, sangat mungkin jika semakin banyaknya penggunaan kendaraan listrik berdampak pada masalah keselamatan pekerja sektor batu bara, terutama di Indonesia.
Belum lagi, dalam laporan Al Jazeera, permasalahan lainnya bagi pekerja tambang seperti batu bara dan nikel adalah upahnya yang rendah dan tidak sepadan dengan risikonya. Permasalahan kesejahteraan juga menjadi penyebab terjadinya kericuhan pekerja nikel pada Januari 2023.
Masalah pekerja bisa berimbas pada investasi
Muhammad Habib dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan di Al Jazeer bahwa Indonesia tidak bisa mengabaikan permasalahan sosial dan ketenagakerjaan di industri pertambangan. Pengabaian ini bisa berdampak negatif secara langsung untuk terhadap investasi asing yang diusahakan oleh pemerintah.
"Pembeli kini lebih sadar akan unsur sosial dan lingkungan dari produk yang mereka beli," ujarnya. "Hal ini mendorong dunia usaha untuk menginvesatasikan lebih banyak waktu dalam melakukan uji tuntas terhadap kondisi sosial dna lingkungan di negara mereka ingin berinvestasi...dan begitu pula pemerintahnya."
Permasalahan kendaraan listrik dari segi lingkungan dan produksi bahan baku merupakan hal yang rumit. Memang, ketika digunakan oleh konsumen, kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi karbon sebanyak kendaraan konvensional.
Akan tetapi, permasalahan produksi bahan bakar yang menopang kendaraan listrik, berimbas dengan masifnya pemakaian mobil listrik.
Ada berbagai macam sumber daya tenaga listrik yang mungkin bisa meminimalisasi kecelakaan kerja, alih-alih terus bergantung pada pertambangan batu bara yang berbahaya bagi pekerja. Sumber ini patut diperhitungkan demi komitmen Emisi Nol Bersih dan keselamatan kerja.