Nationalgeographic.co.id—Menuju semangat Bumi yang lebih bersih dari karbon, industri di seluruh dunia mulai bergerak untuk memanfaatkan energi terbarukan dan berkelanjutan. Namun, semua upaya inovasi ini masih memunculkan kekhawatiran terhadap isu lingkungan yang semakin parah di planet ini.
Mobil listrik menjadi sorotan belakangan ini, sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam data yang dirilis Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pada Mei 2023 mengungkapkan, volume penjualan kendaraan mobil listrik berbasis baterai mencapai 1.560 unit.
Angkanya meningkat, bahkan melonjak 680 persen, melansir KataData. Peningkatan ini berhubungan dengan insentif dari pemerintah berupa Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) bagi konsumen mobil listrik.
Sekilas, peningkatan penjualan mobil listrik bagaikan kabar baik dalam membatasi emisi iklim dari sektor transportasi. Namun, kendaraan listrik tetap memiliki dampak buruk terhadap lingkungan seperti yang selama ini dikhawatirkan sejumlah pihak.
Perhatian dampak buruk kendaraan listrik adalah bahan baku untuk pembuatan baterai, seperti logam-litium. Penambangan bahan baku baterai beroperasi di berbagai tempat, beberapa di antaranya sudah kekurangan pasokan.
Sementara, dengan meningkatnya penjualan dan ditambah subsidi biaya pembelian di sejumlah negara menambah permintaan mobil listrik. Peningkatan permintaan mobil listrik berpengaruh pula pada peningkatan bahan baku baterai. Belum lagi, beberapa perusahaan automotif mengincar pasar mobil listrik beberapa tahun mendatang.
Bahan baku yang sangat dicari untuk membuat baterai mobil listrik adalah kobalt dan nikel. Pada studi tahun 2019 oleh Institute for Sustainable Futures di University of Technology Sydney, permintaan bahan baku akan melebihi produksi dalam waktu kurang dari satu dekade.
Douglas McCauley, profesor dan direktur Benioff Ocean Initiative di University of California Santa Barbara, mengatakan bahwa sejauh ini penambangan bahan baku baterai mobil listrik masih terbatas di daratan.
Namun, peraturan internasional mulai memikirkan untuk memulai penambangan di dasar laut dalam di lepas pantai. Beberapa pihak memikirkan dampaknya pada kelangsungan ekosistem dan kehidupan masyarakat pesisir dengan adanya penambangan laut dalam.
"Ada keselarasan antara kebutuhan untuk bergerak secepat mungkin dengan infrastruktur rendah karbon untuk mengatasi perubahan iklim dan elektrifikasi akan berperan besar dalam hal itu," terang McCauley, dalam The Revelator. "Tetapi gagasan bahwa kita perlu menambang lautan untuk melakukan hal tersebut, menurut saya adalah dikotomi yang salah."
“Perubahan iklim adalah tantangan kita yang terbesar dan paling mendesak, namun ada beberapa jalur berbahaya yang harus diwaspadai saat kita membangun infrastruktur yang membawa kita ke paradigma baru rendah karbon,” tambahnya.
Perencanaan untuk menambang bahan baku baterai mobil listrik di laut disebabkan persaingan penguasaan bahan-bahan baku. Persaingan ini punya hubungan dari geopolitik yang ada saat ini.
Umumnya, bahan baku yang digunakan selama ini berasal dari tambang di mana hutan tropis tumbuh seperti Republik Republik Demokratik Kongo dan Indonesia. Negara industri besar seperti Tiongkok mulai menguasai bahan baku di negara-negara tersebut. Sementara pasokan besar lainnya ada di Australia, Cili, dan Argentina.
Penambangan bawah laut akan dilakukan di laut lepas yang bebas dari yurisdiksi negara mana pun, dan dikelola oleh badan anter pemerintah Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA). Dalam laporan The Revelator, kelompok ini telah menyetujui penambangan yang mencakup lebih dari satu juta kilometer persegi.
Mengutip dari Mining Technology, para pendukung penambangan dasar laut berpendapat, pengambilan logam transisi dari bintil polimetalik di dasar laut diperlukan untuk transisi energi. Dasar laut sekitar 3.500-5.000 meter di bawah permukaan laut sangat kaya akan tembaga, mangan, nikel sulfat, dan koblat sulfat.
Terkait penambangan dasar laut sempat hendak dibahas dalam pertemuan ISA di Kingston, Jamaika pada 10 Juli-28 Juli 2023. Namun, pro-kontra terkait isu ini membuat pertemuan tersebut ditunda hingga Juli 2024.
Merusak keanekaragaman hayati bawah laut
McCauley mengungkapkan bahwa kedalaman laut di laut lepas bisa mengancam keanekaragaman hayati. Ada banyak spesies yang rentan, terutama saat munculnya aktivitas penambangan bawah laut. Semua spesies di laut dalam ini punya peran dalam menjaga ekosistem laut.
“Ruang di laut lepas ini, yang meliputi pegunungan bawah laut, memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi dan penuh dengan spesies yang sangat unik,” terangnya.
Sebagian besar penambangan dasar laut memerlukan mesin besar untuk mengambil material bawah laut, mengangkat ke permukaan, dan membuang sedimen yang tidak diperlukan. Sebuah studi tahun 2017 di jurnal Nature Geoscience telah mempertimbangkan bencana ekologis, terutama bagi makhluk hidup di dasar laut.
“Mereka secara efektif harus menggali dan menggiling dasar laut untuk mendapatkan mineralnya,” tutur Douglas McCauley, di Live Science. “Jadi apapun yang hidup di habitat itu akan musnah.” Termasuk hewan yang menempel dan hidup pada bintil itu sendiri, seperti spons laut dan karang hitam.
“Ini (dasar laut) adalah tempat yang istimewa secara biologis dan fisik,” terang McCauley. “Ini pada dasarnya adalah bagian dari planet tempat kehidupan bergerak lebih lambat dan dengan cara yang tidak kita lihat di tempat lain.”
Spesies yang tinggal di kedalaman laut lepas cenderung memiliki umur panjang. Umur panjang ini seiring dengan proses reproduksinya yang membutuhkan waktu lama, dan tingkat kesuburan berkembang biak yang rendah. Artinya, kehidupan di bawah laut berjalan lebih lambat untuk pulih, dan akan terancam keberadaannya dengan penambangan.
Dampak negatif pada penambangan dapat terjadi sejak awal pembangunan penambangan. Mesin besar yang akan menggali dasar laut lepas akan menyebabkan polusi suara yang bisa tersebar ratusan mil, menurut studi tahun 2022 di Science.
Kebisingan ini akan mengganggu kemampuan hewan bawah laut, seperti paus dan lumba-lumba, untuk navigasi, mencari mangsa, dan mencari pasangan. Dengan terganggunya makhluk hidup di bawah laut pada proses awal, akan punya dampak besar dalam keberlangsungan dari segi spesies hingga ekosistem.
Imbas penambangan dasar laut, pada akhirnya bermuara pada manusia. Penambangan dasar laut mengakibatkan hilanganya produksi primer dalam sektor perikanan global, menurut laporan Worldwide Fund for Nature (WWF).
WWF menulis, dampak perusakannya adalah "perikanan global, mengancam sumber protein utama bagi sekitar satu miliar orang dan penghiudpan sekitar 200 juta orang, yang sebagian besar berada di masyarakat miskin pesisir."
"Penambangan akan berdampak buruk pada ekosistem laut dalam dan keanekaragaman hayati, yang dapat berdampak langsung pada perikanan, mata pencaharian, dan ketahanan pangan serta membahayakan siklus karbon, logam, dan nutrisi laut," lanjut WWF.
"Hal ini juga bertentangan dengan transisi menuju ekonomi sirkular, sehingga melemahkan upaya untuk meningkatkan daur ulang dan mengurangi penggunaan sumber daya yang terbatas."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Source | : | Live Science,The Revelator,Mongabay.com,katadata.co.id |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR