Di sini, Aristoteles merancang kurikulum yang melampaui mata pelajaran tradisional pada masa itu. Meskipun pelajarannya mencakup retorika, politik, dan seni, mereka juga mendalami etika, ilmu pengetahuan alam, dan filsafat.
Pendekatan Aristoteles bersifat holistik, bertujuan untuk mengembangkan tidak hanya kecerdasan tetapi juga karakter murid kerajaannya.
Pendidikan Alexander di bawah Aristoteles tidak terbatas pada ruang kelas. Sang filsuf memanfaatkan alam sekitar, mengajak Alexander berjalan-jalan di taman dan mengajaknya berdiskusi tentang alam.
Penjelajahan ini memupuk rasa ingin tahu dan keingintahuan dalam diri Alexander, kualitas yang akan berguna baginya dalam penaklukannya di kemudian hari.
Ajaran Aristoteles tidaklah abstrak. Mereka didasarkan pada observasi dan pengalaman, mendorong Alexander untuk berpikir kritis dan analitis.
Hubungan antara Aristoteles dan Alexander lebih dari sekedar hubungan guru dan murid. Aristoteles menemukan Alexander memiliki pikiran yang reseptif dan ingin tahu, bersemangat untuk menyelidiki subjek yang kompleks dan menantang ide-ide yang ada.
Alexander, pada gilirannya, menemukan dalam diri Aristoteles seorang mentor yang dapat membimbingnya melalui seluk-beluk pemerintahan, etika dan kepemimpinan.
Bagaimana Pelajaran-pelajaran ini Membentuk Penaklukan Alexander?
Kematian Raja Philip II pada tahun 336 SM menandai titik balik yang tiba-tiba dan dramatis dalam kehidupan Alexander.
Ketika ia mulai berkuasa pada usia 20 tahun, ia dihadapkan pada tantangan-tantangan langsung, termasuk perbedaan pendapat di kalangan istana Makedonia dan kerusuhan di antara negara-negara yang menjadi subyeknya.
Tanggapannya cepat dan tegas; ia mengkonsolidasikan kekuasaannya, memadamkan pemberontakan, dan menegaskan otoritasnya sebagai raja baru Makedonia.
Pelajaran yang telah ia pelajari di bawah bimbingan Aristoteles dalam catatan sejarah Yunani kuno, termasuk kecerdasan politik dan kepemimpinan etis, diuji saat ia menghadapi tantangan-tantangan awal ini.