Setelah posisinya di Makedonia terjamin, Alexander mengalihkan pandangannya ke arah timur, memulai kampanye yang kemudian menjadi salah satu upaya militer paling luar biasa dalam sejarah.
Penaklukannya atas Kekaisaran Persia dimulai dengan sungguh-sungguh pada tahun 334 SM, dan sejak awal, sudah jelas bahwa Alexander bukan hanya seorang raja pejuang namun juga seorang pemimpin yang strategis dan visioner.
Kemenangannya dalam pertempuran Granicus, Issus, dan Gaugamela tidak hanya menunjukkan kehebatan militernya tetapi juga kemampuannya beradaptasi, berinovasi, dan menginspirasi pasukannya.
Penaklukan Alexander tidak semata-mata didorong oleh rasa haus akan kekuasaan dan kejayaan.
Dia adalah produk tradisi Helenistik, yang diilhami oleh rasa misi budaya dan keinginan untuk menyebarkan gagasan dan nilai-nilai Yunani.
Saat ia menjelajahi Asia Kecil, Mesir, dan Persia, ia secara aktif mempromosikan perpaduan budaya Yunani dan lokal, sebuah kebijakan yang dikenal sebagai Helenisasi.
Dia mendirikan kota-kota, sering kali menamainya dengan namanya sendiri, dan mendorong perkawinan campur antara tentaranya dan penduduk setempat.
Pendekatannya bersifat pragmatis dan idealis, mencerminkan pemahaman yang berbeda-beda tentang tata kelola dan dinamika budaya.
Pada saat kematiannya pada tahun 323 SM, ia telah membangun sebuah kerajaan yang membentang dari Yunani hingga India modern.
Namun, pemerintahannya bukannya tanpa kontroversi dan perselisihan internal. Tuntutan kampanye, ketegangan dalam pasukannya, dan kerumitan dalam memerintah kerajaan yang luas dan beragam berdampak buruk pada Alexander.
Gaya kepemimpinannya berkembang, menjadi lebih otokratis, dan keputusan-keputusannya, terutama di akhir masa pemerintahannya. Alexander mendapat perlawanan dan kritik.
Apa yang Terjadi dengan Aristoteles?