Nationalgeographic.co.id–Dalam catatan sejarah Yunani kuno, Aristoteles pernah mengajar Alexander Agung yang masih muda.
Kisah ini berawal dari Raja Philip II, penguasa yang cerdas dan ambisius, menyadari pentingnya membentuk putranya, Alexander Agung menjadi pemimpin yang cakap.
Dia mengatur agar Alexander dibimbing oleh beberapa pemikir terbaik pada masa itu, yang berpuncak pada penunjukan Aristoteles sebagai guru pribadinya.
Aristoteles dipanggil ke istana Makedonia oleh Raja Philip II untuk mengajari putranya, Alexander pada tahun 343 SM.
Kerajaan Makedonia merupakan kekuatan yang sedang berkembang pada masa muda Alexander dan keterlibatan Aristoteles di istana.
Di bawah pemerintahan Raja Philip II, ayah Alexander, Makedonia bertransformasi dari wilayah yang terfragmentasi dan bergejolak menjadi kerajaan yang bersatu dan tangguh.
Transformasi ini bukan hanya bersifat militer dan politik; namun juga bersifat budaya, mencerminkan aspirasi yang lebih luas untuk menyelaraskan Makedonia dengan pencapaian intelektual dan artistik dunia Yunani.
Istana Makedonia merupakan tempat meleburnya berbagai pengaruh, yang mencerminkan lokasi strategis kerajaan tersebut di persimpangan berbagai budaya.
Kehadiran Aristoteles dan intelektual lainnya di istana bukanlah suatu anomali.
Hal ini merupakan bagian dari upaya yang disengaja untuk menumbuhkan elit yang canggih dan kosmopolitan, yang mampu membawa Makedonia menuju era baru yang penuh pengaruh dan kemakmuran.
Apa yang Aristoteles Ajarkan kepada Alexander?
Aristoteles mendirikan ruang pengajarannya di Kuil Nimfa di Mieza, sebuah tempat tenang yang kondusif untuk kontemplasi dan pembelajaran.
Di sini, Aristoteles merancang kurikulum yang melampaui mata pelajaran tradisional pada masa itu. Meskipun pelajarannya mencakup retorika, politik, dan seni, mereka juga mendalami etika, ilmu pengetahuan alam, dan filsafat.
Pendekatan Aristoteles bersifat holistik, bertujuan untuk mengembangkan tidak hanya kecerdasan tetapi juga karakter murid kerajaannya.
Pendidikan Alexander di bawah Aristoteles tidak terbatas pada ruang kelas. Sang filsuf memanfaatkan alam sekitar, mengajak Alexander berjalan-jalan di taman dan mengajaknya berdiskusi tentang alam.
Penjelajahan ini memupuk rasa ingin tahu dan keingintahuan dalam diri Alexander, kualitas yang akan berguna baginya dalam penaklukannya di kemudian hari.
Ajaran Aristoteles tidaklah abstrak. Mereka didasarkan pada observasi dan pengalaman, mendorong Alexander untuk berpikir kritis dan analitis.
Hubungan antara Aristoteles dan Alexander lebih dari sekedar hubungan guru dan murid. Aristoteles menemukan Alexander memiliki pikiran yang reseptif dan ingin tahu, bersemangat untuk menyelidiki subjek yang kompleks dan menantang ide-ide yang ada.
Alexander, pada gilirannya, menemukan dalam diri Aristoteles seorang mentor yang dapat membimbingnya melalui seluk-beluk pemerintahan, etika dan kepemimpinan.
Bagaimana Pelajaran-pelajaran ini Membentuk Penaklukan Alexander?
Kematian Raja Philip II pada tahun 336 SM menandai titik balik yang tiba-tiba dan dramatis dalam kehidupan Alexander.
Ketika ia mulai berkuasa pada usia 20 tahun, ia dihadapkan pada tantangan-tantangan langsung, termasuk perbedaan pendapat di kalangan istana Makedonia dan kerusuhan di antara negara-negara yang menjadi subyeknya.
Tanggapannya cepat dan tegas; ia mengkonsolidasikan kekuasaannya, memadamkan pemberontakan, dan menegaskan otoritasnya sebagai raja baru Makedonia.
Pelajaran yang telah ia pelajari di bawah bimbingan Aristoteles dalam catatan sejarah Yunani kuno, termasuk kecerdasan politik dan kepemimpinan etis, diuji saat ia menghadapi tantangan-tantangan awal ini.
Setelah posisinya di Makedonia terjamin, Alexander mengalihkan pandangannya ke arah timur, memulai kampanye yang kemudian menjadi salah satu upaya militer paling luar biasa dalam sejarah.
Penaklukannya atas Kekaisaran Persia dimulai dengan sungguh-sungguh pada tahun 334 SM, dan sejak awal, sudah jelas bahwa Alexander bukan hanya seorang raja pejuang namun juga seorang pemimpin yang strategis dan visioner.
Kemenangannya dalam pertempuran Granicus, Issus, dan Gaugamela tidak hanya menunjukkan kehebatan militernya tetapi juga kemampuannya beradaptasi, berinovasi, dan menginspirasi pasukannya.
Penaklukan Alexander tidak semata-mata didorong oleh rasa haus akan kekuasaan dan kejayaan.
Dia adalah produk tradisi Helenistik, yang diilhami oleh rasa misi budaya dan keinginan untuk menyebarkan gagasan dan nilai-nilai Yunani.
Saat ia menjelajahi Asia Kecil, Mesir, dan Persia, ia secara aktif mempromosikan perpaduan budaya Yunani dan lokal, sebuah kebijakan yang dikenal sebagai Helenisasi.
Dia mendirikan kota-kota, sering kali menamainya dengan namanya sendiri, dan mendorong perkawinan campur antara tentaranya dan penduduk setempat.
Pendekatannya bersifat pragmatis dan idealis, mencerminkan pemahaman yang berbeda-beda tentang tata kelola dan dinamika budaya.
Pada saat kematiannya pada tahun 323 SM, ia telah membangun sebuah kerajaan yang membentang dari Yunani hingga India modern.
Namun, pemerintahannya bukannya tanpa kontroversi dan perselisihan internal. Tuntutan kampanye, ketegangan dalam pasukannya, dan kerumitan dalam memerintah kerajaan yang luas dan beragam berdampak buruk pada Alexander.
Gaya kepemimpinannya berkembang, menjadi lebih otokratis, dan keputusan-keputusannya, terutama di akhir masa pemerintahannya. Alexander mendapat perlawanan dan kritik.
Apa yang Terjadi dengan Aristoteles?
Masa Aristoteles di Makedonia, khususnya perannya sebagai pengajar Alexander, merupakan babak penting dalam hidupnya, namun itu sama sekali bukan puncak dari perjalanan intelektualnya.
Setelah meninggalkan istana Makedonia, Aristoteles kembali ke Athena. Dia mendirikan sekolahnya sendiri, Lyceum, pada tahun 335 SM.
Hal ini menandai fase baru dalam kariernya, yang ditandai dengan penelitian, penulisan, dan pengajaran yang ekstensif.
Lyceum menjadi pusat penyelidikan intelektual dan aktivitas ilmiah. Tidak seperti Akademi Plato, yang berfokus terutama pada filsafat, Lyceum Aristoteles menganut kurikulum yang lebih luas, mencakup ilmu alam, etika, politik dan banyak lagi.
Pendekatan Aristoteles bersifat empiris dan observasional, mencerminkan keyakinannya akan pentingnya bukti dan pengalaman dalam mengejar pengetahuan.
Dia melakukan penelitian, mengumpulkan data, dan terlibat dalam analisis sistematis, meletakkan dasar bagi metode ilmiah.
Hubungan antara Aristoteles dan Alexander dalam catatan sejarah Yunani kuno, yang tadinya dekat dan kolaboratif, menjadi tegang pada akhir masa pemerintahan Alexander.
Dinamika politik di Athena dan dunia Helenistik yang lebih luas sangatlah kompleks, dan Aristoteles mendapati dirinya terjebak dalam persilangan kekuasaan dan ideologi.
Kematian Alexander pada tahun 323 SM semakin membuat wilayah tersebut tidak stabil.
Aristoteles menghadapi tuduhan ketidaksopanan, yang menyebabkan dia melarikan diri dari Athena untuk menghindari nasib serupa dengan Socrates. Dia meninggal setahun kemudian di Euboea.
Warisan hubungan antara Alexander dan Aristoteles melampaui pencapaian individu mereka. Hal ini melambangkan potensi sinergi antara pemikiran dan tindakan, teori dan praktik, kecerdasan dan ambisi.
Dalam konteks sejarah Yunani yang lebih luas, hubungan antara Alexander dan Aristoteles berkontribusi pada penyebaran budaya Helenistik dan perpaduan tradisi Timur dan Barat.
Dasar bagi munculnya peradaban kosmopolitan yang akan mempengaruhi seni, sastra, ilmu pengetahuan, dan filsafat selama berabad-abad yang akan datang.