Penyesuaian bahasa Jawa dengan huruf Arab ini melahirkan huruf Pegon. Sejarawan memperkirakan penyesuaian ini dipengaruhi oleh orang Persia, karena memiliki huruf Arab yang serupa di Iran. Contohnya seperti adanya huruf dengan tiga titik dalam bahasa Arab yang sangat berbeda dengan huruf Arab di negeri-negeri Arab sendiri.
Lambat laun, kebahasaan ini masuk ke kawasan pedalaman penutur bahasa Jawa Kuno. Wedhawati dkk menerangkan, para pujangga keraton era Kerajaan Mataram Islam mulai menggunakan bahasa ini dalam kesusastraan karena penggunaannya pada masyarakat Mataram.
Benedict Anderson dalam buku Language and Power (1991) berpendapat, pembagian Ngoko, Krama Madya, dan Krama Inggil berhubungan dengan kebangkitan Mataram pada abad ke-17. Perkembangan kebahasaan ini berlanjut pada periode VOC dan kolonialisme Belanda.
Anderson berpendapat, menjelang kerajaan-kerajaan di Jawa mengalami kemunduran, posisinya menjadi "wayang hidup" bagi pemerintah kolonial. Hal ini pun dijelaskan oleh sejarawan Peter Carey mengenai Pax Nederlandica dalam tulisan sebelumnya, ketika raja-raja Jawa tidak punya lagi kekuatan politik, namun "patuh" pada perpolitikan kolonialisme yang menindas.
Namun, demi mempertahankan kekuasaannya di hadapan masyarakat, elite keraton Mataram mendorong mistisisme lewat berbagai kesusastraan terkait posisi raja dan para bangsawan dalam raja. Mistisisme ini mendorong pembagian kelas antara elite dan masyarakat.
Secara karakteristik bahasa, kata dalam Krama Madya dan Krama Inggil meminjam pelbagai istilah dari bahasa Sanskerta.
Perlu diingat, dalam konteks menciptakan mistisisme ini, bahasa keagamaan yang kuat, seperti pengaruh Hindu-Buddha, masih diperlukan. Faktor ini kemudian mendorong adanya Krama Madya dan Krama Inggil.
Sementara, kata dalam Ngoko menggunakan bahasa Jawa Kuno atau yang sudah ada dan dikenal oleh masyarakat. Bagi Anderson, stratifikasi dalam bahasa Jawa merupakan "Zaman Kegelapan" bagi kebudayaan Jawa.
Kebangkitan kesusastraan mulai terjadi pada abad ke-18, namun bahasa Jawa Kuno yang awalnya dipakai Keraton (baik di Yogyakarta maupun Surakarta) telah terlepas. Istilah bahasa Jawa Kuno masih tersisa dalam bahasa Jawa Ngoko yang dipakai secara umum.
Hari ini, bahasa Jawa Krama Madya dan Krama Inggil sangat lekat oleh masyarakat pedesaan Jawa. Tidak sedikit, banyak kalangan masyarakat Jawa sendiri tidak bisa menguasai bahasa Jawa Krama Madya atau Krama Inggil, dan hanya menguasai bahasa Jawa Ngoko saja.
Baca Juga: Dominasi Bahasa Indonesia di Wilayah Perbatasan Indonesia-Timor Leste