Kenapa Bahasa Jawa Bisa Terbagi Ngoko, Krama Madya, dan Krama Inggil?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 7 Mei 2024 | 16:03 WIB
Naskah kuno dengan aksara Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno tidak mengenal stratifikasi Krama dan Ngoko seperti Bahasa Jawa modern. Apa yang menyebabkannya ada? (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Ada yang bilang, sejatinya orang yang bisa menguasai bahasa Jawa secara keseluruhan bisa menguasai tiga bahasa, yakni Jawa Halus (krama Inggil), Krama atau Madya, dan Ngoko.

Dari "tiga bahasa" itu, bahasa Jawa memiliki berbagai kata untuk merujuk satu makna. Misal, bahasa Jawa Ngoko "saya" adalah "aku", menjadi "kula" dalam bahasa Jawa Krama, dan "dalem" pada bahasa Jawa Krama Inggil.

Kata akhiran kepemilikan orang ketiga "-nya" dalam bahasa Jawa Ngoko adalah "-e" atau "-ne" yang berubah menjadi "-pun" atau "-nipun" baik pada Jawa Krama maupun Krama Inggil.

Perbedaan bahasa ini berdasarkan penggunaan. Bahasa Jawa Ngoko merupakan bahasa keseharian atau percakapan dua orang atau lebih yang sepantaran. Bahasa Jawa Krama digunakan untuk percakapan yang digunakan orang yang lebih muda terhadap yang lebih tua, seperti anak kepada orang tua atau ingin memberi kesan sopan-santun.

Kemudian, bahasa Jawa Krama Inggil digunakan untuk percakapan terhadap orang yang sangat dihormati seperti penguasa atau raja.

Dalam sejarah linguistik, sebenarnya bahasa Jawa berasal dari bahasa Jawa Kuno (Jawa kuna). Bahasa Jawa Kuno tidak mengenal stratifikasi atau pembagian tingkat seperti bahasa Jawa Baru. Bahasa Jawa Kuno diperkirakan muncul sekitar abad kesembilan yang ditandai dengan kemunculan ragam kesusastraan Jawa Kawi.

Bahasa Jawa Kuno sendiri berasal dari rumpun Austronesia melalui sub-rumpun Melayu-Polinesia. Kemunculan bahasa Jawa Kawi dipengaruhi dengan bahasa Sanskerta. Itu sebabnya, kesusastraan yang berkembang juga bercerita tentang legenda-legenda India yang diadaptasi dalam versi Jawa, seperti Arjunawiwaha, dan Bharatayuda dari Mahabharata.

Antara abad ke-13 dan ke-15, bahasa Jawa Pertengahan berkembang. Kala itu, para sastrawan dan budayawan Jawa mengembangkan kesenian lokal, termasuk legenda lokal dalam serat atau suluk seperti Sritanjung, Panji Gumirang. Bahasa yang digunakan pun menjadi lebih sederhana.

Bahasa Jawa Baru

Wedhawati dkk. dalam buku Tata Bahasa Jawa Mutakhir mengungkapkan bahwa pembagian strata bahasa ini terjadi dipengaruhi politik di tanah Jawa semasa Kerajaan Mataram Islam sekitar abad ke-16 atau ke-17. Dengan demikian, stratifikasi ini tidak dikenal dalam bahasa Jawa kuno.

Pada kalangan masyarakat, bahasa Jawa Baru tumbuh dengan datangnya pengaruh Islam. Pengaruh kebahasaan ini bermula dari kawasan pesisir yang mengadopsi huruf Arab.  Kesenian Islam yang masuk di Jawa pun merupakan terjemahan dari bahasa Melayu.

Baca Juga: Apa Benar Homo erectus Punya Bahasa dan Berlayar Menyeberangi Lautan?

Penyesuaian bahasa Jawa dengan huruf Arab ini melahirkan huruf Pegon. Sejarawan memperkirakan penyesuaian ini dipengaruhi oleh orang Persia, karena memiliki huruf Arab yang serupa di Iran. Contohnya seperti adanya huruf dengan tiga titik dalam bahasa Arab yang sangat berbeda dengan huruf Arab di negeri-negeri Arab sendiri.

Lambat laun, kebahasaan ini masuk ke kawasan pedalaman penutur bahasa Jawa Kuno. Wedhawati dkk menerangkan, para pujangga keraton era Kerajaan Mataram Islam mulai menggunakan bahasa ini dalam kesusastraan karena penggunaannya pada masyarakat Mataram.

Benedict Anderson dalam buku Language and Power (1991) berpendapat, pembagian Ngoko, Krama Madya, dan Krama Inggil berhubungan dengan kebangkitan Mataram pada abad ke-17. Perkembangan kebahasaan ini berlanjut pada periode VOC dan kolonialisme Belanda.

Anderson berpendapat, menjelang kerajaan-kerajaan di Jawa mengalami kemunduran, posisinya menjadi "wayang hidup" bagi pemerintah kolonial. Hal ini pun dijelaskan oleh sejarawan Peter Carey mengenai Pax Nederlandica dalam tulisan sebelumnya, ketika raja-raja Jawa tidak punya lagi kekuatan politik, namun "patuh" pada perpolitikan kolonialisme yang menindas.

Namun, demi mempertahankan kekuasaannya di hadapan masyarakat, elite keraton Mataram mendorong mistisisme lewat berbagai kesusastraan terkait posisi raja dan para bangsawan dalam raja. Mistisisme ini mendorong pembagian kelas antara elite dan masyarakat.

Masyarakat Samin atau biasa Sedulur Sikep saling berinteraksi di acara Temu Ageng Sedulur Sikep 2019 di Sambongrejo, Blora. Mereka adalah kalangan adat yang enggan menuturkan bahasa Jawa Krama, dan lebih memilih jenis Ngoko untuk keseharian. (Taufiqur Riza Subthy)

Secara karakteristik bahasa, kata dalam Krama Madya dan Krama Inggil meminjam pelbagai istilah dari bahasa Sanskerta.

Perlu diingat, dalam konteks menciptakan mistisisme ini, bahasa keagamaan yang kuat, seperti pengaruh Hindu-Buddha, masih diperlukan. Faktor ini kemudian mendorong adanya Krama Madya dan Krama Inggil.

Sementara, kata dalam Ngoko menggunakan bahasa Jawa Kuno atau yang sudah ada dan dikenal oleh masyarakat. Bagi Anderson, stratifikasi dalam bahasa Jawa merupakan "Zaman Kegelapan" bagi kebudayaan Jawa.

Kebangkitan kesusastraan mulai terjadi pada abad ke-18, namun bahasa Jawa Kuno yang awalnya dipakai Keraton (baik di Yogyakarta maupun Surakarta) telah terlepas. Istilah bahasa Jawa Kuno masih tersisa dalam bahasa Jawa Ngoko yang dipakai secara umum.

Hari ini, bahasa Jawa Krama Madya dan Krama Inggil sangat lekat oleh masyarakat pedesaan Jawa. Tidak sedikit, banyak kalangan masyarakat Jawa sendiri tidak bisa menguasai bahasa Jawa Krama Madya atau Krama Inggil, dan hanya menguasai bahasa Jawa Ngoko saja.

Baca Juga: Dominasi Bahasa Indonesia di Wilayah Perbatasan Indonesia-Timor Leste

Masa Depan Bahasa Jawa

Seiring perkembangan zaman, demikian pula bahasa. Bahasa Jawa sendiri telah mengalami perkembangan berkat konteks kebudayaan dan politik.

Ada pun pada konteks politik seperti yang dilakukan oleh masyarakat Sedulur Sikep (Samin) di Jawa Tengah. Kalangan masyarakat adat ini punya sejarah pertentangan politik pada periode kolonialisme. Sampai hari ini, mereka hanya menggunakan bahasa Jawa Ngoko untuk keseharian, tanpa harus mengenal stratifikasi bahasa.

Anderson mengumpulkan ragam tokoh abad ke-20 yang memengaruhi kebudayaan Jawa seperti Ranggawarsita, Pramoedya Ananta Toer, dan H.O.S Cokroaminoto. Kebanyakan dari mereka mengkritik bagaimana stratifikasi bahasa Jawa menjauhkan kalangan ningrat dari permasalahan sosial.

Bahkan, H.O.S Cokroaminoto sendiri merupakan salah satu penggerak untuk menghapuskan bahasa Jawa Krama.

Sementara itu, sejak pertengahan abad ke-19, bahasa Melayu semakin marak dituturkan. Sampai akhirnya pada abad ke-20 awal, bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia yang meluas, ketimbang bahasa Jawa.

Bahasa Jawa pun mengalami perubahan kata berdasarkan situasi dan lokasi. Kala era Perang Kemerdekaan, masyarakat penutur bahasa Jawa menggunakan bahasa Jawa "Walikan", yakni membalikkan kata agar menyulitkan pengintaian Belanda.

Bahasa Jawa "Walikan" ini sekilas seperti bahasa baru, walau sebenarnya berasal dari Bahasa Jawa Ngoko yang dibalik urutan dalam alfabet Jawa (Hanacaraka), seperti "Mas" menjadi "Dab". Penggunaannya pun masih lestari hingga hari ini.

Perubahan Bahasa Jawa di masa depan adalah hal yang sangat mungkin. Namun seperti apakah bahasa Jawa kelak? Akankah stratifikasi Krama Madya dan Krama Inggil dihapuskan? Atau diksinya berubah seperti "Walikan" atau mengadaptasi bahasa Melayu? Masyarakat penutur bahasa Jawa hari ini yang menentukan.