Nationalgeographic.co.id—"Seekor kera, terkurung, terpenjara dalam gua. Di gunung tinggi, sunyi tempat hukuman para dewa." Lirik pembuka dari lagu tema film "Kera Sakti" ini menggugah kenangan tentang petualangan epik Biksu Tong Sam Cong bersama murid-muridnya.
Sementara itu, sebagian pemirsa bertanya-tanya, apakah Biksu Tong Sam Cong adalah sekadar produk imajinasi atau tokoh nyata yang jejak langkahnya tertinggal dalam sejarah?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya jika kita kembali membuka karya sastra klasik Dinasti Ming, “Xi You Ji” (Perjalanan ke Barat). Novel ini telah menjadi rujukan berbagai karya populer bertemakan petualangan biksu Tong Sam Cong bersama sang raja kera.
Meskipun telah dibumbui oleh elemen-elemen fantastis, novel ini didasarkan pada kisah nyata seorang biksu Tiongkok yang terkenal, Xuanzang (602-664). Dia adalah sosok di balik tokoh Tong Sam Cong, yang selalu mengingatkan kita tentang kebijaksanaan ketika menontonnya.
Perjalanan Xuanzang Mempelajari Kitab Suci Buddha
Selama hidupnya, Xuanzang atau dikenal juga dengan Tang Sanzang, telah menerjemahkan banyak sekali kitab suci Buddha dan memiliki posisi penting dalam sejarah penting dalam agama Buddha.
Pada usia dua belas, ia memasuki biara dan tenggelam dalam studi kitab-kitab suci Buddha. Namun, seiring waktu, ketidakpuasan mulai tumbuh dalam dirinya.
Meskipun telah menguasai banyak doktrin dan prinsip-prinsip Buddhis, Xuanzang merasa ada yang kurang. Berbagai terjemahan yang ia pelajari sering kali bertentangan satu sama lain, menciptakan kebingungan yang mendalam dalam pemahaman spiritualnya.
Hal tersebutlah yang kemudian melatarbelakangi perjalanannya ke banyak tempat untuk belajar dari biksu-biksu lainnya.
Di usia 21 tahun, Xuanzang membuat keputusan yang berani. Ia memutuskan untuk meninggalkan kenyamanan biara dan melakukan perjalanan ke India, tanah asal ajaran Buddha, untuk mencari kebenaran dari sumbernya.
Baca Juga: Siapakah Sebenarnya Buddha? Sang Pencerah dari Ajaran Kehidupan
Namun, rencana perjalanannya harus menghadapi kebijakan kaisar yang melarang perjalanan ke luar wilayah Kekaisaran Tiongkok.
Dikutip dari laman Asia Society, Xuanzang merupakan orang yang menghormati otoritas. Hal ini membuatnya bergumul dengan keputusan apakah dia akan melakukan perjalanan atau tidak.
“Xuanzang, seorang pria yang brilian dan taat, pada akhirnya percaya bahwa pergi ke India adalah satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu umat Buddha Tiongkok.”
Hal serupa juga disampaikan oleh Tansen Sen, penulis “The Travel Records of Chinese Pilgrims Faxian, Xuanzang, and Yijing”.
“Xuanzang berangkat dalam perjalanannya ke India tanpa otorisasi resmi dari istana Tang. Kepergiannya yang ilegal dari Tiongkok mungkin merupakan salah satu alasan mengapa Xuanzang dengan sengaja mencari audiensi dengan penguasa asing penting di Asia Tengah dan Selatan,” kata Tansen.
Dia memulai perjalanan epiknya dari Chang'an, menelusuri jalur yang sekarang dikenal sebagai Jalur Sutra. Melalui wilayah otonomi Xinjiang dan Asia Tengah, Xuanzang menghadapi berbagai rintangan.
Gurun Taklamakan yang luas dan berbahaya terbentang di hadapannya, dengan pasir yang panas dan angin yang kejam. Setiap langkah di gurun itu adalah ujian.
Tetapi Xuanzang tidak gentar. Dengan tekad yang kuat dan keyakinan dalam misinya, ia terus maju, menantang kerasnya alam dan cobaan yang dihadapinya.
Setelah bertaruh nyawa melewati gurun, Xuanzang dihadapkan pada tantangan berikutnya: Pegunungan Tian Shan yang tinggi dan terjal.
Udara dingin dan tipis, jalan yang berbatu, membuat setiap langkah semakin berat. Namun keindahan alam seolah mengingatkan Xuanzang pada besarnya tujuan yang ia kejar.
Sepanjang Jalur Sutra, Xuanzang harus menghadapi para pemimpin daerah yang kuat dan terkadang ingin menangkapnya. Namun, Kecerdasan dan dedikasinya yang tulus terhadap ajaran Buddha meyakinkan para pemimpin ini untuk membantunya dalam perjalanan menuju India.
Baca Juga: Singkap Sejarah Waisak dan Beragam Perayaannya di Penjuru Dunia
Setiap langkah perjalanan membawa pengetahuan baru dan wawasan mendalam tentang budaya dan tradisi Buddha dari berbagai negara yang ia kunjungi.
Setelah bertahun-tahun menempuh perjalanan yang penuh tantangan, ia akhirnya tiba di India. Di sana, Xuanzang belajar dari para biksu terkemuka dan mengkaji kitab-kitab suci dalam bahasa aslinya, memperoleh pemahaman yang lebih jelas dan murni tentang ajaran Buddha.
Pada tahun 645, setelah mengumpulkan naskah-naskah suci, patung Buddha, dan relik, Xuanzang kembali ke Chang'an. Kepulangannya disambut dengan kegembiraan dan penghormatan yang besar.
Legasi Xuanzang
Sisa hidupnya didedikasikan untuk mengajar, menyebarkan, dan menerjemahkan ajaran Buddha di Kuil Da Ci'en.
Xuanzang menerjemahkan 75 karya klasik Buddhis dalam 1.335 volume ke dalam bahasa Tiongkok. Karya-karyanya tidak hanya memperkaya literatur Buddhis Tiongkok tetapi juga membawa pengaruh besar dalam seni, arsitektur, dan musik Tiongkok.
Xuanzang tidak hanya meninggalkan jejak dalam dunia agama. Laporan perjalanannya, "Report of the Regions West of Great Tang," memberikan informasi berharga tentang bangsa-bangsa dan wilayah di Asia Tengah, India, Nepal, dan Pakistan pada abad ketujuh.
Tansen menambahkan, catatan Xuanzang juga luar biasa karena ketelitiannya tentang situs-situs Buddha seperti Bamiyan dan Nalanda.
“Catatan-catatan ini telah membantu karya-karya modern arkeolog dan sejarawan modern di Asia Selatan pada abad pertengahan. Dengan demikian, Catatan Wilayah Barat Barat merupakan sumber yang kaya bagi para sejarawan, arkeolog, Buddholog, dan mereka yang tertarik untuk mempelajari interaksi lintas budaya di dunia pramodern,” kata Tensen.