Nationalgeographic.co.id—Zhu Qizhen, kaisar kedua Dinasti Ming, mewarisi kekaisaran yang kuat dan sejahtera.
Namun, masa pemerintahannya diwarnai tragedi dan bencana, mengantarkan Dinasti Ming ke jurang kehancuran.
Artikel ini akan mengupas kisah tragis sang kaisar, menguak kesalahan fatal ayahnya, dan bagaimana balas dendamnya yang kejam mempercepat kejatuhan dinasti.
Kesalahan fatal yang membuat Zhu Qizhen muda mudah dipengaruhi dimanipulasi oleh gurunya untuk melancarkan kampanye militer yang keliru dan bernasib buruk melawan pemimpin Mongol.
Kekalahan ini menandai awal kejatuhan Dinasti Ming, yang kemudian diwarnai dengan perang saudara, korupsi, dan pemberontakan.
Zhu Qizhen yang dipenjara oleh Mongol dan kemudian kembali ke tahta menjadi kaisar yang penuh dendam
Dia membantai para menterinya, memperkuat kekuasaan para kasim, dan menjerumuskan kekaisaran ke dalam kekacauan.
Ketidakpercayaannya terhadap para menteri dan balas dendamnya yang kejam semakin mempercepat kejatuhan Dinasti Ming.
Artikel ini akan menyelami lebih dalam kisah tragis Zhu Qizhen, menganalisis kesalahan fatal ayahnya, dan menguak bagaimana balas dendamnya yang kejam membawa Dinasti Ming ke jurang kehancuran.
Naik Takhta dan Masa Pemerintahan Pertama
Melansir Ming Tombs, Zhu Qizhen, putra tertua Kaisar Xuande, naik tahta menggantikan ayahnya pada 17 Januari 1436 pada usia 8 tahun dengan gelar pemerintahan Zhengtong.
Baca Juga: Renyin Plot, Kala Kaisar Dinasti Ming Jadi Target Pembunuhan Para Teman Tidurnya Sendiri
Beruntung, saat itu dirinya memiliki nenek yang cakap, Permaisuri Zhang (istri Kaisar Hongxi) yang bersama tiga menteri senior memastikan kekaisaran diperintah dengan baik hingga sang nenek mangkat di tahun 1442.
Pemerintahan awal Zhu Qizhen terbilang tenang dan sejahtera. Di bawah bimbingan neneknya dan para menteri yang cakap, kekaisaran Ming mencapai puncak kejayaan.
Namun, kesalahan fatal sang ayah, yakni memberikan kekuasaan kepada para kasim, mulai terlihat dampaknya.
Tutor Kekaisaran, Kasim Istana Wang Zhen, menipu muridnya untuk melancarkan kampanye militer yang keliru pada tahun 1449: melawan pemimpin Mongol yang kuat, Esen Khan.
Pasukan Ming pun dimusnahkan di Tumu - sekitar 70 kilometer barat laut Beijing. Selanjutnya kaisar, selir kekaisaran, harta benda, dan para menteri ditawan oleh Mongol.
Kekalahan ini menandai awal kejatuhan Dinasti Ming. Meski sempat bertahan, kekaisaran mulai mengalami kemunduran panjang sampai akhirnya digulingkan pada tahun 1644.
Masa Penahanan dan Kembalinya ke Tahta
Selama Zhu Qizhen dipenjara oleh Mongol, seorang kaisar Ming baru, dengan gelar pemerintahan Jingtai, diangkat.
Pemerintahan baru menolak membayar tebusan untuk Zhu Qizhen. Namun, setelah setahun, pada September 1450, Esen Khan memutuskan untuk membebaskannya.
Dia kembali ke Beijing tetapi ditempatkan di dalam Istana Selatan Kota Terlarang sebelum akhirnya dia berhasil menggulingkan Kaisar Jingtai dalam kudeta istana pada tahun 1457.
Saat itu, pada Februari, Kaisar Jingtai jatuh sakit kritis. Kaki tangan Zhu Qizhen bergerak cepat dengan mendobrak gerbang Istana Selatan dan mengalahkan penjaga Kaisar.
Baca Juga: 'Cinta Beracun' Lady Zheng, Empaskan Dinasti Ming ke Jurang Kehancuran
Peristiwa ini sekarang dikenal dalam sejarah China sebagai "Insiden Penyerbuan Gerbang".
Setelah menurunkan pangkat Kaisar Jingtai menjadi Pangeran, Zhu Qizhen mengangkat dirinya sebagai kaisar, kali ini dengan gelar pemerintahan Kaisar Tianshun.
Kudeta ini membuatnya menjadi satu-satunya kaisar Ming yang memerintah dua kali alias dalam dua periode berbeda.
Pemerintahan Kedua yang Diwarnai Balas Dendam
Pemerintahan kedua Zhu Qizhen sangat berbeda dari yang pertama.
Neneknya, Permaisuri Zhang, yang telah membantunya saat menjadi kaisar anak-anak, telah meninggal dunia dan para menteri yang cakap dari masa lalu telah disingkirkan oleh Kaisar Jingtai.
Masa pengasingan dan pengkhianatan yang panjang juga telah membuat Zhu Qizhen menjadi orang yang sangat curiga sekaligus memiliki hasrat besar untuk membalas dendam.
Dia sangat tidak mempercayai para menterinya dan lebih memilih untuk menaruh kepercayaan kepada para kasim dan polisi rahasia kekaisaran.
Dengan dukungan mereka, dia membunuh atau mengusir lebih dari satu juta orang.
Semua kebijakan balas dendam (yang berlangsung selama 6 tahun) itu diambil di tengah kondisi kekaisaran yang sangat menderita akibat perang dengan Mongol dan pemerintahan Kaisar Jingtai.
Ketiga faktor tersebut pada akhirnya menyeret kekaisaran pada kondisi ekonomi yang hancur dan rakyat yang menderita.
Baca Juga: Permaisuri Ma Xiaocigao, 'Ibu' Dinasti Ming yang Lahir dari Pembunuh Melarat
Warisan Berupa Kekaisaran yang Terluka
Segala bentuk kesejahteraan dan kedamaian yang terjadi pada 1436, saat Zhu Qizhen diangkat menjadi kaisar, berkahir kelam di akhir kepemimpinannya yang kedua.
Zhu Qizhen meninggal karena sakit pada usia 37 tahun pada tahun 1464. Dia meninggalkan negara dalam kekacauan dan ekonomi yang merosot usai dirinya terlalu sibuk untuk membalas dendam.
Meski demikian, dia masih sempat meninggalkan sebuah kebijakan yang mengubah total nasib para selir: mereka kini tidak harus ikut dibakar hidup-hidup saat kaisar meninggal.
Sayangnya, para kasim yang sempat menjebak Zhu Qizhen ke dalam perang, dan menyeret Dinasti Ming ke jurang kehancuran, tetap memiliki kekuasaan yang besar di istana.