Nationalgeographic.co.id—Tidak ada yang bisa mempersiapkan Ratu Victoria menghadapi "kengerian yang tak terkatakan" yang dia rasakan pada hari itu ketika telegram tiba dari St. Petersburg.
Dia membacanya di Kastil Windsor yang aman, saat cahaya mulai memudar di tanah Inggris yang damai. Tersiar berita tentang kejahatan yang dilakukan di Rusia membuka pandangan yang benar-benar berbeda.
Deborah Cadbury menuliskan tentang peristiwa besar yang terjadi di abad kesembilan belas itu kepada Historiek dalam artikelnya berjudul De kalverliefde van Victoria en tsaar Alexander II, terbitan 23 Desember 2021.
Telegram pertama yang sampai ke Windsor melaporkan bahwa Alexander II telah ditembak dan terluka. Kekacauan meraung-raung di istana Tsar yang menimbulkan kepanikan dalam batin Victoria.
Sesaat sebelum pukul enam sore ada laporan lengkap dari Duta Besar Inggris untuk Rusia, Lord Dufferin, tentang 'peristiwa mengerikan dan tak terlupakan' tersebut. Peristiwa yang lantas mengubah sejarah dunia.
Bom tersebut meledak "di antara kedua kaki Tsar Nicholas II dan secara mengerikan memutilasi serta melukai kedua kakinya, serta tubuh bagian bawahnya", kata ratu dalam buku hariannya. Dufferin segera memberikan rincian lebih lanjut:
"Semua pakaian sampai ke dada terkoyak, satu kaki hampir hilang seluruhnya, dan bagian tubuh lainnya termutilasi parah."
Namun, para ahli bedah mengira mereka mungkin bisa menyelamatkan nyawa Tsar dengan mengamputasi anggota tubuhnya, dan peralatan sudah disiapkan ketika mereka akhirnya melihat bahwa dia tidak bisa diselamatkan.
Ratu Victoria merasakan:
'…sangat terkejut dan kecewa dengan berita buruk itu. Semoga Tuhan melindungi semua orang yang kita cintai! Kasihan, Tsar yang malang, meskipun memiliki kekurangan, dia adalah pria yang baik dan ramah.'
Ratu mengenal Tsar secara pribadi. Gambaran mengerikan tentang kematiannya yang muncul dari telegram sangat kontras dengan ingatannya tentang pria yang ditemuinya lebih dari empat puluh tahun sebelumnya, pada awal pemerintahannya.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Laris Manis Usaha Perdagangan Mayat di Inggris
Pada musim semi tahun 1839, Pangeran Agung Alexander, pewaris muda takhta Rusia, mengunjungi Windsor. Ratu berusia dua puluh tahun itu masih belum menikah; Tsarevich yang berusia dua puluh satu tahun datang ke Eropa untuk mencari permaisuri.
Jauh sebelum pertemuannya, Rusia dianggap sebagai kawasan yang mengerikan. "Di mata Victoria, negeri asal Pangeran Agung adalah wilayah yang sangat kontras dan penuh bahaya," imbuh Deborah.
Kata “Rusia” memunculkan gambaran sejarah yang penuh ancaman dengan gerombolan Mongol yang ganas, Tsar yang haus darah, perang agama yang terjadi di bawah kubah Gereja Rusia di Timur, dan perbudakan bagi jutaan penduduknya.
Namun, ketika Tsarevich muncul di Windsor pada akhir Mei 1839, dia telah melampaui ekspektasi Ratu Victoria. Pangeran Agung Alexander yang bertubuh sangat tinggi—karakteristik keluarga Romanov—dengan kehadirannya yang berwibawa membuat Victoria terkesan.
Pengeran muda menampilkan dirinya sebagai seorang pemuda yang baik hati dan menyenangkan, begitu terbuka dan ceria, "dengan senyum manis, dan sosok maskulin yang baik".
Sebaliknya, dalam mata sang pangeran, ratu muda Inggris itu juga tampak memesona, cerdas, lincah, dan anggun baginya. Dalam kunjungan Tsar ke Winsdor, mereka menghabiskan waktu bersama.
Mengagendakan makan malam, berdansa dan pergi berkuda bersama; ada keintiman yang tiba-tiba dan tidak terduga. Sehingga terlintas di benak sang ratu muda itu, "Aku benar-benar jatuh cinta pada Pangeran Agung."
Tulisan tersebut terdapat dalam buku hariannya pada tanggal 27 Mei 1839. Dia membawanya ke ruang makan, St George's Hall, dan kemudian ke ruang tamu merah.
'Saya pertama kali menari quadrille dengan Pangeran Agung, diikuti dengan waltz (...) (tentu saja saya dan Pangeran Agung duduk selama waltz) (...)' Ketika mazurka dimainkan 'Pangeran Agung meminta saya untuk menari, dan saya melakukannya (saya belum pernah melakukannya sebelumnya) (...) Pangeran Agung begitu kuat sehingga ketika berjalan-jalan Anda harus mengikuti dengan sangat cepat, setelah itu Anda berputar-putar seperti dalam waltz (…) Kami bersenang-senang dan banyak tertawa (…) Saya tidak pernah memiliki waktu yang lebih baik,'
Dia sangat bersemangat sehingga dia tidak bisa tidur sampai jam lima pagi. Suasana ceria berlanjut di Ascot keesokan harinya.
Hari-hari bahagia tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Ratu Victoria meminta tamu penting Rusianya itu untuk menginap di malam berikutnya.
Baca Juga: Tren Fesyen Mematikan di Sejarah Era Victoria, Ada Topi dari Merkuri
Sebaliknya, Pangeran Agung juga menyampaikan kepada ayahnya, Tsar Nicholas I, tentang kemungkinan pernikahan dengan ratu Inggris. Ia telah jatuh hati kepada Victoria.
Ayahnya menolak. Pewaris takhta Rusia tidak mungkin menjadi pendamping takhta Inggris. Alexander terpaksa pergi dengan kekalutan di hatinya. Pun, Victoria merasa 'sangat tidak bahagia'.
Dia menciumnya saat berpisah dengan "cara yang begitu hangat dan penuh kasih." Sang ratu merasakan:
'…bahwa saya mengucapkan selamat tinggal kepada anggota keluarga daripada orang asing'. Dia bilang dia "tidak akan pernah melupakan" waktu mereka bersama, "dan saya tidak akan pernah melupakannya."
Ratu muda itu bersumpah dengan sungguh-sungguh.
Satu generasi telah berlalu sejak mendiang Tsar berjalan di aula Windsor sebagai Pangeran Agung muda yang tampan dalam kenangan haru yang membawanya ke lantai dansa.
Namun, beberapa bulan setelah kunjungan yang mengesankan dari Tsar II, Ratu menyadari bahwa sepupunya, Pangeran Jerman, Albert dari Saxe-Coburg dan Gotha, juga mencintainya.
Ketika pangeran Jerman itu tiba di Windsor pada 10 Oktober 1839, dia terpesona dengan Victoria muda dan menganggapnya telah jatuh hati kepada sang ratu.
Dalam beberapa hari, dengan jantung berdebar kencang, ratu mengambil keputusan. Dia meyakinkan hatinya untuk memanggil nama 'Albert tersayang yang saya kagumi' dan pada tanggal 15 Oktober 1839 untuk pertemuan pribadi dan melamar.
'Kami berpelukan lagi dan lagi (…) Oh! Perasaan bahwa aku dulu, dan aku, dicintai oleh Malaikat seperti itu.'
Baca Juga: Pekerja Anak Merajalela, Jadi Pengumpul Lintah di Sejarah Era Victoria
Pernikahan mereka telah menentukan empat puluh tahun masa pemerintahannya. Ratu Victoria dan Pangeran Albert memiliki sembilan anak dan pada tahun 1880-an keluarga mereka menjadi institusi Inggris yang membentuk masa depan Eropa.
Delapan dari sembilan anak mereka menikah dengan anggota keluarga kerajaan di hampir seluruh Eropa. Putri sulung Victoria, Vicky, memberi contoh bagi lima saudara laki-laki dan perempuannya, yang semuanya menikah dengan keluarga kerajaan Jerman.
Putra tertua ratu, Pangeran Albert Edward, atau 'Bertie' yang keras kepala, menikah dengan Putri Denmark Alexandra, yang berarti hubungan dengan keluarga kerajaan Denmark, Yunani, dan Rusia.
Bagi Pangeran Albert, pernikahan ini mencerminkan visi luar biasa yang ia harapkan dapat berkontribusi terhadap perdamaian dan stabilitas di Eropa.
Kehancuran di Eropa selama Perang Napoleon pada awal abad kesembilan belas, yang menewaskan sekitar enam juta orang, telah memengaruhi politik Inggris.
Untuk mencapai keseimbangan kekuatan, tidak ada satu negara pun yang bisa menjadi begitu dominan sehingga bisa kembali menimbulkan kekacauan di Eropa dalam skala sebesar itu.
Pangeran Albert dan Ratu Victoria memandang pernikahan dinasti antara anak-anak mereka dan anggota keluarga kerajaan Eropa sebagai jaminan tambahan perdamaian.
Hal ini bukan hanya tentang kekuasaan dan prestise kerajaan, namun juga merupakan sarana untuk berkontribusi pada Pax Britannica, 'Perdamaian Inggris'.
Setiap pernikahan memberikan kekuatan di mana nilai-nilai liberal Inggris akan menyebar ke seluruh benua, bahkan mungkin mendorong kembali kekuatan republikanisme, revolusi, dan perang yang mengganggu stabilitas.
Victoria dan Albert memiliki tidak kurang dari empat puluh dua cucu dan selama bertahun-tahun Ratu menerima korespondensi dari cucu-cucu perempuan yang tumbuh di istana-istana Eropa.
Surat-surat yang menandai ulang tahun dan hari jadi mengalir secara teratur dari Neues Palais di Potsdam, Palais Edinburg di Coburg, Istana Fredensborg dekat Kopenhagen, Eastwell Park, Cumberland Lodge, Sandringham, Marlborough House, Birkhall dan istana lainnya.
Dari ucapan terima kasih pertama yang diberi garis pensil kepada 'Nenek Ratu' atas hadiah atau cerita hewan peliharaannya, hingga surat yang memberi kesaksian tentang pengalaman mereka yang semakin berkembang di istana.
Persatuan dengan kekasihnya, Albert, memiliki arti yang lebih penting karena hal ini memungkinkan ikatan kerajaan untuk semakin diperluas dan dijaga.
Bisa dibilang, cucu-cucu Victoria memiliki akses otomatis ke pasar pernikahan paling eksklusif di dunia, di mana seorang putri cantik dapat mengharapkan tawaran dari berbagai pewaris takhta di seluruh Eropa.
Sang Ratu tahu bahwa berbagai faktor harus dipertimbangkan ketika menilai calon pengantin atau keberlanjutan hubungan di antara dua pihak dinasti.
Hal ini tidak hanya menyangkut masa depan tanah mereka dan stabilitas tahta mereka, tetapi juga agama, akhlak, pendidikan, penampilan dan kemampuan mereka untuk menghasilkan ahli waris yang kuat dan sehat.
Meski hal tersebut mungkin tidak diungkapkan dengan lantang. Dia merasa berada dalam posisi unik untuk mengelola proses seleksi dan membimbing cucu-cucunya dalam pernikahan kerajaan.
Bagi Victoria, impian masa muda akan romansa dan kekuasaan seringkali membutuhkan bimbingan yang realistis. Begitu juga pengalaman cintanya, keindahan bunga yang mekar di hari lalu itu akan terus ada di hatinya.
Victoria hanya bisa mengenangkan bunga di hari lalu di hatinya. Kisah singkat cintanya dengan pangeran muda dari Rusia itu, akan jadi bagian dari hidupnya yang tak bisa ia lupakan hingga akhir hayatnya.