Teh diperkenalkan ke Kekaisaran Jepang pada abad ke-8 melalui para biksu, pedagang, dan diplomat yang berkunjung. Selain itu, para biksu Jepang mengunjungi Tiongkok dan membawa kembali praktik budaya seperti minum teh.
Salah satu biksu tersebut adalah Saicho, pendiri Buddhisme Tendai yang membawa benih teh ke Jepang sekitar tahun 805. Ia menanamnya di Yeisan.
Penyebutan teh paling awal dalam literatur Jepang berasal dari Nihon Koki, yang ditulis pada tahun 840. Di sini Kaisar Saga digambarkan mengunjungi Kuil Bonshaku dan minum semangkuk teh yang disajikan oleh Biksu Eichu. Terkesan dengan minumannya, Saga sempat membudidayakan tanaman teh di beberapa daerah di Jepang bagian barat.
Konsumsi teh benar-benar melonjak di Kekaisaran Jepang sekitar tahun 1190 ketika didukung oleh biksu terkenal Eisai. Ia adalah pendiri aliran Buddha Rinzai Zen di Jepang.
Pada tahun 1214, Eisai bahkan menulis sebuah buku yang memuji manfaat teh. Buku tersebut diberi judul Minum Teh dan Memperpanjang Hidup (Kissa yojoki).
Masyarakat awam kini bisa membeli teh dari pedagang kaki lima. Penjual pertama yang disebutkan dalam literatur muncul dalam sebuah karya bertanggal 1403. Penjual teh biasanya menjual teh di pasar jalanan, di pinggir jalan, dan di luar kuil.
Para pedagang akan memuji bisnisnya dengan berseru, ippuku issen! Seruan itu berarti “satu mangkuk untuk satu keping koin”.
Karena teh hijau bisa terasa pahit, teh pada periode abad pertengahan biasanya dibuat dengan menumbuk daunnya. Lalu membuat bola dengan amazura (pemanis yang terbuat dari anggur) atau jahe, yang kemudian diseduh dengan air panas.
Teh, karena harganya yang mahal, juga menjadi populer di kalangan bangsawan di Kekaisaran Jepang abad pertengahan. Ketenangan minum teh sangat menarik selama Periode Sengoku yang penuh gejolak (Sengoku Jidai, 1467-1568).
"Kedai teh menjadi tempat istirahat dan minum teh menjadi sangat populer di kalangan prajurit samurai," tulis Mark Cartwright di laman World History Encyclopedia.
Pada abad ke-16, tanaman ini ditanam di seluruh Kekaisaran Jepang. Toko-toko menjualnya di kota besar, kecil, dan desa. Hampir semua masyarakat Jepang meminum teh, mulai dari petani rendahan hingga pejabat tinggi pemerintah.
Baca Juga: Dieng Caldera Race 2024 Resmi Digelar di Perkebunan Teh Tambi