Awalnya Jadi Stimulan para Biksu, Ini Sejarah Teh Hijau di Kekaisaran Jepang

By Sysilia Tanhati, Jumat, 14 Juni 2024 | 08:00 WIB
Di Kekaisaran Jepang, teh hijau merupakan stimulan yang populer bagi para biksu yang bermeditasi. Bagaimana sejarahnya? (Dungthuyvunguyen/Pixabay)

Budi daya dan perdagangan teh di Kekaisaran Jepang

Salah satu tempat yang pertama kali menanam teh berkualitas tinggi adalah Kuil Kozan-ji di Gunung Toganoo. Mungkin di sinilah diketahui bahwa naungan pada tanaman teh membuat teh yang dihasilkan tidak terlalu pahit.

Prosesnya mungkin sebagian besar dilakukan secara mekanis seperti saat ini. Namun daun teh memerlukan beberapa tahap produksi untuk membuatnya siap diminum.

Daun teh memerlukan beberapa tahap produksi untuk membuatnya siap diminum. (Alessandro Martini/CC0)

Beberapa kedai teh Jepang masih menggunakan cara tradisional. Hingga bulan Mei, ujung daun terbaik dan paling hijau dipetik. Untuk menghindari fermentasi dan mempertahankan warna hijau segar, daunnya dikukus. Proses pengukusan berlangsung hingga 20 detik. Awalnya dilakukan dengan menggunakan saringan bambu yang diletakkan di atas tangki berisi air mendidih.

Alternatif untuk mengukus adalah dengan memasukkan daun teh ke dalam sangkar bambu. Sangkar tersebut diletakkan di atas wajan yang dipanaskan. Namun metode ini lebih umum dilakukan di Tiongkok dan negara-negara Asia lainnya.

Daun tersebut kemudian disebar secara merata di atas meja yang dipanaskan hingga kering. Daunnya dilempar ke udara dengan tangan untuk menghilangkan kelembapan yang tersisa.

Untuk lebih mengeringkan daun dan memastikan tidak ada yang saling menempel, daun-daun tersebut digulung di atas meja dengan tangan. Tahap ini memecah struktur sel internal sehingga meningkatkan rasa.

Setelah ini, daunnya harus benar-benar kering dan berbentuk seperti jarum. Daun kemudian dipanggang dalam oven untuk menghilangkan kelembapan sebanyak mungkin sehingga memperpanjang umur simpannya.

Untuk matcha, teh hijau terbaik di Jepang, daunnya juga disortir untuk menghilangkan kotoran, urat daun, dan batang. Lalu dicincang, disaring, dan diangin-anginkan kembali. Daun-daun tersebut kemudian disimpan dan hanya digiling dalam lesung batu hingga menghasilkan bubuk yang sangat halus saat akan dikonsumsi.

"Seiring dengan meningkatnya produksi, teh menjadi sumber pendapatan pajak sejak abad ke-13," Cartwright menambahkan. Tidak lagi hanya dikonsumsi oleh mereka yang menanamnya, teh menjadi bisnis besar dan menjadikan bagian integral dari budaya Jepang.

Pada tahun-tahun terakhir abad ke-16, para pedagang Portugis dan Belanda mulai menunjukkan minat terhadap teh. Minuman tersebut diperkenalkan ke Eropa sekitar tahun 1607.

Budi daya teh menyebar ke koloni-koloni Eropa, terutama India. Jepang, yang lebih memilih untuk tetap tertutup sepanjang sejarahnya, akhirnya berusaha berdagang dengan Eropa.

Pedagang teh Jepang pertama yang mencari peluang baru di luar negeri adalah seorang wanita, Kei Oura. Ia mengekspor enam ton teh ke Arab, Inggris, dan Amerika Serikat pada tahun 1853.

Teh terus ditanam dengan sukses pada abad ke-19. Sejarawan W. W. Farris berpendapat bahwa surplus pertanian produksi teh merupakan faktor yang berkontribusi terhadap industrialisasi Jepang. Manfaat kesehatan dan efek stimulan dari teh menjadi kunci penting tenaga kerja yang sehat untuk bekerja di pabrik.

Pada tahun 1875, para petani teh mulai tertarik pada metode baru yang digunakan di perkebunan di India. Motokichi Tada mengunjungi Darjeeling dan membawa kembali ide mesin baru dan pabrik teh untuk penanaman kembali di Jepang.

Teh telah menjadi minuman yang mendunia. Teh tetap populer di kalangan petani Jepang di abad ke-21, sekitar 80.000 ton teh diproduksi setiap tahunnya.