Nationalgeographic.co.id—Sejarah teh hijau di Kekaisaran Jepang dimulai pada abad ke-8. Di masa itu, teh hijau merupakan stimulan yang populer bagi para biksu yang bermeditasi.
Lalu bagaimana asal-usul dan budi daya teh hijau di Jepang? Bagaimana teh menjadi bagian integral dari budaya Jepang?
Penulis Jepang Kakuzo Okakura dalam The Book of Tea mencatat, “Teh di zaman kita menjadi lebih dari sekadar idealisasi bentuk minuman. Teh adalah agama seni kehidupan.”
Berawal dari Bodhidharma
Dalam tradisi Tiongkok dan Jepang, penemuan teh (cha) dikaitkan dengan orang bijak India abad ke-5-6 Daruma (Bodhidharma). Ia adalah pendiri Buddhisme Chan. Daruma, menyebarkan doktrin barunya dan mendirikan Kuil Shaolin di Tiongkok timur (Shorinji bagi orang Jepang).
Di sana ia bermeditasi sambil duduk menghadap tembok selama 9 tahun. Pada akhir periode itu, kakinya makin lemah, dan, di ambang mencapai pencerahan, dia tertidur. Marah karena melewatkan langkah terakhir ini, dia merobek kelopak matanya dan melemparkannya ke tanah. Dari sini tumbuh semak, tanaman teh.
Singkat cerita, teh pun mulai menjadi salah satu minuman di Tiongkok. Caranya dengan menambahkan air panas ke daun muda, ujung daun, dan kuncup daun semak cemara Camellia sinensis.
Semak ini berasal dari perbukitan di barat daya Tiongkok dan timur laut India. Pada periode awal ini, teh dibuat dengan cara merebus “batu bata” teh yang difermentasi, dan sering ditambahkan garam.
Teh menjadi populer di kalangan biksu Buddha Zen karena dianggap membantu meditasi dan mencegah mereka tertidur. Kandungan kafein dalam teh, meski lebih sedikit dibandingkan kopi, menjadikan minuman ini sebagai stimulan ringan.
Teh dianggap memiliki khasiat obat, bahkan mungkin membantu umur panjang seseorang. Pengujian menunjukkan bahwa tanin antioksidan dalam teh dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Bagi sebagian orang, teh dianggap sebagai obat pereda mabuk, obat melemahnya penglihatan, dan bahkan obat rematik.
Baca Juga: Da-Hong Pao, Teh Termahal di Dunia dari Dinasti Ming, 'Tembus' Belasan Miliar Rupiah
Teh diperkenalkan ke Kekaisaran Jepang pada abad ke-8 melalui para biksu, pedagang, dan diplomat yang berkunjung. Selain itu, para biksu Jepang mengunjungi Tiongkok dan membawa kembali praktik budaya seperti minum teh.
Salah satu biksu tersebut adalah Saicho, pendiri Buddhisme Tendai yang membawa benih teh ke Jepang sekitar tahun 805. Ia menanamnya di Yeisan.
Penyebutan teh paling awal dalam literatur Jepang berasal dari Nihon Koki, yang ditulis pada tahun 840. Di sini Kaisar Saga digambarkan mengunjungi Kuil Bonshaku dan minum semangkuk teh yang disajikan oleh Biksu Eichu. Terkesan dengan minumannya, Saga sempat membudidayakan tanaman teh di beberapa daerah di Jepang bagian barat.
Konsumsi teh benar-benar melonjak di Kekaisaran Jepang sekitar tahun 1190 ketika didukung oleh biksu terkenal Eisai. Ia adalah pendiri aliran Buddha Rinzai Zen di Jepang.
Pada tahun 1214, Eisai bahkan menulis sebuah buku yang memuji manfaat teh. Buku tersebut diberi judul Minum Teh dan Memperpanjang Hidup (Kissa yojoki).
Masyarakat awam kini bisa membeli teh dari pedagang kaki lima. Penjual pertama yang disebutkan dalam literatur muncul dalam sebuah karya bertanggal 1403. Penjual teh biasanya menjual teh di pasar jalanan, di pinggir jalan, dan di luar kuil.
Para pedagang akan memuji bisnisnya dengan berseru, ippuku issen! Seruan itu berarti “satu mangkuk untuk satu keping koin”.
Karena teh hijau bisa terasa pahit, teh pada periode abad pertengahan biasanya dibuat dengan menumbuk daunnya. Lalu membuat bola dengan amazura (pemanis yang terbuat dari anggur) atau jahe, yang kemudian diseduh dengan air panas.
Teh, karena harganya yang mahal, juga menjadi populer di kalangan bangsawan di Kekaisaran Jepang abad pertengahan. Ketenangan minum teh sangat menarik selama Periode Sengoku yang penuh gejolak (Sengoku Jidai, 1467-1568).
"Kedai teh menjadi tempat istirahat dan minum teh menjadi sangat populer di kalangan prajurit samurai," tulis Mark Cartwright di laman World History Encyclopedia.
Pada abad ke-16, tanaman ini ditanam di seluruh Kekaisaran Jepang. Toko-toko menjualnya di kota besar, kecil, dan desa. Hampir semua masyarakat Jepang meminum teh, mulai dari petani rendahan hingga pejabat tinggi pemerintah.
Baca Juga: Dieng Caldera Race 2024 Resmi Digelar di Perkebunan Teh Tambi
Budi daya dan perdagangan teh di Kekaisaran Jepang
Salah satu tempat yang pertama kali menanam teh berkualitas tinggi adalah Kuil Kozan-ji di Gunung Toganoo. Mungkin di sinilah diketahui bahwa naungan pada tanaman teh membuat teh yang dihasilkan tidak terlalu pahit.
Prosesnya mungkin sebagian besar dilakukan secara mekanis seperti saat ini. Namun daun teh memerlukan beberapa tahap produksi untuk membuatnya siap diminum.
Beberapa kedai teh Jepang masih menggunakan cara tradisional. Hingga bulan Mei, ujung daun terbaik dan paling hijau dipetik. Untuk menghindari fermentasi dan mempertahankan warna hijau segar, daunnya dikukus. Proses pengukusan berlangsung hingga 20 detik. Awalnya dilakukan dengan menggunakan saringan bambu yang diletakkan di atas tangki berisi air mendidih.
Alternatif untuk mengukus adalah dengan memasukkan daun teh ke dalam sangkar bambu. Sangkar tersebut diletakkan di atas wajan yang dipanaskan. Namun metode ini lebih umum dilakukan di Tiongkok dan negara-negara Asia lainnya.
Daun tersebut kemudian disebar secara merata di atas meja yang dipanaskan hingga kering. Daunnya dilempar ke udara dengan tangan untuk menghilangkan kelembapan yang tersisa.
Untuk lebih mengeringkan daun dan memastikan tidak ada yang saling menempel, daun-daun tersebut digulung di atas meja dengan tangan. Tahap ini memecah struktur sel internal sehingga meningkatkan rasa.
Setelah ini, daunnya harus benar-benar kering dan berbentuk seperti jarum. Daun kemudian dipanggang dalam oven untuk menghilangkan kelembapan sebanyak mungkin sehingga memperpanjang umur simpannya.
Untuk matcha, teh hijau terbaik di Jepang, daunnya juga disortir untuk menghilangkan kotoran, urat daun, dan batang. Lalu dicincang, disaring, dan diangin-anginkan kembali. Daun-daun tersebut kemudian disimpan dan hanya digiling dalam lesung batu hingga menghasilkan bubuk yang sangat halus saat akan dikonsumsi.
"Seiring dengan meningkatnya produksi, teh menjadi sumber pendapatan pajak sejak abad ke-13," Cartwright menambahkan. Tidak lagi hanya dikonsumsi oleh mereka yang menanamnya, teh menjadi bisnis besar dan menjadikan bagian integral dari budaya Jepang.
Pada tahun-tahun terakhir abad ke-16, para pedagang Portugis dan Belanda mulai menunjukkan minat terhadap teh. Minuman tersebut diperkenalkan ke Eropa sekitar tahun 1607.
Budi daya teh menyebar ke koloni-koloni Eropa, terutama India. Jepang, yang lebih memilih untuk tetap tertutup sepanjang sejarahnya, akhirnya berusaha berdagang dengan Eropa.
Pedagang teh Jepang pertama yang mencari peluang baru di luar negeri adalah seorang wanita, Kei Oura. Ia mengekspor enam ton teh ke Arab, Inggris, dan Amerika Serikat pada tahun 1853.
Teh terus ditanam dengan sukses pada abad ke-19. Sejarawan W. W. Farris berpendapat bahwa surplus pertanian produksi teh merupakan faktor yang berkontribusi terhadap industrialisasi Jepang. Manfaat kesehatan dan efek stimulan dari teh menjadi kunci penting tenaga kerja yang sehat untuk bekerja di pabrik.
Pada tahun 1875, para petani teh mulai tertarik pada metode baru yang digunakan di perkebunan di India. Motokichi Tada mengunjungi Darjeeling dan membawa kembali ide mesin baru dan pabrik teh untuk penanaman kembali di Jepang.
Teh telah menjadi minuman yang mendunia. Teh tetap populer di kalangan petani Jepang di abad ke-21, sekitar 80.000 ton teh diproduksi setiap tahunnya.