Dosa Besar Budaya Populer: Gambarkan Viking Hanya Sebagai Mesin Perang

By Tri Wahyu Prasetyo, Senin, 17 Juni 2024 | 14:00 WIB
Dalam budaya populer bangsa Viking serinkali digambarkan sebagai bangsa pembrani dan haus darah. (Viking Valhalla/Netflix)

Nationalgeographic.co.id—Viking, para pelaut tangguh dari Skandinavia yang mengarungi samudra luas antara abad ke-8 hingga ke-11 Masehi, telah lama menghipnotis imajinasi kita.

Mereka menjelma menjadi sosok-sosok ikonik dalam budaya populer, mulai dari film layar lebar seperti "The Vikings" (1958) dan "Valhalla Rising" (2009), serial televisi seperti "Vikings: Valhalla" (2022) dan "The Last Kingdom" (2015-2022), hingga video game populer seperti "Assassin's Creed Valhalla" (2020).

Namun, di balik pesona dan kharisma mereka yang mendunia, seberapa akurat representasi ini dibandingkan dengan realitas sejarah?

“Penulisan sejarah Inggris cenderung meromantisasi Viking, baik sebagai barbar kafir yang jahat maupun sebagai leluhur pemberani pembangun kerajaan,” ungkap Clare Downham, Profesor Sejarah di University of Liverpool yang mendalami era Viking.

Pernyataan Downham tersebut menyiratkan kecenderungan kita untuk melihat Viking dalam bingkai dikotomis: sosok biadab yang haus darah atau pahlawan penakluk yang gagah berani.

Gambaran stereotipikal Viking sebagai perompak bengis yang gemar menjarah dan membakar desa, tak lepas dari pengaruh Anglo-Saxon Chronicle, salah satu sumber sejarah utama tentang periode tersebut. 

“The Northern Recension" dari Anglo-Saxon Chronicle mencatat kedatangan “orang-orang kafir” menyerbu biara Lindisfarne pada tahun 793 M. 

Manuskrip ini dengan lugas menggambarkan kengerian yang ditimbulkan oleh kedatangan Viking di Lindisfarne, sebuah peristiwa yang dianggap sebagai awal dari era Viking di Inggris.

Serangan kilat dan brutal ini, yang menghancurkan salah satu pusat keagamaan terpenting di Inggris, terpatri dalam memori kolektif dan mewarnai persepsi tentang Viking selama berabad-abad.

Namun, Downham mengajak kita untuk menggali lebih dalam, melampaui narasi tunggal yang seringkali bias dan tidak lengkap. 

"Gambaran tentang kontak awal Viking lebih kompleks, penuh perhitungan, dan pragmatis daripada yang digambarkan oleh narasi tradisional kita," tegasnya.

Baca Juga: Sejarah Dunia: Viking Berserker Konsumsi Zat Psikoaktif Sebelum Perang?