"Bertentangan dengan kepercayaan populer, penelitian arkeologi menunjukkan bahwa helm mereka biasanya berbentuk kerucut atau kubah, tanpa tanduk yang menonjol," jelas Solis, meluruskan kesalahpahaman umum tentang helm bertanduk yang ikonik.
Penggambaran helm bertanduk, yang muncul di kemudian hari dalam seni dan opera, kemungkinan besar merupakan interpretasi romantis atau upaya untuk mengeksotisasi Viking. Begitu pula dengan peran perempuan Viking yang seringkali disalahartikan.
"Perempuan dalam masyarakat Viking memiliki lebih banyak kekuasaan daripada di sebagian besar budaya modern," tulis Solis.
Kebebasan dan hak-hak yang dimiliki perempuan Viking, termasuk hak waris dan pengaruh sosial, memang tergolong maju untuk ukuran zamannya.
Penemuan makam perempuan Viking dengan barang-barang berharga dan senjata, seperti makam "Wanita Oseberg" di Norwegia, menunjukkan status sosial dan agensi mereka yang signifikan.
Namun, Solis mengingatkan untuk tidak terjebak dalam interpretasi modern yang ahistoris. "Penggambaran perempuan Viking sebagai sepenuhnya terbebaskan adalah pernyataan yang berlebihan. Meskipun mereka memiliki lebih banyak hak daripada beberapa masyarakat modern, mereka masih tunduk pada norma dan batasan sosial."
Melampaui Mitos: Merangkul Kompleksitas Viking
Viking bukanlah sekadar sosok-sosok karikatur dalam kisah-kisah fiksi. Mereka adalah pelaut, pedagang, pengrajin, diplomat, dan penjelajah ulung yang mewariskan peradaban yang kompleks dan multidimensional.
Sudah seharusnya kita mengupas tabir mitos dan stereotip, menelusuri jejak-jejak sejarah untuk memahami Viking secara lebih utuh dan objektif.
Mempelajari Viking bukan hanya tentang mengagumi kehebatan mereka dalam navigasi, peperangan, atau seni, tetapi juga tentang memahami kompleksitas budaya, motivasi, dan dampak mereka terhadap dunia.
Hanya dengan begitu, kita dapat menghargai warisan mereka secara adil dan menempatkan mereka pada tempatnya yang tepat dalam sejarah peradaban manusia.