Sedang Sendirian tapi Merasa Diawasi Seseorang? Ini Sebabnya!

By Sysilia Tanhati, Jumat, 21 Juni 2024 | 08:00 WIB
Ketika sedang sendirian, seseorang bisa merasa sedang diawasi. Padahal tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Apa yang menyebabkan munculnya perasaan ini? (Alla Sergeeva/Pexels)

Nationalgeographic.co.id—Anda sedang sendirian di dalam ruangan dan tiba-tiba Anda merasakan ada seseorang sedang mengamati. Anda melihat sekeliling dan membuka pintu lemari, tetapi tidak ada orang di sana. Mengapa bisa demikian?

Menurut Leslie Dobson, seorang psikolog klinis dan forensik, ada sejumlah alasan mengapa seseorang merasa seolah-olah sedang diawasi. “Penyebab-penyebab ini mencakup spektrum yang luas,” tulis Angely Mercado di laman Live Science.

Hal ini termasuk paparan terhadap buku, film, atau berita menakutkan. Kewaspadaan berlebihan setelah peristiwa yang membuat stres atau traumatis dan kondisi kesehatan mental yang serius.

“Dalam kasus yang lebih ekstrem, seseorang mungkin mengalami paranoia dan kewaspadaan berlebihan. Hal ini sering kali terkait dengan kondisi kesehatan mental atau penyakit otak fisik yang mendasarinya,” kata Dobson.

Tentu saja, terkadang kita benar-benar diawasi. Manusia kemungkinan besar berevolusi menjadi peka terhadap tatapan orang lain. Diperkirakan otak manusia memiliki jaringan saraf yang didedikasikan hanya untuk memproses tatapan.

Hal ini diungkap dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Harriet Dempsey-Jones, peneliti pascadoktoral di bidang ilmu saraf kognitif di The University of Queensland.

Ada kemungkinan perhatian kita terhadap tatapan muncul karena dapat mendukung interaksi kerjasama antarmanusia. Kemampuan ini biasanya tidak sulit untuk dikuasai.

Cukup mudah untuk mengetahui arah pandangan seseorang karena kita dapat melihat ke arah mana pupil mereka terfokus. Dengan penglihatan tepi kita dapat menangkap isyarat, seperti bahasa tubuh, yang menunjukkan bahwa seseorang sedang melihat kita.

Namun terkadang, meski tidak ada yang melihat, rangsangan dari luar bisa membuat kita merasa sedang diawasi. Hal ini dapat mencakup menonton atau membaca film thriller yang menampilkan tokoh protagonis dibuntuti oleh sosok yang mengancam. Termasuk mendengar suara-suara yang tidak biasa saat sendirian di rumah.

Bagi orang yang pernah mengalami peristiwa traumatis, kewaspadaan berlebihan menjadi mekanisme pertahanan. Kewaspadaan ini dimaksudkan untuk mencegah kita mengalami stres di masa depan dengan menghindari bahaya. Hal ini diungkap dalam sebuah studi tahun 2023 di jurnal Frontiers in Psychology.

Gejala seperti paranoia dan kecemasan yang biasanya muncul setelah peristiwa stres juga dapat terjadi di wilayah otak yang serupa, jelas Dobson.

Baca Juga: Sebenarnya Ada Berapa Banyak Emosi yang Dimiliki oleh Manusia?

“Amigdala memproses emosi kita seperti stres dan kecemasan,” katanya. “Jika ia terlalu aktif atau dirugikan akibat kerusakan fisik atau penyebab trauma yang berkelanjutan, hal ini dapat menyebabkan peningkatan respons emosional. Misalnya munculnya persepsi ancaman.”

Merasa diawasi saat sedang sendiri dan gangguan kesehatan mental

Bukan hal yang aneh jika orang merasa diawasi, kata Dr. Alice Feller, psikiater klinis yang berbasis di California. Jadi bagaimana Anda membedakan kehati-hatian yang masuk akal dari masalah yang lebih serius?

Masalah muncul ketika seseorang terus-menerus merasa diawasi atau paranoid karena diawasi dalam jangka waktu lama.

“Dengan penyakit mental, yang terjadi adalah Anda kehilangan kemampuan untuk bertanya-tanya apakah itu hanya perasaan. Anda seperti kehilangan wawasan tentang proses tubuh dan mental Anda sendiri,” kata Feller. “Anda bisa melakukan pengecekan realitas, tapi belum tentu berhasil.”

Misalnya, gejala skizofrenia meliputi kewaspadaan berlebihan dan paranoia. Gejala itu dapat mencakup khayalan bahwa seseorang sedang memperhatikan Anda.

Penelitian menunjukkan bahwa pada penderita skizofrenia, paranoia dikaitkan dengan aktivitas abnormal pada sistem limbik. Sistem ini adalah bagian otak yang mencakup amigdala dan mengontrol respons perilaku berbasis emosi dan kelangsungan hidup. Seperti respons melawan-atau-lari.

Sebuah studi menjelaskan bahwa pada pasien skizofrenia, paranoia dikaitkan dengan peningkatan aliran darah selama keadaan istirahat di amigdala. Selain itu, konektivitas yang tidak biasa antara amigdala dan area lain di otak juga dikaitkan dengan paranoia.

Hal ini menunjukkan bahwa paranoia terkait dengan konektivitas yang menyimpang dalam sirkuit inti limbik yang menunjukkan pemrosesan ancaman dan gangguan regulasi emosi.

Terlepas dari penyebabnya, Feller dan Dobson menyarankan seseorang mencari dukungan kesehatan mental jika mengalami paranoia terus-menerus. Hal ini terutama berlaku jika perasaan diawasi terjadi meskipun ada bukti fisik bahwa tidak ada orang lain di sana. Atau jika kecemasan karena diawasi menjadi lebih buruk.

“Saya mendorong masyarakat untuk mencari intervensi mental dan medis ketika mereka mulai menyadari bahwa mereka mengalami kesulitan,” kata Dobson. “Intervensi dini adalah kuncinya.”