Nationalgeographic.co.id—Ketika membicarakan pertempuran di masa lampau, kebanyakan orang akan selalu berfokus untuk menyebutkan senjata api mutakhir yang tersedia pada saat itu. Faktanya, tidak semua pertempuran di masa lalu dimenangkan dengan kekerasan fisik.
Strategi perang psikologis adalah hal yang tak boleh dilewatkan. Ia telah terbukti efektif dalam beberapa pertempuran di masa lampau.
“Senjata dan amunisi hanyalah salah satu elemen perang. Perang juga melibatkan strategi politik yang rumit dan operasi taktis yang rumit di berbagai negara selama beberapa dekade atau berabad-abad dalam sejarah,” tulis Carl Seaver, pada laman History Defined.
Ketika emosi manusia ini dieksploitasi, mereka yang terkena dampaknya akan menjadi terlalu patah semangat untuk melanjutkan pertempuran. Inilah yang menjadi pusat dari strategi perang psikologis.
Pertempuran Pelusium (525 SM)
Pertempuran Pelusium adalah sebuah pertempuran yang terjadi pada tahun 525 SM antara Kekaisaran Persia dan melawan Kerajaan Mesir. Pertempuran ini diingat sebagai perang yang dimenangkan oleh kucing.
Awalnya kedua kekaisaran ini memiliki hubungan yang baik. Namun semua berubah ketika Raja Persia Cambyses meminta putri Firaun Amasis II sebagai istrinya.
Di sisi lain Amasis tidak ingin kehilangan putrinya ke Persia. Alih-alih menolak, dia malah mengirim putri firaun lain bernama Nitetis dan mengklaimnya sebagai putrinya. Begitu Nitetis berada di Persia, dia membocorkan tipu muslihat tersebut, dan Cambyses tentu saja merasa terhina.
Persia kemudian menyatakan perang melawan Mesir. Dengan pengalaman Persia dalam peperangan, kesuksesan mereka sudah bisa diduga. Mereka juga memanfaatkan religiusitas Mesir yang terkenal.
Orang Mesir memuja binatang, terutama kucing. Salah satu dewi mereka adalah Bastet, yang sering digambarkan dengan tubuh wanita dan kepala kucing.
“Bastet melindungi rumah dan merupakan dewi kesuburan dan persalinan. Kucing dianggap sebagai milik Bastet, oleh karena itu tidak boleh disakiti,” kata Seaver.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR