Kerajaan Tibet terlibat dalam kekacauan ini ketika panglima perang Mongol Ligdan Khan, seorang Kagyu Buddha Tibet, memutuskan untuk menyerang Tibet. Ia menghancurkan Topi Kuning pada tahun 1634. Ligdan Khan tewas dalam perjalanan, namun pengikutnya Tsogt Taij mengambil alih.
Jenderal besar Gushi Khan, dari Oirad Mongol, berperang melawan Tsogt Taij dan mengalahkannya pada tahun 1637. Khan juga membunuh Pangeran Tsang Gtsang-pa. Dengan dukungan dari Gushi Khan, Dalai Lama Kelima, Lobsang Gyatso, mampu merebut kekuasaan atas seluruh Tibet pada 1642.
Dalai Lama Naik ke Tampuk Kekuasaan
Istana Potala di Lhasa dibangun sebagai simbol sintesis kekuatan baru ini.
Dalai Lama melakukan kunjungan kenegaraan ke Kaisar kedua Dinasti Qing, Shunzhi, pada tahun 1653. “Kedua pemimpin tersebut saling menyapa dengan setara; Dalai Lama tidak bersujud,” tambah Szczepanski. Masing-masing orang saling memberikan penghargaan dan gelar dan Dalai Lama diakui sebagai otoritas spiritual dari Dinasti Qing.
Menurut Tibet, hubungan "biarawan atau pelindung" yang dibangun saat ini antara Dalai Lama dan Qing berlanjut sepanjang Era Qing. Namun semua itu tidak ada hubungannya dengan status Tibet sebagai negara merdeka. Tentu saja Tiongkok tidak setuju dengan hal ini.
Lobsang Gyatso meninggal pada tahun 1682, namun perdana menterinya menyembunyikan informasi tersebut hingga tahun 1696. Ia menunggu hingga Istana Potala dapat diselesaikan dan kekuasaan Dalai Lama dikonsolidasikan.
Dalai Lama ke-6
Pada tahun 1697, 15 tahun setelah kematian Lobsang Gyatso, Dalai Lama Keenam akhirnya dinobatkan.
Tsangyang Gyatso (1683-1706) menolak kehidupan biara, memanjangkan rambutnya, minum anggur, dan menikmati kebersamaan dengan wanita. Dia juga menulis puisi yang indah, beberapa di antaranya masih dibacakan hingga saat ini di Tibet.
Gaya hidup Dalai Lama yang tidak konvensional mendorong Lobsang Khan dari Khoshud Mongol untuk menggulingkannya pada 1705.