Pada tahun 1950, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dari Republik Rakyat Tiongkok yang baru dibentuk menginvasi Tibet. Dengan dibangunnya kembali stabilitas di Beijing, Mao Zedong berupaya menegaskan hak Tiongkok untuk memerintah Tibet.
Pasukan kecil Tibet kalah. Tiongkok merancang “Perjanjian Tujuh Belas Poin” yang menggabungkan Tibet sebagai wilayah otonom Republik Rakyat Tiongkok.
Perwakilan pemerintahan Dalai Lama menandatangani perjanjian tersebut di bawah protes. Namun Tibet menolak perjanjian tersebut 19 kemudian.
Pemberontakan Tibet
Pemerintahan Mao segera memulai redistribusi tanah di Tibet. Kepemilikan tanah biara dan kaum bangsawan disita untuk didistribusikan kembali kepada para petani. Kekuatan komunis berharap untuk menghancurkan basis kekuatan orang kaya dan agama Buddha di kalangan masyarakat Tibet.
Sebagai reaksinya, pemberontakan yang dipimpin oleh para biksu pecah pada bulan Juni 1956 dan berlanjut hingga tahun 1959. Bangsa Tibet yang tidak bersenjata lengkap menggunakan taktik perang gerilya dalam upaya untuk mengusir pasukan Tiongkok.
PLA menanggapinya dengan menghancurkan seluruh desa dan biara hingga rata dengan tanah. Pihak Tiongkok bahkan mengancam akan menghancurkan Istana Potala dan membunuh Dalai Lama. Tapi ancaman tersebut tidak dilakukan.
Pertempuran sengit selama 3 tahun menyebabkan 86.000 warga Tibet tewas, menurut pemerintahan Dalai Lama di pengasingan.
Pengungsian Dalai Lama
Pada tanggal 1 Maret 1959, Dalai Lama menerima undangan aneh untuk menghadiri pertunjukan teater di markas PLA dekat Lhasa.
Dalai Lama menolak dan tanggal pertunjukan ditunda hingga 10 Maret. Pada tanggal 9 Maret, petugas PLA memberi tahu pengawal Dalai Lama bahwa mereka tidak akan menemani pemimpin Tibet ke pertunjukan. Juga tidak memberi tahu orang-orang Tibet bahwa dia akan pergi. Biasanya, penduduk Lhasa akan berbaris di jalan untuk menyambut Dalai Lama setiap kali dia keluar dari istana.