Tidak Punya Penjara, Peradaban Yunani Kuno Tidak Suka Menghukum Warga?

By Ricky Jenihansen, Jumat, 5 Juli 2024 | 16:05 WIB
Mengapa tidak ada penjara di era Yunani kuno dalam sejarah dunia? (Mark Cartwright)

Nationalgeographic.co.id – Dalam sejarah dunia, era Yunani kuno dikenal tidak memiliki penjara seperti yang kita kenal sekarang. Yang ada hanya pusat penahanan sementara karena penjahat akan didenda, diasingkan, atau dieksekusi.

Konsep penahanan sebagai bentuk hukuman di era Yunani kuno belumlah lazim seperti di zaman modern. Sebaliknya, hukuman lebih fokus pada retribusi dan pencegahan dibandingkan rehabilitasi.

Dalam kasus ketika seseorang melakukan kejahatan serius, mereka mungkin akan diasingkan dari negara kotanya atau bahkan dieksekusi.

Selain itu, debitur di era Yunani kuno dapat dipenjara hingga mereka melunasi utangnya. Namun, ini bukanlah sistem penjara formal seperti yang kita miliki saat ini.

Sebaliknya, ini lebih merupakan solusi sementara terhadap masalah utang yang belum dibayar.

Namun, tidak adanya hukuman penjara dalam sejarah dunia Yunani kuno juga membuat menyebabkan penggunaan hukuman mati secara berlebihan untuk kejahatan kecil.

Masyarakat Yunani kuno sangat menekankan kontrol sosial melalui mekanisme seperti pengucilan, yaitu pengucilan warga negara dari suatu negara kota selama sepuluh tahun jika dianggap mengancam stabilitas masyarakat.

Bagi orang Athena atau Sparta, gagasan memenjarakan penjahat adalah pemborosan keuangan kota.

Dalam sejarah dunia Yunani kuno, yang ada hanya beberapa bangunan yang menyerupai pusat penahanan.

Di sana, mereka yang menunggu persidangan atau mereka yang telah divonis bersalah dan menunggu eksekusi ditahan untuk sementara waktu.

Tempat-tempat seperti itu di negara-kota biasanya disebut desmōtērion. Tempat ini menampung para penjahat yang sedang menunggu eksekusi dan mungkin bahkan orang-orang yang telah ditangkap tetapi belum diadili.

Baca Juga: La Catedral, Penjara Mewah yang Dirancang Khusus untuk Raja Kokain Pablo Escobar

Sejarah dunia mencatatat, istilah desmōtērion Athena diketahui dari kasus Socrates, yang ditahan di sana setelah persidangannya sampai kapal suci kota itu kembali.

Eksekusi Socrates tidak dilakukan saat kapal itu pergi. Di sanalah, di dekat Agora kuno, tempat Socrates meminum hemlock sebelum dieksekusi.

Sejarawan Virginia Hunter membuat sketsa desmōtērion Athena. Dia menulis di jurnal Phoenix dan mengatakan kondisi kehidupan di desmoterion sangat keras.

“Narapidana dipaksa memakai belenggu dan mengeluhkan kesulitan fisik. Namun, tampaknya sofa dan kamar mandi disediakan, serta kesempatan untuk meninggalkan penjara untuk setidaknya satu festival besar."

"Hak istimewa untuk melihat pengunjung tidak dibatasi dengan cara apa pun,” kata sejarawan tersebut.

Ilustrasi era Yunani Kuno. (Philipp Foltz)

Pengucilan di Era Yunani kuno

Athena kuno juga menggunakan metode pengucilan, untuk menghadapi penjahat dan musuh politik. Dikucilkan di Athena klasik berarti diasingkan dari kota selama sepuluh tahun.

Hal ini merupakan bagian dari proses demokrasi tahunan di Athena dan, oleh karena itu, tidak berubah-ubah seperti yang terjadi dalam sebagian besar konteks politik lainnya.

Seperti yang ditulis Chris Mackie dalam The Conversation, setiap tahun majelis warga (“ekklesia”) memutuskan apakah akan mengadakan pengucilan atau tidak.

Jika mereka setuju untuk melakukannya, prosesnya akan segera dimulai setelahnya. Ini seperti pemilu yang terbalik, sebuah kontes ketidakpopuleran yang tidak ingin dimenangkan oleh siapa pun.

Jika diputuskan untuk melakukan pengucilan, warga berkesempatan untuk menuliskan nama orang yang ingin dikucilkan pada “ostrakon”, sebuah pecahan tembikar yang cocok untuk ditulisi.

Bukti kuno agak kontradiktif, namun tampaknya jika ada 6.000 suara yang diberikan dalam surat suara, maka orang dengan jumlah suara terbanyak akan diasingkan dari Athena selama sepuluh tahun.

Mereka punya waktu sepuluh hari untuk mengemas tas mereka dan pergi.

Orang Pertama yang Mengusulkan Penjara

Plato, murid Socrates, dalam karyanya Laws, adalah orang pertama yang mengusulkan penjara.

Salah satu prinsip utama Plato mengenai hukuman adalah gagasan proporsionalitas.

Ia percaya bahwa hukuman harus sesuai dengan kejahatannya, dengan tujuan untuk mencapai keadilan dan menjaga ketertiban sosial. Ia juga menekankan pentingnya rehabilitasi dibandingkan retribusi belaka.

Plato mengusulkan serangkaian hukuman tergantung pada beratnya pelanggaran. Misalnya:

Denda: Hukuman berupa uang dapat dikenakan untuk pelanggaran ringan atau sebagai bentuk restitusi kepada korban.

Pengasingan: Pelanggaran serius mungkin memerlukan pengasingan dari komunitas atau negara kota.

Hukuman ini tidak hanya berfungsi sebagai efek jera, tetapi juga sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari individu yang dianggap merugikan.

Pendidikan ulang: Plato menganjurkan gagasan pendidikan ulang atau rehabilitasi bagi pelanggar.

Alih-alih hanya berfokus pada hukuman, ia percaya pada upaya mengatasi akar penyebab perilaku kriminal dan berupaya mereformasi individu melalui pendidikan dan pengembangan moral.

Eksekusi: Dalam kasus ekstrim dimana kejahatan dianggap parah dan tidak dapat diperbaiki, Plato mengakui kemungkinan untuk menggunakan hukuman mati.

Namun, dia memandang hal ini sebagai upaya terakhir dan percaya bahwa hal itu sebaiknya diterapkan secara ketat.

Namun Plato tidak secara langsung membahas penjara dalam pengertian modern. Namun, ia menawarkan gagasan terkait hukuman yang mengisyaratkan pandangannya tentang penahanan.

Ia menekankan pentingnya mereformasi para penjahat dibandingkan sekedar menghukum mereka.

Ia percaya bahwa hukuman harus membantu memulihkan jiwa penjahat dan menjadikan mereka anggota masyarakat yang berkontribusi.

Dalam sejarah dunia, pemikiran Plato jauh lebih dekat dengan pandangan pidana masa kini dibandingkan siapa pun, karena dalam “Hukum”-nya ia mengungkapkan keyakinan bahwa “tidak ada seorang pun yang jahat atas kemauannya sendiri.”

Oleh karena itu, meskipun secara tidak langsung merumuskan teori bahwa masyarakat juga mempunyai tanggung jawab atas transformasi seorang warga negara menjadi penjahat.

Kini masuk akal untuk mengusulkan cara hukuman sosial dan mengembalikan orang tersebut ke keadaan normal.

Aristoteles menantang pandangan Platonis, mengklaim bahwa penjahat berbahaya secara sosial dan menyimpulkan bahwa mereka harus dihukum seberat binatang, tergantung pada kejahatannya.