3 Samurai Non-Jepang: Ada yang Besar di Indonesia, Ada Juga dari Dinasti Ming

By Ade S, Rabu, 3 Juli 2024 | 18:03 WIB
John Henry Schnell. Ini dia 3 sosok samurai yang tidak memiliki darah Jepang. Salah satunya pernah besar di Indonesia. Ada pula yang muncul usai keruntuhan Dinasti Ming. (Unknown)

Nationalgeographic.co.id—Ubisoft baru saja mengumumkan game Assassin’s Creed Shadows yang sangat dinantikan, yang berlatar belakang Jepang zaman feodal. Game ini akan menampilkan dua karakter protagonis.

Mereka adalah seorang ninja bernama Naoe dan seorang samurai yang didasarkan pada tokoh sejarah Yasuke, seorang samurai Afrika yang pernah melayani panglima perang Oda Nobunaga.

Yasuke memiliki peran yang lebih berorientasi pada aksi dan pertempuran dalam cerita, berbeda dengan pendekatan bersembunyi yang ditempuh oleh Naoe.

Tahun 2024 memang menjadi momen penting untuk mengubah persepsi tentang apa sebenarnya arti dari kata “samurai”. Para samurai sebenarnya memiliki peran yang lebih kompleks daripada sekadar prajurit, dan menariknya, beberapa di antara mereka bukanlah orang Jepang.

Selain Yasuke, seperti dilansir dari Tokyo Weekender, ada tiga tokoh samurai non-Jepang lain yang menarik untuk dikenal.

Salah satu di antaranya pernah besar di Indonesia bahkan menguasai bahasa Melayu. Satu orang lagi memiliki hubungan dengan Dinasti Ming dari Kekaisaran Tiongkok.

Henry Schnell: Samurai Senapan Mesin

Henry dan Edward Schnell adalah sepasang bersaudara yang kosmopolitan. Lahir di awal tahun 1830-an, mereka keturunan Belanda, namun besar di Indonesia di mana mereka belajar bahasa Melayu.

Setelah berdinas di tentara Prusia, mereka kemudian melangkahkan kaki ke Jepang untuk menjual senjata sisa Perang Saudara Amerika.

Kedatangan keluarga Schnell di Jepang pada tahun 1860-an bertepatan dengan dimulainya Perang Boshin (1868-1869). Ini adalah pertempuran untuk menggulingkan Keshogunan Tokugawa dan mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar.

Henry Schnell kala itu berhasil menjadi penasihat penguasa Nagaoka di Niigata, dan kepadanya ia menjual dua senapan Gatling (bentuk awal senapan mesin). Mereka berdua juga memasok pistol, senapan, bahkan meriam ke Domain Aizu di timur laut Jepang, tempat mereka akhirnya menetap dan menjadi instruktur senjata api.

Baca Juga: Yasuke, Kisah Unik Samurai Kulit Hitam Pertama di Kekaisaran Jepang

Di Aizu, Henry Schnell menjalin hubungan dekat dengan Matsudaira Katamori, penguasa setempat. Saking senangnya dengan Henry, Katamori menganugerahkan nama keluarga Jepang kepadanya, Hiramatsu, yang merupakan pembalikan kanji dari Matsudaira.

Ini merupakan bentuk penghormatan yang tinggi. Hiramatsu Buhei yang baru saja diangkat ini pun menerima rumah, tanah, dan hak untuk membawa pedang, memenuhi semua syarat untuk diklasifikasikan sebagai samurai.

Setelah perang, Schnell membawa istri Jepang dan beberapa keluarga samurai pindah ke California untuk mendirikan perkebunan sutra dan teh. Sayangnya, usaha tersebut gagal, dan ia menghilang bersama seluruh keluarganya.

Meski begitu, para penghuni koloni tersebut menjadi pemukim Jepang pertama di California. Bahkan, putri keduanya, Mary, kemungkinan besar adalah orang pertama keturunan Jepang yang lahir di Amerika Serikat.

Hingga kini, beberapa keluarga Jepang-Amerika tertua di California dapat melacak akar mereka ke perkebunan yang didirikan oleh samurai asing, Henry Schnell.

Giuseppe di Chiara: Samurai Pastor yang Terpaksa

Pada tahun 1643, misionaris Giuseppe di Chiara menginjakkan kaki di Jepang. Kedatangannya bertujuan untuk mencari rekannya, Pastor Cristóvão Ferreira, yang sebelumnya murtad setelah mengalami penyiksaan tsurushi.

Tsurushi adalah hukuman kejam berupa digantung terbalik lalu dicelupkan ke lubang berisi kotoran. Hukuman ini didesain khusus untuk menghancurkan mental para pemeluk Kristen di masa ketika agama tersebut dilarang di Jepang.

Meski begitu, bagi Gereja Katolik, kemurtadan adalah masalah serius, tak peduli situasinya. Itu sebabnya mereka mengirim Chiara untuk menyelidiki. Chiara pun segera ditangkap dan disiksa, membuatnya mengetahui nasib Ferreira secara langsung.

Sisa hidupnya dihabiskan dengan tahanan rumah di Jepang. Dia harus menjalankan perintah shogunat seperti memeriksa barang bawaan kapal asing untuk memastikan tidak ada artefak Kristen yang diselundupkan.

Kisah Chiara diabadikan dalam novel Silence karya Shusaku Endo, yang kemudian diadaptasi menjadi film sukses arahan Martin Scorsese. Andrew Garfield berperan sebagai karakter yang terinspirasi dari Chiara, termasuk ditugaskan menikahi seorang perempuan Jepang atas perintah pemerintah.

Baca Juga: 700 Tahun Berkuasa, Singkap Sejarah Shogun di Kekaisaran Jepang

Uniknya, wanita tersebut adalah janda samurai Okamoto San’emon yang dieksekusi. Menariknya lagi, Chiara tak hanya menikahi sang janda, tapi juga "mewarisi" nama Okamoto.

Meskipun Okamoto tidak pernah secara resmi dicabut status samurainya, beberapa pihak berpendapat bahwa dengan menikahi jandanya, Chiara secara implisit menjadi samurai juga.

Pendapat ini didukung oleh fakta bahwa Chiara menjadi pengikut langsung Tokugawa Iemitsu dan kemudian Ietsuna. Posisi ini mirip dengan William Adams yang berada di bawah Ieyasu.

Selanjutnya, Chiara juga diberi gelar resmi sebagai metsuke, yaitu inspektur pemerintah, yang biasanya diisi oleh samurai kelas rendah.

Jika dilihat secara terpisah, setiap argumen yang menyebut Giuseppe di Chiara sebagai samurai mungkin kurang kuat. Namun, jika digabungkan, hal tersebut mengarah pada kemungkinan besar bahwa pernah ada seorang pastor yang juga menyandang status samurai. 

Ran Kaiei: Satu-satunya Samurai Tionghoa Sepanjang Sejarah

Pada sekitar tahun 1644, kelaparan, kekeringan, dan keruntuhan pemerintahan yang berlangsung selama bertahun-tahun mengakibatkan penggulingan Dinasti Ming di Tiongkok.

Kondisi ini meyakinkan Ran Kaiei, seorang pejabat tinggi pemerintah, bahwa tinggal di Tiongkok akan membahayakan dirinya. Akibatnya, ia melarikan diri menyeberangi lautan menuju Jepang.

Ketika Kaiei tiba di Domain Satsuma di Kyushu, Jepang sedang memasuki periode isolasi yang melarang kontak dan perdagangan dengan negara asing (kecuali beberapa pelabuhan tertentu). Untungnya ada pengecualian untuk Kerajaan Ryukyu (Okinawa).

Kerajaan ini merupakan negara bawahan Tiongkok yang sebelumnya ditaklukkan oleh klan Shimazu dari Satsuma pada tahun 1609.

Kondisi ini menjadikan Domain Satsuma sebagai satu-satunya wilayah di Jepang yang dapat berdagang dengan Tiongkok. Satu-satunya syarat adalah memiliki penerjemah yang andal dan seseorang yang memahami budaya dan politik Tiongkok.

Baca Juga: Perjuangan Klan Minamoto Menjadi Shogun Pertama di Kekaisaran Jepang

Kaiei dengan cepat diterima oleh para penguasa Satsuma. Mereka mempekerjakannya untuk menilai kualitas barang dan upeti Tiongkok dari Kerajaan Ryukyu, bernegosiasi atas nama domain, serta menjaga hubungan diplomatik yang baik.

Sebagai imbalan atas jasanya, Kaiei diangkat menjadi pengikut klan Shimazu dengan tunjangan beras dan hak untuk membawa dua pedang. Inilah yang menjadikannya samurai Tionghoa pertama dan satu-satunya yang tercatat dalam sejarah Jepang.

Ia juga diberi izin untuk memilih nama keluarga Jepang, dan akhirnya memilih nama "Kawaminami." Kini dikenal sebagai Kawaminami Genbei, ia membangun dinasti pedagang yang berkontribusi besar pada kekayaan Domain Satsuma.

Meskipun Domain Satsuma sudah makmur sebelum kedatangan Kaiei, perannya membantu memperkuat kekuatan domain tersebut.

Klan Shimazu juga memainkan peran penting dalam Restorasi Meiji dan Perang Boshin, yang mengakhiri Keshogunan Tokugawa, mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar, dan membuka jalan bagi demokratisasi Jepang.