Militer Ming, terjebak dalam dua front pertempuran - melawan invasi Manchu dari utara dan pemberontakan petani di berbagai provinsi - praktis runtuh.
Pada tanggal 24 April 1644, Beijing, ibukota Ming, jatuh ke tangan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Li Zicheng, seorang mantan pejabat minor Ming yang kemudian mendirikan dinasti Shun.
Kaisar Ming terakhir, Kaisar Chongzhen, dilanda keputusasaan dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di taman kekaisaran.
Namun, Li Zicheng tak lama berkuasa. Dalam Pertempuran Shanhai Pass, pasukannya dikalahkan oleh gabungan pasukan Wu Sangui, seorang jenderal Ming, dan Pangeran Manchu Dorgon.
Pada tanggal 6 Juni, pasukan Manchu dan Wu Sangui memasuki Beijing dan mendirikan dinasti Qing. Kaisar Shunzhi yang masih muda diproklamirkan sebagai kaisar baru Tiongkok.
Pada tahun 1661, Kaisar Kangxi naik tahta, menandai awal era baru bagi Dinasti Qing. Segera setelah itu, pada tahun 1662, para wali penguasa melancarkan "Pembersihan Besar" untuk menumpas perlawanan para loyalis Ming di Tiongkok Selatan.
Upaya ini berhasil memadamkan beberapa pemberontakan, termasuk Pemberontakan Tiga Feodal yang dipimpin oleh Wu Sangui di wilayah selatan Tiongkok pada tahun 1673.
Di bawah kepemimpinan Kangxi, Dinasti Qing mengalami periode ekspansi yang pesat. Melalui serangkaian kampanye militer, Kangxi berhasil memperluas wilayah kekaisarannya secara signifikan.
Namun, ambisi Kangxi untuk menguasai seluruh Tiongkok terhambat oleh keberadaan Kerajaan Tungning, sebuah negara pro-Dinasti Ming yang didirikan oleh Zheng Chenggong di Taiwan pada tahun 1662. Kerajaan ini bertujuan untuk merebut kembali Tiongkok dari Qing.
Pada tahun 1683, Kangxi melancarkan serangan terhadap Taiwan, tetapi gagal menaklukkan pulau tersebut.
Namun, pada tahun 1687, Laksamana Han Tionghoa, Shi Lang, yang sebelumnya juga pernah bertugas di bawah pemerintahan Ming, berhasil mengalahkan pasukan Zheng Chenggong dalam Pertempuran Penghu.