Siapa Sebenarnya yang Berhasil Meruntuhkan Kedigdayaan Dinasti Ming?

By Ade S, Kamis, 11 Juli 2024 | 12:03 WIB
Li Zicheng. Siapakah sebenarnya yang menjadi pemicu hancurnya kedigdayaan Dinasti Ming yang sebelumnya terlihat begitu perkasa? (Unknown)

Nationalgeographic.co.id—Dinasti Ming, yang memerintah Tiongkok dari tahun 1368 hingga 1644, menandai era kejayaan budaya dan maritim yang tak tertandingi.

Didirikan oleh Zhu Yuanzhang, atau Kaisar Hongwu, setelah pemberontakan petani yang menggulingkan Dinasti Yuan, Ming menjadi dinasti kekaisaran terakhir di Tiongkok yang dipimpin oleh etnis Han.

Selama hampir tiga abad, Dinasti Ming memancarkan pengaruhnya melalui ekspansi perdagangan yang luas. Pertukaran budaya dengan bangsa Barat berkembang pesat, membuka jalan bagi era penjelajahan dan globalisasi.

Masa ini juga diwarnai dengan kejayaan seni dan budaya, dengan drama, sastra, dan porselen Ming yang mendunia.

Namun, di balik kegemilangannya, Ming tak luput dari keruntuhan. Pada tahun 1644, dinasti ini runtuh, meninggalkan warisan yang kompleks dan pertanyaan yang masih terus dikaji hingga saat ini.

Berbagai teori berusaha menjelaskan penyebab kejatuhannya. Termasuk menjawab pertanyaan yang kerap muncul: "Siapa sebenarnya yang menghancurkan Dinasti Ming?"

Krisis ekonomi parah

Di akhir masa pemerintahan Kaisar Wanli dan dua penerusnya, Dinasti Ming dilanda krisis ekonomi parah. Biang keladinya adalah kelangkaan perak, mata uang utama kekaisaran.

Kekuatan Protestan dari Republik Belanda dan Kerajaan Inggris, dalam upaya melemahkan kekuatan ekonomi global mereka, sering melancarkan serangan dan aksi perompakan terhadap kekaisaran Katolik Spanyol dan Portugal.

Sementara itu, Raja Philip IV dari Spanyol (memerintah 1621–1665) memperketat penindakan terhadap penyelundupan ilegal perak dari Meksiko dan Peru melalui jalur Pasifik menuju Tiongkok. Ia memerintahkan perak hasil tambang Amerika langsung dikirim dari Spanyol ke Manila.

Di sisi lain, pada tahun 1639, rezim baru Tokugawa di Jepang menutup sebagian besar perdagangan luar negerinya dengan kekuatan Eropa. Hal ini menghentikan sumber perak lain yang masuk ke Tiongkok.

Baca Juga: Katolik di Akhir Masa Dinasti Ming: Kala Buku Catatan Pahala-dosa Dikritik

Meskipun perak Jepang masih masuk ke Tiongkok dalam jumlah terbatas, hambatan terbesar terhadap aliran perak berasal dari benua Amerika.

Bersamaan dengan kelangkaan perak, seperti dilansir dari World Civilization, serangkaian peristiwa lain memperparah krisis ekonomi Dinasti Ming.

Lonjakan dramatis nilai perak membuat pembayaran pajak hampir mustahil bagi sebagian besar provinsi. Orang-orang mulai menimbun perak berharga, menyebabkan rasio nilai tembaga terhadap perak anjlok.

Pada tahun 1630-an, seribu koin tembaga masih bernilai satu ons perak. Namun, pada tahun 1640, nilainya turun menjadi setengah ons. Dan pada tahun 1643, nilainya hanya sekitar sepertiga ons.

Bagi para petani, situasi ini merupakan bencana. Mereka diharuskan membayar pajak dengan perak, sedangkan dalam perdagangan lokal dan penjualan hasil panen, mereka hanya menerima koin tembaga yang nilainya terus merosot.

Bencana alam

Pada paruh pertama abad ke-17, Dinasti Ming dilanda serangkaian bencana yang menghancurkan, memicu kelaparan, wabah penyakit, dan pemberontakan yang menelan banyak korban jiwa.

Di utara Tiongkok, cuaca yang luar biasa kering dan dingin melanda, memperpendek musim tanam dan memicu kelaparan yang meluas. Fenomena ini merupakan bagian dari peristiwa ekologis global yang dikenal sebagai Zaman Es Kecil.

Kelaparan diperparah oleh kenaikan pajak, desersi militer yang meluas, sistem bantuan yang menurun, dan bencana alam seperti banjir. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola proyek irigasi dan pengendalian banjir dengan baik memperburuk keadaan.

Akibatnya, banyak nyawa melayang dan kehidupan sehari-hari menjadi kacau balau. Pemerintah pusat, kehabisan sumber daya, hanya mampu memberikan sedikit bantuan untuk meringankan penderitaan rakyat.

Lebih buruk lagi, epidemi yang mematikan melanda Tiongkok dari Zhejiang hingga Henan. Jumlah korban jiwa akibat wabah ini tidak diketahui, namun diperkirakan sangat besar.

Baca Juga: 3 Samurai Non-Jepang: Ada yang Besar di Indonesia, Ada Juga dari Dinasti Ming

Bencana kelaparan dan kekeringan pada akhir tahun 1620-an dan 1630-an menjadi api pemicu pemberontakan di Shaanxi.

Dipimpin oleh para pemimpin pemberontak seperti Li Zicheng dan Zhang Xianzhong, pemberontakan ini semakin memperlemah Dinasti Ming yang sudah rapuh dan pada akhirnya berkontribusi pada kejatuhannya.

Pemberontakan dan perang

Perang Qing-Ming menandai pertempuran sengit antara dinasti Qing yang didirikan oleh klan Manchu Aisin Gioro di Manchuria (wilayah Tiongkok Timur Laut modern) dan dinasti Ming yang berkuasa di Tiongkok.

Bangsa Manchu, yang sebelumnya dikenal sebagai suku Jurchen, bangkit di bawah kepemimpinan Nurhaci, seorang pemimpin suku yang ambisius. Pada tahun 1618, Nurhaci mengeluarkan dokumen yang berjudul "Tujuh Keluhan".

Dokumen ini berisi daftar ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Ming dan menjadi deklarasi pemberontakan terhadap dominasi mereka.

Keluhan-keluhan ini sebagian besar berakar dari konflik dengan klan Manchu Yehe dan kebijakan Ming yang dianggap menguntungkan Yehe.

Tuntutan Nurhaci agar Ming membayar upeti sebagai solusi atas "Tujuh Keluhan" pada dasarnya adalah deklarasi perang, karena Ming menolak tunduk pada tuntutan tersebut.

Tak lama setelah itu, Nurhaci melancarkan serangan terhadap Ming, mengusir mereka dari wilayah Liaoning di Manchuria selatan.

Di tengah gempuran krisis keuangan dan pemberontakan petani, Dinasti Ming yang berkuasa di Tiongkok semakin terdesak.

Pada tahun 1640, didorong oleh kelaparan, ketidakmampuan membayar pajak, dan hilangnya rasa takut terhadap tentara Ming yang melemah, ribuan petani Tiongkok bersatu dalam kelompok pemberontak besar.

Baca Juga: Kala Kertas Ujian Seorang Sarjana Dinasti Ming Gemparkan Dunia Maya

Militer Ming, terjebak dalam dua front pertempuran - melawan invasi Manchu dari utara dan pemberontakan petani di berbagai provinsi - praktis runtuh.

Pada tanggal 24 April 1644, Beijing, ibukota Ming, jatuh ke tangan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Li Zicheng, seorang mantan pejabat minor Ming yang kemudian mendirikan dinasti Shun.

Kaisar Ming terakhir, Kaisar Chongzhen, dilanda keputusasaan dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di taman kekaisaran.

Namun, Li Zicheng tak lama berkuasa. Dalam Pertempuran Shanhai Pass, pasukannya dikalahkan oleh gabungan pasukan Wu Sangui, seorang jenderal Ming, dan Pangeran Manchu Dorgon.

Pada tanggal 6 Juni, pasukan Manchu dan Wu Sangui memasuki Beijing dan mendirikan dinasti Qing. Kaisar Shunzhi yang masih muda diproklamirkan sebagai kaisar baru Tiongkok.

Pada tahun 1661, Kaisar Kangxi naik tahta, menandai awal era baru bagi Dinasti Qing. Segera setelah itu, pada tahun 1662, para wali penguasa melancarkan "Pembersihan Besar" untuk menumpas perlawanan para loyalis Ming di Tiongkok Selatan.

Upaya ini berhasil memadamkan beberapa pemberontakan, termasuk Pemberontakan Tiga Feodal yang dipimpin oleh Wu Sangui di wilayah selatan Tiongkok pada tahun 1673.

Di bawah kepemimpinan Kangxi, Dinasti Qing mengalami periode ekspansi yang pesat. Melalui serangkaian kampanye militer, Kangxi berhasil memperluas wilayah kekaisarannya secara signifikan.

Namun, ambisi Kangxi untuk menguasai seluruh Tiongkok terhambat oleh keberadaan Kerajaan Tungning, sebuah negara pro-Dinasti Ming yang didirikan oleh Zheng Chenggong di Taiwan pada tahun 1662. Kerajaan ini bertujuan untuk merebut kembali Tiongkok dari Qing.

Pada tahun 1683, Kangxi melancarkan serangan terhadap Taiwan, tetapi gagal menaklukkan pulau tersebut.

Namun, pada tahun 1687, Laksamana Han Tionghoa, Shi Lang, yang sebelumnya juga pernah bertugas di bawah pemerintahan Ming, berhasil mengalahkan pasukan Zheng Chenggong dalam Pertempuran Penghu.