Sejarah Indonesia: Jepang Didesak Tokoh Kemerdekaan, Berdirilah BPUPKI

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 1 Agustus 2024 | 12:00 WIB
Jepang semakin tergencet dalam Perang Pasifik. Di satu sisi, Indonesia menuntut kemerdekaan yang dijanjikan Jepang, sebelum kedatangan Sekutu. (socialtextjournal)

Nationalgeographic.co.id—Ketika tiba di Hindia Belanda pada 1942, Jepang tidak bermaksud untuk membuat Indonesia merdeka. Meski propaganda 3A-nya sangat mendukung kebebasan orang-orang Asia dari cengkeraman penjajahan Eropa, mereka punya tujuan tersendiri untuk memenangkan Perang Dunia II.

Sejak paruh awal abad ke-20, Jepang turut mengejar kemajuan teknologi bangsa-bangsa Barat. Jepang belajar banyak dari tenaga andal Jerman, yang memungkinkan keduanya bersekutu di Perang Dunia II.

Namun, teknologi-teknologi Jepang membutuhkan sumber daya alam yang melimpah. Oleh karena itu, mereka menggeser posisi Belanda di Indonesia, demi mendapatkan kebutuhan perangnya.

Pada 1942, Jepang langsung bekerja sama dengan tokoh-tokoh gerakan nasionalisme dalam sejarah Indonesia seperti Sukarno untuk mengusir Belanda.

Jepang mengiming-imingi kemerdekaan bagi Indonesia. Hanya saja, ada perbedaan pendapat di internal Jepang sendiri, sehingga tuntutan kemerdekaan tidak dijalani secara serius.

Kebijakan Jepang Menjajah dalam Sejarah Indonesia

Kekecewaan tokoh nasionalisme kepada Jepang muncul pada 1943. Saat itu, Burma dan Filipina dimerdekakan Jepang, namun tidak dengan Indonesia. Konferensi Penghubung Markas Besar Pemerintahan Kekaisaran Jepang memutuskan pada 31 Mei 1943 bahwa Indonesia harus dimasukkan dalam imperium Jepang.

Sejarawan Jepang Aiko Kurasawa lewat buku "Kemerdekaan bukan Hadiah Jepang" menulis, imperium Jepang yang sampai ke Selatan itu nantinya akan melibatkan "partisipasi politik Bumiputra".

Pemerintahan Militer Jepang (Angkatan Darat ke-16) di Jakarta menyadari kebijakan ini tidak tepat, namun tidak mengambil posisi menentang. Di Sumatra, Angkatan Darat ke-25 justru sebaliknya dengan perspektif seperti kolonialis Eropa, mereka menentang partisipasi politik bumiputra.

Kekecewaan itu bertambah ketika Tokyo mengadakan Konferensi Asia Timur Raya. Pertemuan tersebut mempertemukan Jepang dengan negara-negara persemakmurannya, seperti Manchuria, Filipina, Burma, dan pemerintahan boneka Jepang di Tiongkok. Tentara kemerdekaan India juga diundang sebagai pengamat.

Indonesia tidak diundang. Melihat perbedaan nasib dengan negara-negara tetangga, para tokoh nasionalisme merasa disia-siakan.

Baca Juga: Sejarah Indonesia: Kenapa Sukarno Bekerja Sama dengan Jepang demi Kemerdekaan?

Kaisar Hirohito dan Perdana Menteri Tojo baru mengundang perwakilan Indonesia setelah konferensi, namun tiada tanda-tanda akan kemerdekaan.

Titik balik dukungan Jepang untuk kemerdekaan

Posisi Jepang semakin terdesak dalam Perang Dunia II. Ragam pertempuran justru berbuah pada kekalahan Jepang yang semakin hari semakin menguntungkan Sekutu.

Hal ini membuat Perdana Menteri Tojo mengundurkan diri dan digantikan dengan kabinet yang dipimpin Jenderal Kuniaki Koiso pada 1 Juli 1944. Pemerintahan baru mulai mempertimbangkan kembali kemerdekaan Indonesia, alih-alih tergabung dalam Kekaisaran Jepang.

Jenderal Koiso menghubungi pihak Pemerintahan Militer yang ada di Jawa dan Sumatra dalam sejarah Indonesia. Hanya saja, pertemuan itu memasuki jalan buntu untuk menyepakati kemerdekaan. Akibatnya, janji Jepang ketika datang masih menjadi harapan yang belum jelas.

Ada yang berpihak untuk kemerdekaan seluruh Indonesia, menyetujui kemerdekaan hanya untuk Jawa saja, atau tidak diberikan sama sekali. Pertentangan juga terjadi antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Laksamana Maeda dari Angkatan Laut adalah salah satu yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia. 

Sukarno (kiri) berjabat tangan dengan pimpinan urusan dalam negeri pemerintahan militer Jepang di Indonesia, Mayor Jenderal Moichiri (kanan). Jepang memanfaatkan Sukarno propaganda. Di dalam pesan-pesannya, Sukarno justru menumbuhkan semangat nasionalisme untuk kemerdekaan Indonesia. (Wikimedia Commons)

Kementerian Luar Negeri membuat dokumen mengenai beberapa poin kajian kemerdekaan pada 5 Agustus 1944. Isinya, yakni demi mendukung popularitas bumiputra, mengembangkan kekuatan Asia Timur Raya, dan memanfaatkan posisi untuk keperluan perang.

Dokumen tersebut kemudian menjadi Deklarasi Koiso pada 4 September 1944. "Perdana Menteri Koiso mengumumkan 'kemerdekaan bagi Hindia Timur pada masa depan,' akan tetapi dengan sengaja tidak menyebutkan wilayah yang termasuk ke dalam negara merdeka ini," terang Kurasawa.

Angkatan Laut, termasuk Maeda, berpendapat agar kemerdekaan Indonesia mencakup seluruh bekas Hindia Belanda, kecuali Pulau Papua. Pendapat ini tidak disetujui Angkatan Darat dan Kementerian Luar Negeri Jepang.

Jepang menggagas siapa yang memimpin negara Indonesia, pilihannya antara Sukarno dan Hatta bersama pemimpin nasionalis terkemuka, Sultan atau raja bumiputra seperti Sultan Yogyakarta, serta pemimpin Islam.

Baca Juga: Kelaparan Hebat Akibat Politik Beras Zaman Pendudukan Jepang

"Menarik bahwa Sukarno bukan merupakan satu-satunya pilihan pemimpin yang pasti," Kurasawa berpendapat.

BPUPKI: Buah dari tuntutan para tokoh kemerdekaan

Deklarasi Koiso ini disambut baik oleh kalangan nasionalis, ketika dikabarkan Kepala Pimpinan Militer ke-16 Mayjen Yamamoto. Sejarah Indonesia mencatut, pelbagai tokoh kemerdekaan segera berkumpul di Jakarta.

Di satu sisi, Jepang juga semakin terdesak setelah Sekutu menyerang Leyte, Filipina pada paruh akhir 1944. Ketika Sekutu berhasil menguasai Manila pada Maret 1945, persebaran propaganda anti-Jepang sampai di kalangan orang Indonesia lewat radio yang diperdengarkan tokoh secara diam-diam.

Rapat Besar BPUPKI pada 1 Juni 1945 menjadi hari dimana Pancasila lahir. Pembentukan badan ini adalah buah dari tuntutan tokoh pergerakan akan keseriusan Jepang membantu kemerdekaan Indonesia. (IPPHOS)

"Sebab itu amat mungkin bahwa kaum nasionalis, termasuk Sukarno, sadar akan situasi sesungguhnya di luar Indonesia," ungkap Kurasawa. "Mereka mungkin telah memikirkan bahwa jika Belanda datang kembali dan Jepang kalah, kesempatan Indonesia untuk merdeka sudah hilang sama sekali."

Para pemimpin nasionalis pun segera mendesak upaya Jepang untuk memerdekakan Indonesia. Pasalnya, setelah Deklarasi Koiso, tidak ada langkah signifikan yang diambil Jepang. Lambatnya Jepang mungkin memandang secara kolonialis: infrastruktur di Indonesia belum siap untuk mandiri.

Dalam memoar Yamamoto, Sukarno pernah berkata, "Anda mengatakan bahwa sebelum kawin, kami memerlukan perabot rumah tangga, radio, ini dan itu. Permintaan kami hanyalah berilah kami sebuah rumah walaupun hanya dengan selembar tikar anyaman saja!"

Atas desakan para nasionalis, Letjen Kumakichi Harada mengumumkan pendirian Dokuritsu Junbi Chōsa-kai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini didirikan pada 1 Maret 1945, persis dengan tenggang waktu tuntutan keaktifan Jepang.

BPUPKI ini hanya melibatkan para tokoh dari dua komando Jepang, yakni di Jawa dan Jepang. Untuk Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur yang dikuasai Angkatan Laut tidak terlibat.

Bagaimanapun, di dalam BPUPKI inilah gagasan-gagasan kemerdekaan radikal turut dibahas dalam sejarah Indonesia. Sidang ini melibatkan 68 tokoh kemerdekaan, dan 8 anggota pasif dari Jepang.